MAHARESI MARKANDHEYA


RIWAYAT DUNIANYA MAHARESI MARKANDHEYA
( Oleh : I Ketut Gunarsa )


Om, tiada terhalang semoga sempurna.

Hormatku kehadapan orang-orang yang sangat bijaksana, yang sudah puas di Alam Baka, karena dari memgutamakan cerita suci. Itulah keturunan Wisnu, menjadi raja di Dunia sangat setia.
O, para Dewa semua, hormatku terhadap leluhur hamba memuji dan memuliakan Ida Bhatara Wisnu. Hanya Ida Bhatara yang memberikan hidup lahir-bathin, memenuhi segala apa yang bermaksud baik.
Selalu ia ditempatkan di atas ubun-ubun dan patut dipuja. Tegasnya sekeluarga kami mohon maaf atas keberanian kami menceritakan-Mu, yang meliputi dunia raya, lagi pula kami menguraikan isi-isi prasasti, pamancangah dan babad-babad yang kesemuanya itu menceritakan orang-orang besar yang kini sudah tiada, telah menjadi Hyang mendampingi Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sang Hyang Widhi.

Semoga penulis selamat, sejahtera dan panjang usia tiada kena kutukan atau sumpah serta diliputi oleh sengsara.
Mudah-mudahan langgeng abadi masyarakat didunia ini. Ya, semogalah berhasil.
Inilah riwayat Ida Bhujangga Waisnawa di Bali yang dahulu berasal dari wilayah Pulau Jawa datang ke Pulau Bali.
Beginilah ceritanya menurut isi-isi prasasti dan babad jaman dahulu. Adalah seorang Resi yang bernama Sang Hyang Meru. Beliau itu mengambil seorang istri yang sangt cantik molek dan sempurna. Tiada diceritakan upacara perkawinannya dan pertemuannya dipelaminan yang sangat indah itu, maka lama kelamaan istrinya mengandung, kemudian berputera dua orang laki-laki. Putra yang sulung bernama sang Atayi, dan yang bungsu bernama Sang Niata, yang kedua-duanya sangat tampan dan elok serta sangat pandai ilmuan.
Setelah lama maka Sang Atayi berputra seorang laki-laki bernama Sang Prana. Sang Niata berputra seorang juga bernama Sira Mrakanda. Mengambil istri yang sangat elok dan cantik sangat sempurna bernama Dewi Manaswini.
Telah lama mereka bersuami istri, maka mereka berputra seorang laki-laki bernama Sira Hyang Maharesi Markandheya.
Om, beliau ku junjung di letakkan pada ubun-ubun kami, kuanggap sebagai Ongkara (huruf gaib) yang suci murni, beliau adalah leluhur kami, yang sudah bersatu sama Ida Sang Hyang Widhi / Tuhan Yang Maha Esa, yang kini selalu dipuja oleh putra-putri keturunan beliau, karena beliaulah mengadakan kami seketurunan. Beliaulah dipuja dan diwujudkan kembali di wilayah pulau Jawa. Beliaulah yang mula-mula menurunkan sekte seperti kami ini.
Om, maafkan kami agar tidak kena kutukan keturunan kami semua, dan diijinkanlah kami kami menceritakannya. Semoga selamat sejahtera dan sempurna kami sampai putra-putri keturunan kami, sentosa tidak akan kurang sesuatu sandang dan pangan. Sekian, Selesai.
Setelah lama maka jejakalah Sira Hyang Maharesi Markandheya, kemudian beliau mengambil istri yang bernama Dewi Dumara. Lama kelamaan mereka berlaki-istri. Kemudian istrinya berputra seorang laki-laki bernama: Hyang Resi Dewa Sirah. Hyang Resi Dewa Sirah kawin dengan Dewi Wipari. Kemudian beliau mengadakan putra-putri banyak. Demikianlah ceritanya zaman dahulu.
Kembali diceritakan Sang Ila putra Ida Sang Resi Ire Windhu, sebagai siswanya sang Hyang Maha Resi Agastya. Beliau bertapa dikawasan Pulau Jawa, yang kini sudah bergabung sama Sang Saptaresi di Sorgaloka. Juga Sira Sang Ari dewa bersama Sang Anaka bertapa di Dyang, yang kini disebut Di Hyang atau Dieng. Sira Sang Markandheya bertapa di Gunung Damalung daerah Pulau Jawa. Adapun Ida Maharesi Agastya mengeluarkan keputusan yang tertulis di atas prasasti Dinaya, sebagai berikut : “Keputusan Agastyah, pada bulan Hindu) kelipa pada tahun candrasangkala nayana wasurare (682 Çaka).
Beliau inilah yang menyebarkan agama Trimurti, kesatuan dan persatuan sekte-sekte pemuja Siwa pemuja Brahma dan pemuja Wisnu. Agama Trimurti atau pemuja Trimurti itulah disebarkan beliau, di Jawa, di Bali dan di kepulauan Nusantara lainnya. Lama kelamaan Ida Resi Agastya disebut juga Ida Bhatara Guru.
Sekianlah banyaknya Sang Yogi Swara (alim ulama) pada zaman dahulu di jawa berkembang, ada yang terlunta-lunta dari desa ke desa, ada yang pergi ke Daerah Nusantara, ada yang ke Bali dan ada juga yang menetap di Pulau Jawa.
Selanjutnya pada tahun Çaka 769, Sira Bhujangga Guru di Jawa dilantik menjadi saksi dalam upacara menyelamatkan negara dan melaksanakan tugas Bhuta Yadnya yaitu menghilangkan kecemaran dan kekotoran negara.
Demikian keterangan yang tertulis dalam prasasti Jawa.
Kembali diceritakan Ida Resi Markandheya. Resi Markandheya sudah tamat dari pelajaran yoga semadinya di asrama Wukir Damalung di pegunungan di Hyang atau Dieng di Jawa Tengah, sehingga beliau disebut Yogiswara artinya yogi besar. Kemudian beliau melakukan kunjungan ke tempat-tempat suci ( bertirthayatra ) ke arah Timur dan akhirnya tiba di pegunungan Raung pada dataran pegunungan Ijen di Jawa Timur. Pada tempat inilah beliau tinggal sambil membangun asrama dan bangunan-bangunan suci lainnya sebagai tempat memuja Sang Hyang Widhi.
Beberapa tahun kemudian karena mendapat ilham lalu beliau pergi ke Timur bersama pengiringnya orang-orang Jawa pengunungan (Jawa-Aga) sebanyak 800 orang menuju Bali. Di tempat ini beliau menemukan bangunan suci merupakan batu berundag, pada lambung gunung tertinggi di Bali. Kemudian gunung itu diberi nama Gunung To Langkir. To Langkir artinya orang suci (arwah yang suci) atau yang disucikan. Komplek ini dipandang sangat suci oleh Resi Markandheya. Dari sebab itulah beliau ingin akan memugar kembali tempat suci itu dengan terlebih dahulu merabas hutan belantara di sekitarnya. Tetapi sangat malang baginya karena banyak pengiring beliau kena penyakit dan banyak pula yang meninggal dunia. Dari sebab itu beliau, memutuskan kembali ke Gunung Raung di Jawa.
Setibanya di Gunung Raung, segera beliau bersemedi memuja Sang Hyang Widhi hendak memohon keselamatan dan panjang usia. Setelah beliau mendapat ilham dari Tuhan Yang Maha Esa, kemudian beliau kembali ke Bali Timur bersama pengiringnya sebanyak empat ratus orang (400).
Sebagian pengiringnya ini disuruh membawa balai agung yang ada di Gunung Raung ke Bali yang akan dipakai untuk rapat-rapat penting di dalam pura.
Di sepanjang jalan dalam perjalanannya Ida Resi Makandheya ke Bali Timur, selalu beliau disambut dan dihormati oleh para pengiringnya yang terdahulu datang dan juga yang sudah memiliki perumahan. Para pengiringnya ini bersama dengan penduduk Bali bersama-sama mengantar Ida Resi Markandheya.
Tak diceritakan dalam perjalanan Resi Markandheya, akhirnya beliau tiba di komplek pegunungan To Langkir.
Tetapi karena sudah takdir Ida Sang Hyang Paramakawi, sebagaian pengiringnya ini ditimpa penyakit dan banyak yang sudah meninggal dunia. Oleh karena demikian masalahnya kemudian Resi Markandheya segera menanam “Pancadatu” yaitu lima macam logam disekitar komplek To Langkir, disertai dengan upacara Bhuta Yadnya yaitu sesajen untuk makhluk halus penghuni daerah itu. kemudian sebagaian anak buahnya itu membuat pondok-pondok untuk tempat tinggalnya.
Beberapa tahun kemudian, Ida Resi Markandheya pergi ke Barat. Setalah tiba pada tempat yang agak luas, lalu beliau bersama pengiringgnya merabas dan membabat tanah hutan. Setelah selesai maka tempat itu deberi nama Desa Puakan, terletak di daerah sebelah utara Desa Taro, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar.
Puakan berasal dari kata Uak, artinya buka, tentang tanah atau pagar. Di tempat inilah mereka membangun rumah-rumah untuk tempat tinggalnya. Ida Resi Makandheya selalu melakukan tirthayatra serta beryoga memohon keselamatan dan kesejahteraan pengikutnya. Pada suatu ketika beliau menemukan sebuah tempat yang dipandang baik untuk melakukan yoga semadi. Tempat itu terletak dekat perpaduan dua buah aliran sungai. Pada tempat itulah beliau mendirikan pura dan pelinggih-pelinggih para Dewata –terutama Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Kemudian pura ini diberi nama pura Pucak Payogan atau disebut juga Pura Gunung Lebah, terletak di Desa Campuhan di sebelah barat Desa Ubud, Gianyar. Segala yang diingini oleh Ida Resi Markandheya selalu ada. Dari itu Desa Puakan ini disebut juga Desa Sarwada yang berasal dari kata Sarwa artinya serba dan ada artinya ada.
Dekat pada tempat itu terdapat Desa Taro, hingga sekarang Timbulnya Desa Taro itu, semula dari pikiran suci (adnyana) Ida Resi Markandheya. Adnyana berarti kayun (maksud), kayun dari kata kayu (pohon) dan kayu sinonim dengan taru (pohon) akhirnya menjadi Taro. Yang kini, dipakai nama Desa Taro.
1)     Pura Puncak Payogan letaknya 1,5 Km dari Banjar Lungsiakan, Kedewatan, Ubud, disebelah utara Desa Payogan. Kira-kira 28 Km dari Denpasar dan 3,5 Km ke arah Barat dari Desa Ubud.
Juga di tepi sungai Oos terdapat sebuah Bihara sebagai asrama Ida Maha Resi Markandheya yang diiringi oleh para siswanya dari putra-putri beliau yaitu Warga Bhujangga Waisnawa. Di sebelah barat dari tempat yang baru ini, Ida Maha Resi Markandheya membangun pura yang hampir sama bentuknya dengan pura yang ada di Gunung Raung. Pura ini diberi nama Pura Murwa. Di depan pura in didirikan sebuah Balai Agung yang dibawa dari Gunung Raung Jawa.
2)     Beberapa abad kemudian, yaitu pada abad ke-19 Balai Agung yang dibawa dari Jawa (Gunung Raung) di bagi-bagi untuk tempat persembahyangan masing-masing kerajan di Bali.
Pembagiannya sebagai berikut :
1.     Dua belas ruang (petak) ditinggalkan di Desa Paiyangan (Payangan) dipelihara dan dipergunakan oleh Kerajaan Mengwi, Badung dan Tabanan.
2.     Dua belas ruang (petak) ditinggalkan di Desa Taro, dipelihara dan dipergunakan oleh kerajaan Jembrana.
3.     Dua belas ruang (petak) ditinggalkan di Desa Batur, dipelihara dan dipergunakan oleh kerajaan Buleleng dan Bangli
4.     Dua belas ruang (petak) ditinggalkan di Desa Besakih, dipelihara dan dipergunakanoleh Kerajaan Karangasem dan Klungkung.
Balai Agung ini sungguh balai yang sangat besar, yang mula-mula dipergunakan untuk tempat tidur bagi pejabat-pejabat adat di dalam pura. Balai Agung ini terdiri dari 48 ruang atau petak-petak dengan ujung atas (ulu) ada di tangkup dan ujung bawah (teben) ada di pagut. Sebuah kentongan (kulkul) yang dibuat dari pohon siligui juga dibawa dari Gunung Raung, Jawa.
Resi Markandheya di samping membangun tempat-tempat persembahyangan, juga beliau memperbaharui ajaran Agama, yaitu persembahyangan kepada Ida Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa, dengan alat-alat sesajen yang terdiri dari tiga unsur benda alam yakni : Api, Air, dan bunga harum. Selanjutnya segala sesuatu yang harus dikerjakan didahului dengan sesajen kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga pekerjaan itu selesai, dengan baik dan mendapat selamat.
Tiada diceritakan lamanya beliau tinggal di Pura Puncak Payogan, di tepi aliran Sungai Oos, kemudia pada tahun Çaka 858 bulan Hindu Phalguna, tanggal 3 (tiga) bulan paro terang, dalam pemerintah Raja Sang Ratu Sri Ugrasena di Bali. Ada sekelompok Warga Bhujangga Waisnawa yang pergi menuju daerah Tamblingan. Pada tempat yang baru itu mereka membangun rumah-rumah Pura, Bihara atau Pasraman dan lain sebagainya. Lama kelamaan ada lagi keluarga mereka yang meninggalkan tempat itu, pergi menuju daerah Bantira dan Sukawati.
Demikian Selesai.
Dalam pemerintahan Sri Maharaja Sang Ratu Sri Gunapriya Dharmapatni bersama suaminya Sri Dharma Udayana Warmadewa pada tahun Çaka 1915, pada saat itu Ida Sang Bhujangga Diah Kuting dilantik menjadi Senapati Kuturan bertugas untuk menyelamatkan dan mensejahterakan Negaranya semua.
Baginda Ratu Sri Gunapriya Dharmapatni ini berasal dari Pulau Jawa, Putri dari Raja Sri Makutawangsawardhana. Dahulu baginda putri ini bernama Mahendradatta.
Sekarang diceritakan ada seorang Resi Bhujangga Waisnawa yang sudah tamat dari pelajaran (putus) bernama Hyang Resi Wisnu Sunia Murti. Beliaulah patut diutamakan disembah, karena beliau sangat utama dan sangat berjasa.
Hyang Resi Wisnu Sunia Murti mempunyai istri yang sangat cantik paras mukanya, bernama Dewi Indra Karena. Dari perkawinan mereka itulah melahirkan dua orang putra laki-laki, yang sulung bernama Mpu Kuturan dan yang bungsu Mpu Bharadah. Sebagai orang tua, Hyang Resi Wisnu Sunia Murti selalu mengajar putra-putranya tentang tatwa-tatwa (falsafah) Agama dan tata cara kehidupan menjadi manusia yang baik dan berguna di masyarakat.
Setelah kedua putranya itu dewasa dan juga sudah mahir akan ilmu-ilmu yang diterima dari ayahnya, kemudian penguasa atau raja di Bali, yakni Sang Ratu Sri Gunapriya Dharmapatni bersama suaminya Sri Dharma Udayana Warmadewa, mengangkat Sri Mpu Kuturan sebagai pendeta Istana (Pantida purohita) bertempat tinggal di Asrama Silayukti, Teluk Padang di Pantai Selatan Karangasem.
Selain jabatannya itu, beliau juga diangkat sebagai Penasehat Raja dibidang tata politik pemerintahan dan tata cara melakukan adat istiadat upacara (sactamen) dan Upacara (ceremony) keagamaan di Bali.
Sang Ratu Sri Gunpriya Dharmapatni bersama Sri Dharma Udayana Warmadewa memerintah di Bali sejak tahun 989 M sampai dengan tahun 1001 Masehi.
Mpu Bharadah karena tidak diajak diasrama Silayukti, maka pergi ke Pulau Timur, tinggal di asrama Daerah Kediri, belajar kepada Pendeta Dharmajaya, sebagai paman dari sepupu ayahnya. Kemudian Mpu Bharadah diangkat sebagai pendeta Istana (Pendeta Purohita) oleh Raja Airlanggha.
Sira Mpu Kuturan sangat giat membimbing dan mengajar masyarakat Bali tentang ajaran-ajaran agama dengan adat istiadatnya terutama sila kramaning Sang Prabhu yaitu pelajaran tentang memangku jabatan pemerintahan, Silakramaning aguron-guron yaitu penghormatan kepada nabe (Guru), pengetahuan tentang buana agung (alam semesta) dan buana alit (dunia kecil / badan sendiri), putra sesana yaitu kebajikan orang menjadi putra / anak yang baik, dan karmaphala yaitu perbuatan dan akibatnya. Selain itu beliau juga membangun pura-pura Sad Kahyangan, Dang Kahyangan, Tiga Kahyangan dan memugar pura-pura yang sudah ada.
Candi-candi dengan Bihara-biharanyapun dibuat pada jaman Mpu Kuturan ini, demikian juga jalan-jalan yang menuju ke tempat-tempat suci itu dan tempat permandian umum di bangun oleh Mpu kuturan.
Peraturan dan konsep bangunan tempat-tempat suci yang dibuat Mpu Kuturan banyak ditatah di dalam prasasti kuno dan juga ditulis di atas daun lontar.
Tahun berganti tahun kemudian pada tahun Canda sangkala pintu apit pintu, Içaka 929 (1007) TM, Sira Sang Mpu Kuturan memberi wejangan kepada sekalian warganya dan generasinya mendatang. Adapun himbauannya sebagai berikut : “Wahai kamu sekalian wargaku dan keturunannya. Sekali-kali janganlah kamu melupakan leluhur dan Ida Sang Hyang Widhi Tuhan Yang Maha Esa. Jika kamu lelalaikan itu, niscaya kamu akan dilupakan juga oleh leluhurmu dan Ida Sang Hyang Widhi, akibatnya kamu akan menderita serta berjalan kian-kemari tanpa tujuan”. Demikian himbauan beliau. “Demikian juga, jika ada kecemasan negara, patut dibuatkan upacara dilebur dan diruat oleh Ida Sang Bhujangga. Apabila tidak Ida Sang Bhujangga melaksanakan pujaannya, meruat kecemaran negara itu, perumahan, tegalan sawah dan semacamnya itu, pasti tidak akan mampu”.
Memang demikian kewajiban Ida Sang Bhujangga. Setelah upacara itu terlaksana, maka selamat dan sejahteralah negara Bali ini. Demikianlah wejangan Ida Mpu Kuturan di negara Bali.
Sekarang diceritakan para bhujangga yang datang ke Bali membawa lontar-lontar pustaka, terutama : Pustaka Candrakarena, Kiratabasa, Dasanama, Ramayana, Brahmandapurana, Sabhaparwa, Wirata parwa, Prasthaning parwa, Swargarohana parwa dan sebagainya.
Diceritakan Sang Raja yang memerintah di Bali. Setelah beberapa tahun lamanya Sri Gunapriya Dharmapatni bersama suaminya Sri Dharma Udayana Warmadewa memerintah di Pulau Bali, pada tahun ini juga baginda ditimpa gerig berat dan akan melahirkan putra, karena baginda mengandung. Banyak baginda mendatangkan dukun yang sangat mahir dan sakti, juga para pendeta alim-ulamanya datang berduyun-duyun ke istana raja, hendak mengobati atau mengenakan penawar agar gering baginda hilang seketika.
Tetapi oleh karena sudah takdir Ida Sang Hyang Widhi Tuhan Yang Maha Esa, kemudian baginda melahirkan seorang putra laki-laki yang rupanya sangat tampan dan elok sekali, namun Sang Ratu Gunapriya Dharmapatni mangkat, arwah baginda menuju Siwaloka. Putra baginda yang baru lahir itu oleh para pendetanya, diberi nama anak Wungsu.
Kemudian beberapa saat antaranya, ributlah di komplek istana itu, sampai kepelosok-pelosok dusun ribut, baru mendengar khabar kemangkatan Maharaja yang sangat dicintainya. Seluruh penduduk pulai Bali berkabung, berbelasungkawa, karena ditinggal oleh junjungannya. Berita kemangkatan Sang Ratu Sri Gunapriya Dharmapatni sampai ke Jawa, Akhirnya didengar oleh pendeta Purohitanya (pendeta istana) Sri Aji Airlangga di jawa, datang menjenguk ke Pulau Bali, hendak akan menghormati baginda almarhum. “Itulah sejarahmu, pintu apit pintu, Içaka 929”.
Demikianlah yang tertulis di dalam prasasti yang memakai lambang senjata Cakrasudarsana, yang disimpan di Pura Batu Madeg di Besakih.
Abu dari bunga lambang arwah baginda, dipuja di daerah Buruan Kutri, yang disebut Pura Bukit Bharma.
Baginda Ratu diwujudkan Durga Mahisa Mardhini, astabhuja, karena baginda dianggap penjelmaan Dewi Uma, Penganut sekte Siwa.
Setelah lama Sira Mpu Bharada tinggal di asrama rakanda di Silayukti, kemudian beliau kembali pulang ke Jawa. Selesai.
Kini Pulau Bali dipegang oleh suami almarhum, yaitu Sri Dharma Udayana Warmadewa. Putra almarhum yang dijuluki Anak Wungsu, merupakan adik dari Sri Dharmawangsa Warmadewa Marakata Pangkaja-Stana utunggadewa, yang menjadi Raja di Bali pada tahun Çaka 944. Demikian.
Beberapa tahun kemudian Sira Hyang Wisnu Sunia Murti ayah dari Sira Mpu Kuturan muah Sira Mpu Bharada, mangkat kembali ke Wisnuloka. Sira Hyang Wisnu Sunia Murti dipuja di Pura Jati, Kintamani – Bangli.
Selanjutnya pada tahun Çaka 932, bulan Hundu Kartika, tanggal dua bulan paro gelap, hari wurukung legi, jumat wuku kulawu, Sira Sang Maha Raja Dharma Udayana Warmadewa, memberi pengumuman kepada masyarakat terutama kepada Warga Bhujangga Waisnawa terhadap Desa Wujunghyang[3]
Wejangan baginda : Kalau ada masyarakat Desa Wujunghyang, mengawini putri-putri wangsa Resi, atau janda-nya Sang Resi, masalah itu akan dikenai sesajen yang besar dan kurban yang memakai binatang dan lain sebagainya. Sebaliknya Desa Wujunghyang patut tenggang menenggang, ambil diambil, bersuami istri sama putra-putri Resi Bhujangga Waisnawa, dengan tanpa upacara yang besar.
Pada tahun Çaka 933 dalam pemerintahan Sri Maharaja Dharma Udayana Warmadewa ada seorang pendeta menghadap Sri Paduka Raja dipaseban, menerangkan kerusakan-kerusakan dipelosok-pelosok Desa di Bali. Maka dari itulah, sebabnya Sri Dangacarya Bajantika, Dangacarya Nisita, Dangacarya Bhacandra disertai Sang Senapati Kuturan Dyah Kayop, menyelidiki benar salahnya laporan itu, kepelosok-pelosok Desa. Jika ternyata benar, maka para Pendeta itu membuat upacara sekedarnya, untuk menyucikan Daerah yang ditimpa bencana itu. demikian pekerjaan, Sang Guru Bhujangga Mpu Kuturan Dyah Kayop menyelamatkan negara.
Setelah beberapa tahun Sri Dharma Udayana memerintah di Bali kemudian baginda wafat kembali kenirwana (Sorgaloka). Abu bunga perwujudan baginda dipuja di Bayu Weka sebagai sekte Siwa.
Kemudian pada tahun Çaka 938 dalam pemerintahan Sira Sang Ratu Adnyadewi di Pulau Bali, Sira Sang Guru Bhujangga yang bernama Mpu Gawaksa dilantik menjadi Mpu Kuturan oleh baginda raja, yang tugasnya menyelamatkan dan mensejahterakan negara Bali. Sang Ratu Adnyadewi menjadi raja di Bali membuat pengumuman untuk Warga Bhujangga semua. Wejangan Baginda “Jika ada Pendeta yang meminta-minta (fakir miskin) yang tinggal di pertapaan atau pasraman, lalu pendeta itu meninggal dunia, mayat pendeta itu harus dibuatkan upacara sekedarnya dan hak miliknya yang beliau miliki, harus dimasukkan ke asrama atau pertapaan. Kewajiban Ida Resi Bhujangga antara lain : menyucikan kecemaran dan kekotoran negara mengadakan upacara kurban mabalik-sumpah (upacara kurban yang besar), meruat orang cemer, melakukan tenung, melakukan perbintangan, menangkal ilmu sihir, teluh teranjana dan sebagainya.
Upacara ini harus dilakukan oleh Ida Sang Bhujangga Waisnawa, karena beliau dianggap sebagai unsur tenaga sebagai Bima dan juga sebagai Hanoman. Itulah sebabnya Ida Sang Guru Bhujangga berhak melaksanakan upacara menyelamatkan negara, hutan, kuburan, jurang dan gunung, karena beliau sebagai Bhatara Guru memakai serba boleh bebas dari sumpah dan kutukan.
Selanjutnya pada tahun Çaka 944 (1022 M) dalam pemerintahan Paduka Aji Sri Dharmawangsa-Wardhana Marakatapangkaja Sthana Utunggadewa, Ida Sang Guru Bhujangga, yang mana kecilnya disebut Putu-Putu, diangkat menjadi Senapati Kuturan. Selesai.
Kemudian pada tahun Çaka 972 (1050 TM) dalam Pemerintahan Raja Anak Wungsu, putra dari Sang Ratu Gunapriya Dharmapatni bersama Sri Dharma udayana Warmadewa, dapat memindahkan abu-abunga bunda dan ayahanda, kini dicandikan kembali di asrama Amarawati di tepi aliran sungai Pakerisan, Daerah Tampaksiring, sebagai candi aliran agama budha, karena Raja Suami istri ini, setelah lanjut usianya mengikuti aliran Agama Budha. Asrama Amarawati, yang dulu itu kini disebut Gunung Kawi.
Selanjutnya pada tahun Çaka 1037 (1115 TM), dalam pemerintahan Sri Maharaja Sri Suradhipa, baginda melantik Ida Sang Guru bhujangga yang bernama Mpu Ceken menjadi senapati kuturan.
Selanjutnya diangkat lagi Mpu Jagathita, untuk melaksanakan upacara penyelamatan negara. Demikian pula pada tahun Çaka 1068 (1146 TM), dalam pemerintahan Sri Maharaja Jayasakti, baginda melantik Ida Sang Guru Bhujangga Waisnawa yang bernama Mpu Angrucuk, menjadi Senapati Kuturan.
Kemudian diangkat pula Mpu Curigaraga bernama Mpu Anggamenang menjadi Senapati Kuturan.
Pada tahun Çaka 1077 (1155 TM) dalam pemerintahan Sri Paduka Maharaja Ragajaya, beliau melantik Mpu Angga-Menang menjadi Senapati Kuturan.
Diceritakan pada tahun Çaka 1103 (1181 TM) di Bali diperintah oleh Raja keturunanBhujangga Waisnawa yang penobatannya diberi nama Sri Aji Jayapangus Arkajalancana. Arkaja berarti turunan Arka atau Matahari, umum disebut Suryawangsa. Suryawangsa sinonim dengan Hariwangsa dan Hariwangsa sinonim dengan Wisnawangsa yaitu Waisnawa namanya.
Sri Maharaja Aji Jayapangus menjadi raja di Pulau Bali, bersama kedua istrinya yaitu : Paduka Sri Parameswari Inujaketana dan yang kedua Paduka Sri Mahadewi Sasangkaja Ketana. Kedua istri baginda itu kesemuanya mengaku keturunan Bulan. Indu dan Sasangka sinonim dengan Bulan. Sri Maharaja Aji Jayapangus bersama kedua istri baginda sangat berwibawa dan sangat bijaksana memerintah pulau Bali ini sehingga masyarakat Bali sangat makmur dan sejahtera keadaannya. Hanya bagindalah yang dapat membangun masyarakat Bali, karena baginda sangat berguna, arif bijaksana, dan pandai disegala ilmu pemerintahan, adat dan agamanya.
Permaisurinda dan seorang Padmi baginda diangkat sebagai pembantu di dalam pemerintahan baginda. Para pejabat lainnya seperti Mahapatih para Mentri baginda semuanya pandai, bijaksana, ilmuan dan sangat perwira dalam peperangan dan melakukan agamanya bila keadaan aman.
Demikian riwayat baginda pada jaman dahulu. Dalam pemerintahan Sri Aji Jayapangus ini, telah mengangkat tiga pendeta yaitu : Ida Pendeta Resi Bhujangga Waisnawa, Ida Pendeta Bodha, dan Ida Pendeta Siwa, yang umum kini disebut Ida Resi, Ida Siwa, dan Ida Sgatta, setelah baginda dapat menyelesaikan pembambangunan sebuah prahyangan Widhi (Pura) yang diberi nama Candi Dasa. Selesai pada sakala : wani sasih angalih, Içaka 1112 (1190 TM). Pada bulan Phalguna, tanggal lima bulan paro terang hari tungleh, wage, kamis wuku julung pujut, pada saat itulah Sri Maharaja Aji Jayapangus mangkat, arwah baginda menuju Wisnuloka.
Abu-abu simbul perwujudan baginda dipuja di dalam Pertapaan Dharma Anyar. Di depan pertapaan itu terdapat sebuah bangunan suci yang disebut Pura Panti, diemong oleh orang suci Dang Acarya Jiwajaya.
Beberapa tahun berselang setelah mangkatnya Sri Maharaja Aji Jayapangus, negara menjadi kacau balau, karena belum ada pengganti baginda yang mengendalikan pemerintahan di Bali.
Melihat keadaan demikian maka para pejabat pemerintah segera menobatkan dan melantik putra baginda yang bernama Arjaya Deng Jayaketana baru menginjak dewasa. Setelah genap usianya lalu baginda nikah sama seorang putri bangsawan. Kemudian baginda mempunyai putra dua orang laki-laki. Putra baginda yang lebih tua bernama Ekajaya Lancana dan yang lebih muda bernama Adhikunti Ketana. Karena sudah dari takdir Ilahi (Ida Sang Hyang Widhi) maka Sri Maharaja Sri Arjaya Deng Jayaketana mangkat, pulang ke Wisnuloka. Oleh karena demikian, maka segera dilantik putranya yang sulung dijadikan raja, bergelar Sri Paduka Sri Maharaja Aji Ekajaya Lancana didampingi oleh ibunda Paduka Tara Sri Maharaja Sri Arjaya Deng Jayaketana. Pelantikan tersebut dilakukan pada tahun çaka 1122 (1200 TM).
Belum beberapa tahun baginda memerintah negara Bali, maka pada tahun çaka 1126 (1204 TM) Sira Paduka Sri Maharaja Aji Ekajaya Lancana mangkat. Agar tidak jadi lagi keadaan vakum, maka oleh para pejabat segera mengangkat dan menobatkan adinda almarhum, yakni Sang Adhikunti Ketana menjadi raja di Bali, bergelar Sira Bhatara Guru Adikunti Ketana. Baginda ini dapat mendirikan asrama dan perhyangan Widhi di Pulau Bali, terutama pada batas sebelah Selatan Desa Bangli. Pada tempat ini Baginda mendirikan perhyangan yang disebut Pura Sumaniha, yang dihiasi dengan sebuah patung yang disebut Makara Dewi. Tempat ini adalah, tempat permandian Sri Maharaja Bhatara Guru Sri Adhikunti Ketana bersama permaisurinda.
Sebelah selatannya lagi terdapat sebuah goa yang disebut Goa Mreka sebagai tempat pertapaan Sri Maharaja. Entah berapa tahun lamanya Ida Bhatara guru memerintah di Bali lalu baginda berputra kembar buncing. Putra baginda yang laki-laki diberi nama Sang Dhana Dhiraja-Ketana dan yang putri bernama Sang Dhana Dewi-Ketu. Setelah mangkat Ida Bhatara Guru adhikunti Ketana, maka abunya simbul raja itu dipuja pada Candi Manik wilayah Hyang Putih di Desa Srokan.
Oleh karena putra-putri Bhaginda almarhum, kemudian kedua putra-putri itu dinikahkan, dan langsung dilantik menjadi Raja, memerintah di Pulau Bali, bergelar Sri Bhatara Parameswara Sri Wirama Nama Siwaya Sri Dhana Dhiraja-Lancana, dan yang putri bergelar Paduka Bhatari Sri Dharma Dewi Ketu. Dua sejoli ini juga oleh masyarakat di Bali disebut Maheswara-Maheswari, akhirnya diucapkan juga oleh orang dari Nusantara : Mahasula-Mahasuli dan seterusnya diucapkan Masula-Masuli.
Pemerintahan Sri Masula-Masuli sangat terkenal dan Negaranyapun sangat amat sentausa dan sejahtera, baginda sangat tekun taat melaksanakan adat agamanya, selalu menghayati dan mengamalkan Ilmu Falsafah (tatwa) serta ilmu Perang.
Setelah lama Baginda memangku kerajaan, kemudian Baginda mempunyai seorang putra laki-laki bernama Sira Adhidewa Lancana. Sesudah Pangeran ini dewasa, maka Sang Raja yaitu Sri Maharaja Masula-Masuli Mangkat. Oleh karena demikian halnya, maka dengan segera pangeran ini diangkat menjadi Raja dengan gelar Paduka Bhatara Parameswara Sri Hyang ning Hyang Adhidewa-Lencana. Baginda memerintah di Pulau Bali pada tahun Çaka 1182 (1260 TM).
Om, Sangat hormat sangat permohonan maaf hamba, terhadap Ida hatara Hyang Wisnu Murti, yang kuanggap sebagai Ongkara (huruf gaib) yang suci murni, beliau yang sudah selesai dalam pelajaran ilmu yang kini sudah kembali ada disisi Ida Sang Hyang Widhi. Hamba ini selalu menunduk hormat dari bakti kepada beliau mangsud hamba memohon kesucian lahir-bathinku serta dapat mengikuti jejak beliau dalam Ilmu fasafah, beliau adalah leluhur Raja-raja Bali asli, terutama Srimaharaja Masula-Masuli yang sudah terkenal di Negara. Lebih kurang puja bhakti hamba hendaknya agar hamba tidak terkutuk, kena sumpah dari Ida Sang Hyang yang sudah menjadi Hyang (men-di-Hyang) tinggal di Wisnuloka. Selesai.
Kembali sekarang diceritrakan.
Diceritrakan sejak pemerintahan Sri Paduka SriHyangning Hyang Adhidewa-Lancana di Bali. Sangat makmur dan masyarakatnya sangat sejahtera. Sekali-kali tidak pernah ada kesusahan dan kerusakan. Karena Sri Baginda sangat bijaksana, sangat berguna, dan tidak lupa mendalami pelajaran- pelajaran Ilmu pemerintahan, dan Ilmu-Ilmu lahir Bhatin. Kebijaksanaan baginda sebagai penjelmaan Sang hyang Wisnu yang selalu membuat keamanan, kesuburan dan kesejahteraan negaranya.
Telah beberapa tahun masyarakat itu merasakan makmur dan sejahtera, kemudian tibalah saat peredaran jaman kacau balau (kaliyuga), sehingga Sri paduka Hyangnig Hyang Adhidewa-Lancana gelisah resah. Yang menyebabkan penduduk Bali bingung, karena mereka mendapat khabar, bahwa Raja Kertanegara akan menyerang negara Bali.
Pada tahun Candrasangkala : badan langit mencari bulan yakni pada tahun çaka 1208 (1286 TM) sira Sang Prabu Kertanegara mengutus para mentri dan bahudanda serta rakyatnya sekalian, supaya menyerang pulau Bali. Orang-orang yang diutus itu antara lain : Ki Kebo Bungalan, Ki Kebo Anabrang, Ki Lembu Peteng, Ki Jaran Weha Desertai dengan prajuritnya lengkap dengan senjatanya menyerang penduduk Pulau Bali.
Tiada diceritakannya perjalananya di tengah jalan, akhirnya mereka tiba di desa-desa yang ada di Bali.
Kemudian dengan segera penuh perhatian penduduk Bali, bersiap dan lengkap dengan sanjatanya masing-masing, menghadapi pasukan Singasari itu, tiada terhitung prajurit Bali yang gugur di medan perang. Semua dusun-dusun hancur, tak dapat dihalangi lagi. Akhirnya Sri Maharaja Bhatara Prameswara Sri Hyangning Hyang Adhidewa-Lancana ditangkap, oleh prajuritnya Raja Kertanegara, terus diangkut ke Singasari, Jawa. Pada tempat itulah baginda ditahan.
Oleh karena raja Bali sudah kalah, tidak lama lagi segera Ki Rakryan Demung Sasabungalan dilantik menjadi raja bawahan di Bali. Kemudian oleh karena Ki Demung Sasabungalan sudah lanjut usianya maka putranya yang bernama Ki Kebo Parud dilantik menjadi penguasa di Bali. Entah berapa tahun lamanya Ki Kebo Parud menjadi bawahan di Bali, barulah aman tentram keadaan Pulau Bali.
Belakangan para Arya dan para Bhujangganya ikut datang ke Bali serta membawa pustaka-pustaka, seperti : Adhi-Parwa, Kekawin Arjuna wiwaha, Kresna Yana, Sumanasa-ntaka, Kakawin Asmaradahana, Wreta sancaya, Lubdhaka, dan ilmu-ilmu falsafah lainnya.
Kemudian pada tahun Çaka 1246 (1324 TM), Sri Paduka Maharaja Bhatara Guru diangkat menjadi raja di Bali oleh raja Kertanegara, Beberapa tahun berselang, maka pada tahun çaka 1250 (1328 TM), Sri Paduka Maharaja Bhatara Guru mangkat. Oleh karena itu, segera putra baginda yang bernama Sri Taruna Jaya dilantik menjadi raja di Bali, dengan gelar : Sri Walajaya-Kertaningrat, didampingi oleh ibundanya yaitu Dri Tara Bhatara Guru (paduka janda Bhatara Guru).
Tahun berganti tahun maka pada tahun çaka 1259 (137 TM). Sri Wilajaya-Kertaningrat mangkat. Oleh karena demikian maka pemerintahan segera dipegang oleh Sri Asta Sura Ratna. Bagindalah dinobatkan menjadi raja Bali, karena bagindalah anak raja almarhumah.
Sejak pemerintahannya Paduka Sri Asta Sura Ratna di Bali sangatlah aman dan tentram negara Bali, karena dari kebijaksanaan Sri Paduka sangat berwibawa, pandai dengan segala ilmu, Baginda beraliran Agama Budha Bairawa, dan tidak mau tunduk kepada raja-raja Nusantara, lebih-lebih Negara Majapahit.
Lama kelamaan gembar-gembor baginda samapi ke telinga orang Majapahit, akhirnya didengar oleh Sri Maharaja Majapahit, yaitu Sri Maharaja Ratu Putri Tribhuwana. Alangkah murkanya baginda putri, baru mendengar bahwa Raja Bali tidak mau tunduk kepada Pemerintahan Majapahit. Dari itu Sri Paduka Ratu Tribhuwana, mengutus Ki Patih Gajah Mada bersama Ki Arya Adityawarma, (Arya Damar) menyerang Pulau Bali.
Tiada diceritakan peperangan prajurit Majapahit melawan prajurit Bali, akhirnya prajurit Bali kalah. Sri Ki Kebo Yuwa yang menjabat sebagai Maha Patih muda gugur di Telagorung di Jawa. Oleh tipu muslihat lawannya yakni Ki Gajah Mada. Sira Kyan Pasunggrigis yang menjabat Patih Agung Raja Bedahulu, di penjarakan di Desa Tengkulak. Kemudian diadu ke Sumbawa, Sri Paduka Asta Sura, gering sangat berat, karena sangat sedih, seakan-akan tidak menghiraukan masyarakat dan negaranya sehingga terjadi peperangan. Akhirnya baginda mangkat, arwahnya menuju Wisnuloka. Istana baginda yang ada di Desa Bedahulu, hancur berantakan, tidak bisa didirikan lagi. Tetapi tempat permandian baginda hingga sekarang masih disebut Pura Arjuna Matapa.
Oleh karena lama belum ada raja yang ditunjuk oleh Majapahit, maka keadaan di bali sangat sepi dan ketakutan. Kemudian pada tahun çaka 1272 (1360 TM) Sri Aji Maharaja Kepakisan putra seorang Brahmana dari Kediri, diangkat oleh Patih Gajahmada supaya datang ke Bali. Baginda diantar oleh Resi Bhujangga Waisnawa Mustika atau dinamai juga Resi Semaranata, segala alat-alat keraton dan pakaian kebesaran Kadipatiyan, juga keris yang bernama Si Gaja Dungkul, semuanya menjadi perlengkapan Baginda. Demikian juga Sri Sang Resi Bhujangga Mustika menghantar ke Bali membawa Bajra Uter, Bajra Padma, Genta Orag, Bajra Ketipluk, Bajra Sungu dan serba Weda Bhumi Tua, dan Bhumi Kemulan, Reg Weda, Yayur Weda, Bwat Sot, Pralina, Pengentas Wariga dan lain sebagainya.
Sri Kresna Kepakisan bersama Sang Bhujangga baginda yakni Ida Resi Bhujangga Waisnawa Mustika menuju daerah Silangungang yang ada di Bali. Setelah lama baginda ada di Silangungang, kemudian mereka membangun sebuah tempat suci, yang diberi nama Batu Ngawus dan Pura Madura. Pura Batu Ngawus dan Pura Madura itu dipergunakan oleh Ida Pendeta Bhujangga Waisnawa Mustika sebagai tempat untuk metirtayatra.
Sri Kresna Kepakisan dan Ida Resi Bhujangga ada di Pulau Bali disembah oleh para Arya seperti Arya Kenuruhan, Arya Wangbang, Arya Kenceng, Arya Dalancang, Arya Belog, Arya Menguri, Arya Kutawaringin, yang terakhir Arya Gajah Para yang tinggal di Toya Anyar. Di sebelah Utara.
Diceritakan mereka itu di Watu-Ngungan, seorang Raja dan seorang Resi, dan di antar oleh Dalem Sala dengan keluarga, mereka sangat gembira melihat pemandangan itu. setelah puas beliau pergi ke pinggir Asah dan di perjalanan beliau tak lupa memuja mohon Restu Ida Sang Hyang Widhi. Setelah tiba di pinggir Asah Ida Dalem dan Sang Maha Resi, mendapat Kurnia dari Sang Maha Kuasa. Yang kemudian tempat tersebut dinamakan Seseh dan tempat pemujaan di sana sebagai pengestawa Sanghyang Anantadi dan Sanghyang Samudra. Selanjutnya beliau meneruskan perjalanan menuju Ujung Bali Selatan. Di sanapun beliau mendapat kurnia yang Kuasa yaitu Ida Batara anyatuaning Ida Dalem seorang Istri Dewi yang namanya Dewati istri Yuani. Kemudian sebagai tempat pemujaan di sana dinamakan Pura Pacatu.
Setelah itu mereka pergi bersama-sama ke Desa Samprangan melalui pelabuhan Desa Lebih. Dalam perjalanan ini ikut juga para Bhujangga membawa Pustaka-pustaka antara lain : Kekawin Desa Warnawa Arjuna Wijaya, Sutasoma dan Lontar Usada.
Setelah tiba di Desa Samprangan, kemudian Ida Sri Aji Wau Rauh (Sri Kresna Kepakisan) memerintahkan rakyatnya supaya segera membuat Sawah Pagagan, Pasraman dan supaya menanam Padi dan Palawija. Sementara gembiralah Masyarakat itu merabas hutan dan membabat tanah untuk Sawah dan kebun.
Oleh karena Hutan janggala itu sangat angker, dihuni oleh kala Dedemit dan orang halus, akhirnya kebanyakan Rakyat Baginda itu ditimpa penyakit keras, ada yang kegila-gilaan dan ada yang menggigil, yang menyebabkan pekerjaan membangun itu tidak selesai. Oleh karena demikian halnya, kemudian datanglah Ida Resi Mustika, memohon kehadapan para penghuni Hutan janggala, agar tidak menyakiti atau menyiksa mereka yang sedang membangun itu. sebaliknya dimohonkan supaya mereka selamat dan panjang usia. Selanjutnya Daerah Hutan Janggala itu dibuatkan upacara kurban Boganana dan angkus, serta pengirimannya menyuarakan sangkala sunggu dan bajra ute. Akhirnya gegap gempita para butakala, setan, orang halus itu memakai sajen kurban itu. demikianlah pekerjaan Sang Resi Bhujangga Mustika, demi keselamatan Sri Maharaja Kresna Kepakisan dan negara Bali.
Selanjutnya pada tahun çaka 1320 (1398 TM) Ida Sang Wijaya Rajasa, raja daerah wengker, diperintahkan oleh raja Hayam Wuruk di Majapahit, mendampingi raja Bali. Demikian ceritanya.
Dalam pemerintahan Sri Aji Kresna Kepakisan, pada ̤aka 1272 sampai dengan ̤aka 1302 (1350 Р1360 TM) yang kemudian dilanjutkan juga oleh Sri Agra Samprangan, rupa-rupa kebanyakan tiada senang, terbukti karena di sana sini ada pemberontakan.
Oleh karena itu atas kebijaksanaan Patih Agungnya yang ada di Gelgel, melantik Ida Dalem Ketut Ngulasir, sebagai Dalem dengan gelar Sri Asmara Kepakisan. Politik pemerintahannya Dalem Asmara kepakisan (Dalem Ketut Ngulasir) beberapa dengan politik Pemerintahan Dalem-Dalem sebelumnya. Sebelum Dalem Asmara Kepakisan memerintah di Bali Desa-Desa Dusun-Dusun yang jumlahnya 39 buah, sering mengadakan pemberontakan karena mereka tidak setuju diperintah oleh orang-orang Majapahit. Ke 39 Dusun-Dusun yaitu : Desa Batur, Campaga, Songan, Kedisan, Abang, Pingan, Munti, Bonyoh, Taro, Bayad, Sraya, Sukawana, Panrajon, Kintamani, Peludu, Manikliu, Culik, Tista, Margatiga, Munti, Desa Got, Basangalas, Lokasana, Juntal, Garinten, Nasi Kuning, Puhani, Wulakan, Sibetan, Asti, Baturinggit, Kadampal, Paselatan, Bantas, Tulamben, Carucut, Datah, Batudawa, dan Kutabayen. Tetapi setelah Ida Dalem Asmara Kepakisan memerintah di Pulau Bali ini atas kebijaksanaan Baginda dan juga baginda pandai mengambil hati rakyat Bali untuk itu beginda dapat mendirikan sebuah monumen merupakan patung perwujudan raja Tegeh Koripan, Gunung Penulisan, Daerah Sukawana. Di berlakang patung itu terdapat sebuah prasasti yang menunjukkan selesai pembuatannya pada tanggal 4 Maret 1430.
Disamping membuat patung dengan prasastinya, baginda pun bersama Sang Maha Resi bhujangga telah mendirikan, sebuah Pura besar di Kota Gelgel, yang disebut Pura Dasar tempat pemujaan seluruh golongan atau sekta yang ada di bali demi kesatuan dan persatuan Suku Bali.
Kemudian Ida Resi Bhujangga Waisnawa Mustika meninggalkan daerah Hutan janggala, menuju arah Timur Laut Desa Klungkung, yang kini disebut Desa Sanggwan (Sela Pegat Lapang) Sanggwan yang artinya : Se, ngaran Sema ngaran Suci, unggwan ngaran Genah / Tempat.
Beberapa tahun beliau tinggal di tempat itu, kemudian beliau mempunyai seorang putra yang diberi nama Ida Bagus Angker. Setelah beberapa tahun Ida bagus Angker di Desa Sanggwan, kemudian pergi menuju Desa giri Kusuma. Di sana Beliau bersemadi, memuja Ida Sang Hyang Widhi. Akhirnya, tempat itu disebut Gunung Sari. Tempat tinggal beliau disebut Jati Luwih. Karena Ida Bagus Angker Sungguh-sungguh orang yang sudah tamat dari pelajaran-pelajaran ilmu. Setelah beliau mediksa (mensucikan diri) maka Ida Bagus Angker bergelar Bhagawan Resi Canggu bersama Arya Wangbang dengan masyarakat Desanya mendirikan sebuah Parhyangan Widhi, yang diberi nama Pura Patali. Beliau ini sangat pandai dengan Ilmu Sastra akhli dalam ilmu Dunia Pana dan Dunia Baka, juga pelajaran-pelajaran Wariga (Ilmu Perbintangan) dan Ilmu Gaib juga pandai mengobati orang-orang sakit berat. Sekarang diceritakan beliau pergi dari Desa Jati Luwih menuju Desa Nyitdah. Pada tempat itulah Ida Bhagawan Resi Canggu mendirikan ssebuah Parhyangan Widhi yang diberi nama Pura Kalipisan. Setelah lama maka Ida Bhagawan Resi Canggu mempunyai putra empat orang yaitu : Ida Bhujangga Guru, Ida Bhujangga Kerti, Ida ayu Mertayoni dan Ida bhujangga Surantaka. Ida Bhujangga Guru di Nyidah mempunyai putra dua orang, yang sulung bernama Ida Bhujangga Swanita dan yang bungsu bernama Ida Bhujangga Alit Adiharsa. Entah beberapa tahun kemudian Ida Bhujangga guru lagi mengambil seorang istri yang sangat cantik molek paras mukanya, putri dari Ida Dalem Waturenggong namanya I Dewa Ayu Laksemi.
Baiklah sekarang diceritakan cara perkawinannya Ida Bhujangga Guru dengan Dewa Laksemi.
Diceritakan dalam pemerintahan Dalem Waturenggong pada tahun çaka 1382 (1460 TM), selama baginda memerintah di Bali, Baginda dibantu oleh Sang Trini seperti Brahmana Siwa, Brahmana Bhoda dan Brahmana Resi Bhujangga Waisnawa. Sejak jaman itu terkenal di sebut-sebut jaman keemasan, jaman kesusastraan. Masyarakat seluruhnya sangat sukaria. Segala apa yang ditanam semuanya tumbuh dan segala yang dibeli semuanya serba murah.
Sri Maharaja Waturenggong mempunyai empat orang, putra laki-laki tiga orang dan seorang wanita yang tertua bernama : I Dewa Pamayun, yang kedua bernama I Desa Ayu Laksemi, yang ketiga bernama I Dewa Saganing dan yang keempat bernama I Dewa Ularan. I Dewa Ayu Laksemi bersama    I Dewa Ularan beribu Panawing, bukan lahir dari Permaisuri.
Setelah semuanya remaja, maka mereka belajar kepada Sang Trini. I Dewa Pamayun bersama I Dewa Saganing berguru sama Pendeta Siwa, I Dewa Ayu Laksemi berguru sama Pendeta Bhoda dan I Dewa Ularan berguru pada Pendeta Resi Bhujangga Waisnawa. Sesudah lama mereka berguru kepada Sang Katrini, Raja Putra Raja Putri itu akil balik, semuanya semakin tampan, dan cantik. I Dewa Laksemi sangat cantik jelita paras mukanya dan tubuhnya yang ramping itu sangat menggiurkan para pemuda yang memandangnya. Akhirnya I Dewa Laksemi diperistri oleh Sang Bhujangga Guru sebagai permaisuri. Dalam perkawinan itu I Dewa Ayu Laksemi membawa barang-barang bukti perkawinan (Raja Panomah) baru diketahui sikap Sang Bhujangga demikian rupa, maka para pendeta Siwa dan Bhoda yang menjadi guru itu sangat benci kepada Sang Bhujangga Guru itu. Terutama yang paling murka adalah Sri Maharaja Waturenggong yakni ayahnda I Dewa Ayu Laksemi. Selanjutnya Baginda memerintahkanprajuritnya untuk membunuh Sang Bhujangga itu. demikian perintah Sri Maharaja, tetapi sebelum prajurit menyebar hendak menangkap, Ida Sang Bhujangga sudah tiada, bersembunyi pergi ke Gunung Sari.
Beberapa tahun Ida bhujangga Guru bersama Istri I Dewa Ayu Laksemi tinggal di Gunung Sari, kemudian mereka mempunyai putra tiga orang. Putranya yang tertua bernama Ida Bagus Adi Guru. Setelah dibuatkan upacara penyucian (Padgala), diberi nama Ida Bhujangga Resi, bertempat tinggal di Watuwulan Pegambangan. Putra yang kedua bernama Ida Bhujangga Arya Subrata bertempat tinggal di Klating dan putra yang ketiga Ida Bagus Cakra, setelah dibuatkan upaara penyucian diberi nama Ida Bhujangga Resi Cakra, bertempat tinggal di gunung Sari.
Sekarang diceritakan Bhujangga Alit Adiharsa di Gelgel selalu memuja mendoakan keselamatan negara. Berselang beberapa harinya datanglah Ida Bhoda ke Bali, lengkap membawa alat-alatnya, seperti Brahma Anglayang, Campor, Talo Siwa Mandala, Kusuma Dewa, Widhi Papincatan, Sarwa Dresti Agama, Dewa Gama dan Adhi Gama.
Sang Brahmana Siwa putus yaitu putra dari Pendeta Bahurauh bersama Ida Bhujangga Alit Adiharsa mengadakan pertemuan di Gesa Gelgel. Beliau-beliau itu dianggap Pendeta Purohita yakni Sang Katrini. Sungguh berbeda-beda pelaksanaanya namun tujuannya tunggal, mensejahterakan dan mengamankan negara.
Ida Sang Siwa (Peranda Siwa) mengukuhkan weda dan tapa brata, bertempat (agriya) di Belahan Sungai Unda. Ida Sang Bodha (Peranda Bodha), mengukuhkan keselamatan negara, puja-weda dan obat-obatan, bertempat tinggal (agriya) di Karang Olang. Ida Resi Bhujangga Waisnawa (Peranda Resi Bhujangga), mengukuhkan Puja Weda, Tenung dan meruat kekotoran negara dan memulihkan kembali cacat dan noda masyarakatnya, bertempat tinggal (Agriya) di Setra Ganda Mayu mewilayahi pekarangan setra dan Pura Dalem.
Itulah yang bernama Sang Katrini yaitu ; Siwa, Sada Siwa, dan Paramasiwa, sama-sama memiliki wewenang menyelamatkan negara. Itulah sebabnya, mereka itu tidak boleh saling membenci, mereka bebas dari iuran dan pajak, karena sudah bertugas menyelamatkan negara, memakai puja, Bajra dan sebagainya. Sang Siwa, dan Bodha penjelmaan Sang Hyang Suniamurti, semuanya memegang Bajra. Ida Resi Bhujangga Waisnawa penjelmaan Sang Hyang Suniya Hening, memegang Bajra banyaknya lima buah.
Pada tahun çaka 1573 (1651 TM) Ida Bhujangga Alit Adiharsa pergi menuju Desa Kunir Ledah (Nyitdah) hendaknya akan berasrama di Desa Jati Lewih bersama ayahnya yaitu Sang Bhujangga Guru. Telah lama Ida Bhujangga Alit Adiharsa diasrama Jati Lewih, kemudian ia kawin dengan Ni Luh Arti dari Ki Pasek Sumerta yang berasal dari Desa Sumerta. Selanjutnya ia berputra tiga orang anak, yang tertua bernama Ida bagus Sumerta, yang kedua putri bernama Ida Ayu Badri dan yang ketiga laki-laki bernama Ida bagus Catuspata.
Diceritakan dalam pemerintahan Sri Dalem Saganing sejak tahun çaka 1580 (1658 TM) di Bali keadaanya hancur lebur karena Raja Bali banyak memiliki istri, dan tidak ingat kepada kehidupan rakyatnya, sandang, pangan dan lain sebagainya. Oleh karena demikian maka segeralah Ida Bhujangga Alit Adiharsa menasehati Dalem, tujuannya agar jangan terus langsung mengambil istri saja, mengakibatkan rakyat menjadi kacau balau. Tetapi karena sudah diselubungi oleh nafsu, maka Raja menjadi sangat murka kepada orang yang menasehati itu. semua nasehatnya itu tidak disetujui oleh Dalem. Oleh karena demikian masalahnya, lalu Ida Bhujangga Alit tidak dihiraukan oleh Dalem. Dari itulah Bhujangga Alit pergi dari Gelgel terlunta-lunta menuju ke Setra Ganda Mayu. Ditempat itulah beliau tinggal. Sepeninggal Ida Bhujangga Alit Adiharsa, maka kewibawaan Sri Maharaja Kabur, hilang kebijaksanaan Baginda, kegunaannya juga hilang karena diselubungi oleh panca indra.
Akhirnya negara menjadi gaduh, huru-hara rakyat disurupi angkara murka, sentimen, perkosaan banyak, saling caci makim banyak penjahat, perampok saling bunuh membunuh. Hama banyak di ladang, di sawah, hingga tanam-tanaman tiada menghasilkan terutama padi, jagung dan semua palawija rusak tiada berbuah.
Oleh karena demikian keadaan paceklik negara dan kekacauan masyarakatnya, maka Sri Maharaja sangat susah memerintah negaranya. Belakangan Sri Maharaja segera merapatkan para yoginya semua, guna memperbincangkan masalah kekeruhan tersebut. Setelah parayogia bersama para pendeta itu berdatangan, bertemu muka dan temu wicara, kemudian Sri Maharaja memberi wejangan dipaseban dimuka para yogia dan para pendetanya.
Sabda baginda : “Yang terhormat para yogia, para pendeta, patih, tandamantri semuanya, apakah kiranya yang menyebabkan negara kita menjadi kacau, gelisah, sering terjadi huru-hara, paceklik, rakyat saling bunuh-membunuh, banyak orang sentimen penyakit banyakm begitu pula banyak lagi kegelisahan lainnya. Inilah yang menyebabkan aku sedih sesak pikiranku. Apakah yang menyebabkan itu?”
Demikian sabda baginda dengan bersedih hati.
Mendengar wejangan baginda itu, maka segeralahpatih baginda menyembah, “Yang mulia, tuanku Sri Maharaja, junjungan kami, sungguh sebagai bulan kesiangan wibawa paduka raja”. Kemudian disela oleh haturnya Pendeta Bodha, yang ditujukan kepada para yogia semua, katanya : “Wahai bapak-bapak dan saudara-saudara sekalian, saya ingin bertanya kepada bapak sekalian. Siapakan yang sebelumnya atau yang terdahulu pernah membuat dan melaksanakan upacara demi untuk keselamatan negara kita ini:. Itulah yang oatut diterangkan atau dihaturkan kehadapan Sri Maharaja!”
Semua orang yang ada di paseban, diam seorangpun belum ada berani yang mengungkapkannya. Dari itulah murkalah Sri Maharaja karena pertemuan yang diadakan itu buntu. Akhirnya bagindapun bangkit terus berjalan masuk ke dalam istana. Kecuali Sri Maharaja, rapat itu masih dilanjutkan oleh para yogianya semua. Pendeta Bodha itu terus menanyakankepada sidang siapa dulu-dulunya yang melakukan upacara untuk menyelamatkan negara.
Tiba-tiba terdengan seorang tua dari pesisir Desa, Sembahnya : “Yang sangat hamba junjung para yogia dan para pendeta sekalian”. Maafkan sembah hamba ini, orang dari dusun, dungu, nestapa, benar salahnya, hamba tiada tahu yang sebenar-benarnya. Kini ada seorang tua yang menghamba kepada Ida Bagus alit Adiharsa di Setra Ganda mayu. Setiap apa yang dikerjakan oleh orang tua itu, justru sama dengan orang-orang yang masih muda. Menurut hemat hamba, apakah tidak sebaiknya orang tua itu kita harapkan penjelasannya demikian sembah orang dusun itu. mendengar kata itu maka Sang Paduka Siwa, Sang Pendeta Bodha serempak berkata, “Ya jika memang demikian masalahnya, sebaiknya orang tua itu kita panggil supaya datang bersama Ida Bhujangga Alit Adiharsa untuk menerangkannya, kata Pendeta itu sambil menyuruh orang dusun itu untuk mendatangkan orang tua itu.
Baiklah kini hamba pamit demikian sembahnya sambil berjalan keluar istana.
Tiada diceritakan dalam perjalanannya, segera tiba orang dusun itu di Setra Ganda Mayu. Setelah ditemui orang tua itu, lalu orang dusun itu menyampaikan apa yang telah diutusnya. Setelah selesai mereka bertanya jawab, kemudian ketiga orang itu bersama-sama berjalan ke istana.
Oleh karena perjalanan mereka cepat-cepat, jadi segeralah mereka tiba di istana. Mereka sangat hormat menghormati para sidang di pendopo.
Setelah mereka duduk dengankhidmat, kemudian Ida Pendeta Siwa berkata : “Wahai bapak Kotenu, baru datang?, kami semua mengharapkan kedatangan bapak, tidak lain untuk menerangkan keadaan-keadaan masa yang lalu rupanya bapak sudah mengetahui siapakah pada masa yang lalu menghantarkan caru yaitu korban suci untuk pujaan keselamatan negara, sehingga negara kita makmur sejahtera dan aman. Demikian sabda Pendeta Siwa, yang ditujukan kepada bapak mangku Kontenu.
“Om, Swastyastu, Bapak-bapak yang terhormat, terutama para Pendeta yang hamba junjung sekarang hamba akan menjelaskan, siap yang patut melaksanakan pujaan keselamatan negara pada waktu sebelumnya, artinya pada jaman atau masa yang lalu. Tetapi benar dan salahnya hamba mohon dimaafkan, karen hamba ini adalah manusia sudah tua rukuh, sudah lupa-lupa ingat.
Seingat hamba, semenjak dahulu terutama sejak Sri Dalem Waturenggong yaitu ayahanda Sri Dalem sekarang yang memerintah di Bali, yang selalu bertugas untuk melaksanakan upacara menyelamatkan negara Bali, tiada lain adalah Ida Resi Bhujangga. Beliau itulah yang meruat kekotoran, papa neraka manusia dan menyucikan negara Bali ini, yang akibatnya menjadi aman sentaosa lahir bathin. Demikian, sembah Mangku Kontenu itu dengan hormatnya. Sebelum Ida Pendeta Siwa akan berbicara dengan Ida Bagus Alit, tiba-tiba pada badan Bhujangga Ida Bagus Alit, tampak jelas wajah mykanya seperti Ida Resi Bhujangga Waisnawa. Beberapa saat lalu ributlah keadaan pertemuan yang ada di pendopo Istana. Gegap gempita, sedih bercampur kasihan, mereka baru mendengar suara Genta, Sangkakala (Sungu) yang tidak ada orangnya, menggema keangkasa menyebabkan alamat gempa, guruh, halilintar sambar menyambar dan hujan gerimis. Di langit tampak pelangi yang melengkung, ada yang berdiri, (teja-kuung, tejangadeg) serta di sungai sugnai banjir bah / agung sangat besarnya.
Diceritakan sekarang sangkunya yang dipegang oleh Ida bagus Alit, dengan mendadak berisi air suci. Air suci itu lalu dipercikkan di balai pendopo, kemudian disuruh memberikan kepada Desa-Desa sampai kepelosok-pelosok Dusun, yang ada di Bali. Penuh sesak, berjejal-jejal keadaanya sekeliling itu, terutama para mahapatih, tanda manteri, manca punggawa, para-juru. Ida Pendeta Siwa dan Ida Pendeta Bodha menyaksikan Bhujangga Ida Bagus alit mengantarkan sajen pujaan di balai-balai istana. Ikut juga meriahkan upacara itu, Gong-Lwang, Gong Gambang, Gender, Angklung, Joged, Legong, Gambuh, Wayang dan semacam tari-tarian lainnya.
Ida Dalem yang memerintah di Pulau Bali, menghadapi upacara itu atau menyaksikan upacara itu yang sedang dilaksanakan oleh Bhujangga Ida Bagus Alit. Setelah Baginda menyadari, maka Baginda sangat gembira. Ida Dalem Saganing bersama Sang katrini yaitu : Ida Pendeta Siwa, Ida Pendeta Bodha dan Ida Pendeta Resi bhujangga Waisnawa, Para juru sekalian serta Mangku Kontenu, berbincang-bincang di balai pendopo istana. Pelaksanaan ini dilakukan selama satu bulan selesai.
Tak diceritakan di Pulau Bali lebih lanjut, sekarang marilah ceritakan di Majapahit, Jawa Timur.
Adalah seorang suci yang bernama Sang Hyang Sunia Hening bertempat tinggal di Majapahit, mengutus putra beliau yang bernama Ida Resi Madura, pergi ke Bali. Karena keadaan masyarakat Bali itu sangat kacau dan rusak. Upacara-upacara di dalam pura sering kali ditiadakan. Pengurus-pengurus Desanya sering bertengkar satu sama lain, yang menimbulkan perang Desa antara Desa.
Dahulu adik Ida Resi Madura, yang bernama Ida bhujangga Aji Manu, datang ke Bali Dwipa yang maksudnya mengamankan masyarakat di Pulau Bali, tetapi sia-sia belaka. Itulah sebabnya kini diutus Ida Resi Madura serta membawa lontar pustaka raja lontar Hindu Bali Daha dan Brahmandapurana. Setelah beliau tiba di Bali Dwipa, dengan segera beliau mengajarkan dan memberi pengarahan warganya semua para Bhujangga Waisnawa, yang datang sebelumnya, tentang kebajikan Bhujangga Waisnawa.
Katanya. “Jika seorang Bhujangga Waisnawa yang tiada tahu akan pelajaran Dharma Pustaka yakni prilaku Sang Bhujangga, pasti dia akan morat-marit keluarga Bhujangga Waisnawa itu”.
Demikian antara lain, wejangan ida bhujangga Resi Madura.
Tahun berganti tahun, kemudian bali ditimpa ciri-ciri buruk, karena sudah takdir Ida Sang Hyang Widhi. Banyak Desa-Desa yang rusak, berperang antara sesamanya, seperti Desa Satria hancur, demikian juga Desa Penatih, Desa Bun, Desa Badung, Desa Ketewel, Desa Kuramas, Desa Pejeng, Pura Pusering Tasik, Desa Babahung Daerah Gianyar, kesemuanya itu hancur berantakan. Kemudian Pura Kentel Gumi dan Pura-pura yang ada diwilayah Klungkung rusak.
Sekarang diceritakan Ida bhujangga aji Manu di Tabanan, mendengar kabar, bahwa kakaknya yang bernama Ida Resi Madura tiba di Pura Pulaki Daerah buleleng, pada hari Rabu Keliwon Wuku Dunggulan, Bulan Hinu Awidia, satuan 2, puluhan 0, icaka 1302 (1380 TM)
Keluar dari Pura Pulaki, beliau tinggal di Desa Baratan. Saat ini ada pada jaman pemerintahan Ida Dalem Sri Asmara Kepakisan di istana Swecapura. Sekian.
Diceritakan sekarang Ida Bhujangga Resi Madura yang ada di Pura Pulaki Daerah Buleleng, karena beliau sudah lama di sana, kemudian beliau meninggalkan Pulaki pergi menuju Desa Baratan.
Pada tempat ini beliau diberi nama Ida Rese Gede Madura, karena beliau terkenal mendirikan sebuah parhyangan Widhi yang bernama pura Dalem Madura.
Lain dari itu juga beliau mendirikan sebuah parhyangan Widhi yang disebut Pura Gunung Sari di Desa Asah Danu, tempat memuja Ida Resi Markandheya yang telah lama mangkat.
Ida Resi Markandheya moksah di hutan Basturi, Gunung Bhujangga Daerah Desa Sepang. Di tempat itu almarhum menyimpan pajenengan (barang pustaka suci) yaitu alat-alat upacara, seperti : Narabhajra, Siwakarana, dan sebagainya. Kemudian Ida Resi Madura pergi ke Desa Panghyangan, Teledu Nginyah, Gumbrih, Batu Mejan dan Suryabrata. Selanjutnya dari Suryabrata pergi ke Batan Gatas. Pada tempat inilah beliau mendirikan sebuah parhyangan Widhi yang disebut Pura Dalem Pauman, sebagai persembahyangan para kesatria, para punggawa dan para Brahmana Bhujangga,
Setelah itu lalu Ida Resi Madura pergi dari Batan Getas, menuju Desa Baratan, tempat tinggalnya yang dulu. Ida Resi Gede Madura mempunyai dua istri. Istri yang pertama wanita yang cantik molek dari Majapahit. Dari istrinya ini melahirkan dua putra laki-laki. Yang sulung bernama Ida Bagus Surya bertempat tinggal di Batan Getas dan yang bungsu bernama Ida Bagus Made Weka bertempat tinggal di Desa Kayu Pinge, bersama ibu tiri beliau I Dewa Ayu Sapuh Jagat, berputra empat orang yaitu : Ida Bagus Cakara, tinggal di Desa Jati Lewih yang kedua bernama Ida Bagus Made Putra, tinggal di Banyu Asrep, yang ketiga bernama Ida Bagus Nyoman Sudana, tinggal di Blambangan Jawa Timur dan yang keempat bernama Ida Bagus Merta, tinggal di Gegelang.
Setelah beberapa tahun lamanya Ida Resi Madura, kemudian lagi beliau mengambil istri. Dari perkawinan beliau itu berputra buncing; yang laki-laki bernama Ida Resi Gede Celong dan adiknya tidak disebutkan namanya. Ida Resi Gede Celong bertempat tinggal di Desa Padang Jerak Daerah Mengwi.
Diceritakan sekarang Ida Resi Gede Celong sudah lama tinggal di Desa Padang Jerak, kemudian beliau pergi menuju Gunung Sari daerah Tabanan. Ida Resi mendengar kabar, bahwa konon ada warganya yang tinggal di Desa Nyitdah yang bernama Ida Bagus Cakra. Itulah sebabnya mereka saling bantu-membantu, saling asah, asih dan silih asuh. Keduanya mahir akan mantra-mantra dan weda-weda, juga falsafah-falsafahnya karena kedua orang itu bersaudara tunggal ayah. Mereka dapat mendirikan Pura Jawa.
Pada tahun çaka 1322 (1400 TM) dalam pemerintahan Dalem Sri Asmara Kepakisan, Ida Resi Gede Tamu setelah lama tinggal di Lukluk, kemudian pergi menuju Desa Canggu. Pada tempat ini beliau membangun Desa dan mendirikan Pura Kamimitan Bhujangga yang hari upacaranya setiap bulan gelap (Tilem) Bulan Hindu Wesaka. Beberapa tahun lamanya beliau tinggal di sana, kemudian beliau mempunyai enam orang putra, yang tertua bernama Ida Bagus Resi Gede Micer yang menengah bernama Ida Resi Made Tambing, yang ketiga bernama Ida Resi Nyoman Mambang, yang keempat bernama Ida Resi Ketut Ngawun, adiknya bernama Ida Wayan Dukuh, dan yang paling bungsu bernama Ida Ayu Maserok. Sekian.
Kembali diceritakan putranya Ida Resi Madura yang bernama Ida Bagus Made Putra tinggal di Desa Banyuasrep, Desa Banyuatis nama sekarang, mempunyai putra seorang. Setelah disucikan dengan upacara (Madiksa) bernama Ida Resi Kania. Beliau itu yang dimohon melaksanakan upacara Pitra Puja di negara blambangan. Setelah tiba di Blambangan maka ditemukan Ida Bagus Cangle, Putra Ida Bagus Sudana. Ida Bagus Cangle menyembah, :Yang mulia Ida Resi Kania, hamba ini adalah putra Ida Bagus Sudana. Hamba orang yatim piatu, ditinggal ayah dan ibu”.
Setelah Ida Resi Kania mendengar atur Ida Bagus Cangle maka terkenanglah akan pamannya, hatinya sesak, terharu dan penuh dengan kesedihan, serta keluarlah air matanya, mempasahi pipinya, titik-titik jatuh kepangkuannya. Kemudian ia berkata “Wahai, anakku Ida Bagus Cangle, marilah kembali ke Bali bersamaku”, demikian ujar Ida Resi.
Sangat baiklah Ida Resi, hamba ikut menghantar Ida Resi pergi ke Bali. Demikianlah sembah Ida Bagus Cangle.
Ida Resi Kania lalu menyelenggarakan upacara Putra Yadnya atas permintaan Dalem Blambangan. Setelah upacara dan sajen-sajen itu dimantrai (didoakan), kemudian segera Ida Resi membasmi beberapa Bade yaitu menara usung jenasah, dengan alat sebuah kaca. Setelah Ida Resi Kania melaksanakan tugas, kemudian Sri Paduka Maharaja Blambangan memberi punia yaitu hadiah sebesar enam puluh lima ribu uang kepeng dan sebuah kaca suryakanta serta tongkat yang terbuat dari kayu jelawe, lalu segera Ida Resi kembali ke Desa Banyuatis Bali diantar oleh Ida bagus Cangle.
Lama kelamaan Ida Resi di Desa Banyuatis bersama Ida Bagus Cangle dan Ida Resi Gede Brata, beranjangsana ke sebuah tetamanan. Dipekarangan tetamanan itu Ida Resi kania memancangkan tongkatnya setelah lama tumbuhlah tongkat itu bercabang, beranting dan berdaun. Dilihat oleh Ida Resi Kania, lalu berkata sama saudaranya yaitu Ida Resi Gede Brata dan Ida Bagus Cangle.
“Wahai adikku berdua, lihatlah tongkat itu tumbuh alangkah baiknya tempat ini dipergunakan utuk tempat pemujaan Ida Bhatara”. Akhirnya tempat itu dipakai tempat suci, yang diberi nama Pura Puja Lawe, tempat pemujaan Ida Resi Kania. Sekian.
Ceritakan sekarang Ida Bagus Suci di Banjar, mengambil istri dari Blambangan, serta mempunyai seorang putra bernama Ida Bagus Rajasa. Ia sangat sakti, berpengaruh dan kata-katanya sangat bertuah (Wakbajra). Beliaulah sebagai nabe (pengajar) masyarakat Buleleng bersama-sama dengan Ida Resi Kania.
Ida Bagus Cangle sangat malu-malu duka akan dirinya karena ia sungguh pandai kepada segala ilmu mantra, weda dan juga memiliki sebuah genta warisan untuk melaksanakan Upacara, tetapi ia belum disucikan (diksa), mapodgala. Dari sangat malunya, lalu ia pergi ke Dewa Mengwi, bertempat tinggal di Dasa Munggu Dukuh.
Putranya Ida Resi Gede Brata yang bernama Ida Bhujangga Putu Jiwa, pergi ke Tabanan, bertempat tinggal di Desa Braban. Lama kelamaan Ida Bhujanga Puta Jiwa mempunyai empat orang putra, yang tertua bernama Ida Resi Marna, yang kedua bernama Ida Resi Kerta, yang ketiga bernama Ida Bhujangga Gede Tirtha, dan yang terakhir seorang putri kawin ke Blambangan.
Akhirnya oleh karena sudah takdir Ida Sanghyang Widhi Desa Braban itu hancur, ribut karena semua ingin berkuasa. Dari itulah sebabnya keluarga Ida bhujangga Putu Jiwa beramai-ramai pindah tempat menuju desa-desa yang terpencil ada ke Gunung Sari ada yang ke Asah Badung dan ada juga yang ke Desa Patemon, bertempat tinggal di banjar Uma yang bernama Ida Bhujangga Gede Tirtha. Ida bhujangga Nyoman Kerta bertempat tinggal di Banjar Bubunan, Ida Bhujangga Ketut Marna bertempat tinggal di Desa Patemon Banjar Belong. Selesai.
Tahun berganti tahun, Ida Resi Gede Celong berputra seorang bernama Ida Resi Ketut Kintang sedangkan Ida Bagus Cakra di Nyitdah mempunyai putra dua orang, yang tertua laki-laki bernama Ida Resi Gede Tamu dan yang bungsu wanita sangat cantik paras mukanya bernama Ida Ayu Istri Ayu. Ida Resi Gede Tamu bertempat tinggal di Desa Lukluk.
Ida Resi Ketut Kintang dan ida Resi Tamu kedua-duanya mempunyai istri yang sangat cantik molek dan sempurna. Ida Bagus Cakra dari Nyitdah pergi ke Asah Danu, kemudian ke Klating Dukuh.
Menjelang beberapa tahun lamanya, lalu Ida Resi Ketut Kintang dan Ida bagus Cakra disertai istri-istrinya meninggalkan Daerah Tabanan, tinggal di Desa Lukluk. Kemudian Ida Resi Ketut Kintang ingin pergi ketempat-tempat suci (matirtayatra) pergi dari Desa Lukluk, menuju Desa Taro. Pada tempat inilah ia membangun Desa, serta menyucikannya setelah selesai membangun Desa, kemudian ia pergi ke Desa Lod-Unduh. Di sini ia dihormati sekali oleh masyarakat Desanya karena ia sangat berjasa. Setelah ia pergi dari Desa Lod-Unduh, menuju Desa Angkling. Pada tempat ini Ida Ketut Kintang menyucikan Desa. Entah berapa tahun ia berada di tempat itu, kemudian ia pergi dari Desa Angkling menuju Desa Banjar Buleleng. Di Desa Banjar Ida Resi Ketut Kintang mempunyai putra laki-laki, seorang bernama Ida Bagus Suci. Selesai.
Pada masa ini keadaan negara Bali sangat aman dan sejahtera. Tetapi tidk lama dinikmati oleh rakyatnya. Karena sudah takdir Ida Sanghyang Widhi, maka jaman huru-hara timbul lagi dimana-mana. Para patih bahudanda dan seluruh prayogia dalam pemerintahan Dalem Saganing, disurupi setan sehingga timbul kesombongan, mabuk-mabukan, korupsi, perkosaan dan lain semacam itu, yang mengakibatkan kehancuran masyarakat Bali. Desa antara desa, buruh tani antara buruh tani, kesemuanya tidak lagi bersatu. Seperti Desa Buduk kacau, dengan demikian juga Dewa Warung, Uma Dewi dan Canggu.
Seperti warga Bhujangga Waisnawa yang ada di tempat-tempat kacau, lalu pergi ke Desa Sabaya. Di tempat yang baru ini mereka menghormati prasastinya Sri Maha Raja Ragajaya, yang pernah memerintah di Bali pada tahun çaka 1077 (1155 TM). Desa Sabaya itu, sekarang disebut Desa Subaya, Daerah Kintamani, Bangli. Para Bhujangga terutama Ida Resi Bhujangga yang ada di Desa Canggu, semuanya meninggalkan tempat itu, pergi manuju Desa yang dianggap aman. Demikian pula Ida Resi Ketut Ngawun pergi dari Desa Canggu menuju Desa Munggu.
Di Desa Munggu Ida Resi Ketut Ngawun mempunyai putra tujuh orang, l ima orang laki-laki dan dua orang wanita, yang itu : yang kepertama bernama Ida Ayu Siring Datu, yang kedua bernama Ida Resi Gede Beneng, yang ketiga bernama Ida Resi Gede Kebyeng, yang keempat bernama Ida Ayu Made Gebeh, yang kelima bernama Ida Resi Teka, yang keenam bernama Ida Resi Gede Pelaga dan yang ketujuh bernama Ida Resi Gede Rias. Selesai.
Diceritakan Ida Resi Gede Mambang pergi menuju Desa Krobokan. Pada tempat yang baru ini Ida Resi membangun Desa dan masyarakatnya. Beberapa tahun kemudian, Ida Resi Gede Mambang tinggal di Desa Krobokan, kemudian ia mempunyai putra tiga orang yang tertua bernama Ida Resi Gede Telaga yang menengah bernama Ida Resi Gede Belong dan yang ketiga wanita bernama Ida Ayu Sari. Setelah Ida Ayu Sari akilbalik, lalu diambil oleh Ida Resi Rempun dari Desa Batan Getas. Selesai upacara perkawinannya itu, kemudian ia menetap tinggal di Desa Kesiman.
Diceritakan sekarang Ida Resi Gede Tambing pergi ke Desa Tumbakbayuh. Pada tempat ini ia membuat rumah dan kemudian beliau mempunyai putra tiga orang, yang tertua bernama Ida Ayu Ampel, yang kedua bernama Ida Resi Gede Kerug dan yang ketiga bernama Ida Resi Gede Gerah. Selanjutnya Ida Ayu Ampel diperistri oleh ida Resi Gede Madri dari Desa Rangeb. Sedangkan Ida Resi Kerug mengambil istri ke Desa Munggu bernama Ida Ayu Siring Datu yang akhirnya Ida Resi Gede Kerug menetap di Desa Munggu.
Ida Resi Gede Gerah mempunyai putra tiga orang yang tertua bernama Ida Resi Petung bertempat tinggal di Desa Buduk, yang menengah bernama Ida Resi Talabah dan yang bungsu bernama Ida Resi Gede Pusi.
Diceritakan I Wayan Dukuh pergi ke Desa Pedungan. Telah lama ia tinggal di sana, kemudian ia mempunyai putra tiga orang yang tertua bernama Ida Resi Gede Krebek, yang menengah bernama Ida Ayu Made Gebris, dan yang terkecil bernama Ida Resi Gede Curing.
Ida Resi Gede Micer pergi ke Gelogor. Setelah lama beliau tinggal di sana, lalu beliau mempunyai empat orang putera yang tertua bernama Ida Resi Gede Gunung, yang kedua bernama Ida Resi Gede Pengkuh, yang ketiga bernama Ida Resi Kawi dan yang bungsu bernama Ida Resi Gede Batur. Ida Resi Gede Pangkuh mengambil istri ke Pedungan bernama Ida Ayu Made Gebris.
Berselang beberapa bulan kedua laki-laki itu pergi ke Daerah Klungkung, tinggal di Desa Takmung. Di sanalah Ida Resi mendirikan Geria tinggal di sebelah Timur jalan. Berselang beberapa tahun ia ada di Desa Takmung kemudian ia mempunyai putra tiga orang. Yang tertua bernama Ida Resi Gede Konol, yang lahir kedua kembar buncing, yang lahir duluan bernama Ida Resi Gede Gereh namanya sama dengan nama pamannya, yang lahir kemudiannya bernama Ida Ayu Made Sentok. Ida Resi Gede Konol melakukan sukla brahmacari, yaitu tidak suka kawin. Ida Resi Gede Gerah yang lahir kembar buncing, mempunyai istri yang cantik paras mukanya dan sangat sempurna karena sangat dicintainya. Telah lama bersuami istri, maka beliau mempunyai putra empat orang, laki-laki tiga orang dan seorang wanita. Putra yang kepertama wanita mengikuti jejak pamannya melaksanakan sukla brahmacari yaitu tidak berswami, tekun menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran pamannya yaitu Ida Resi Gede Konol. Putra yang kedua dari Ida Resi Gede Gerah bernama Ida Resi GedeBedul, bertempat tinggal di Desa Takmung, sebelah barat jalan. Putranya yang ketiga bernama Ida Resi Gede Jempeng, bertempat tinggal di Desa Lepang. Putranya yang paling bungsu bernama Ida Resi Gede Rengen, menetap tinggal di Desa Takmung, sebelah Timur jalan. Kesemuanya itu telah beristrikan wanita-wanita yang sangat cantik jelita paras mukanya. Ida Resi Gede Rengen mempunyai putra dua orang, yang tertua bernama Ida Resi Gede Made dan yang kedua bernama Ida Resi Gede Natih. Ida Resi Gede Natih mempunyai putra dua orang, yang tertua bernama Ida Resi Gede Sukerta dan yang kedua bernama Ida Resi Made Marek.
Ida Resi Merek mempunyai putra seorang bernama Ida Resi Ketut Nedeng. Ida Resi Gede Sukerta mempunyai putra seorang bernama Ida Wayan Twara. Ida Wayan Twara mempunyai putra dua orang, yang sulung bernama Ida Nyoman Rata dan yang bungsu bernama Ida Ketut Merta.
Diceritakan Ida Ketut Merta pergi ke Desa Lepang dipakai anak angkat oleh Ida Made Kaplug yang bertempat tinggal di Desa Lepang. Lama kelamaan Ida Resi Bendul yang tinggal di sebelah Barat jalan Takmung, mempunyai putera dua orang, yang kepertama bernama Ida Ayu Memet, dan yang kedua bernama Ida Ketut Badung.
Ida Ketut Badung mempunyai putra dua orang, yang kepertama bernama Ida Ayu Nasri, dan yang bungsu bernama Ida Nyoman Sembing. Ida Ayu Nasri diperistri oleh Ida Rei Gede Sukerta yang bertempat tinggal di Desa Takmung sebelah Timur jalan raya.Ida Nyoman Sembing mempunyai putra tiga orang, yang sulung bernama Ida Nyoman Kecis, yang kedua bernama Ida Ketut Slopogan. Ketiga saudara itu mengambil istri ke Takmung sebelah Timur jalan.
Lama kelamaan Ida Nyoman Kecis mempunyai putra seorang bernama Ida Wayan Keplag. Ida Ketut Slopogan mempunyai putra dua orang, yang kepertama bernama Ida Ayu Cangkeng dan yang kedua bernama Ida Made Kaplug. Ida Ayu Cangkeng diperistri oleh Ida Resi Gede Angkling di Desa Takmung, Ida Made Kaplug mempunyai putra dua orang yang kepertama bernama Ida Wayan Gledet dan yang kedua bernama Ida Made Gledit. Ida Wayan Gledet berputra seorang bernama Ida Nyoman Mecutan. Ida Made Gledit mempunyai putra dua orang, yang tertua bernama Ida Wayan Keteg dan yang bungsu bernama Ida Nyoman Glogor.
Diceritakan Ida Gede Kawi bertempat tinggal di Desa Glogor, mengambil istri yang bernama Ida Ayu Sempok, Putra dari Ida Resi Gede Putu Keras dari Desan Batan Getas. Masalah perkawinannya ini menimbulkan dalam kekeluargaan, belum selesai percekcokan ini, tiba-tiba Ida Resi Gede Putu Keras pergi dari Desa Glogor berjalan terlunta-lunta, akhirnya tinggal di Desa Buduk.
Beberapa tahun kemudian tiobalah saatnya huru-hara di Negara Bali ini. Desa satu dengan Desa lain bermusuh-musuhan sehingga menimbulkan pertikaian saling bunuh-membunuh selain itu para petani tiada sempat mengerjakan sawah ladangnya. Hama aneka ragam banyaknya memusnahkan hasil tanaman para petani. Yang paling berat ditimpa hama, adalah daerah Gianyar, seperti Desa Kengetan, juga di Daerah Badung, Desa Blahkiuh, Desa Gerih, Desa Mengwi, dan lain sebagainya.
Sekarang diceritakanlah di Desa Nyitdah. Ada seorang Bhujangga Istri yang sangat cantik molek paras mukanya dan sangat sempurna, adik Ida Resi Gede Tamu, diambil untuk diperistri oleh Ida Resi Bhujangga Waisnawa yang bertempat tinggal di Desa Tonja.
Ida Bhujangga Kerta mengambil istri dari Desa Tabanan, bernama Ida Ayu Prabeng. Telah lama Ida Bhujangga Kerta berlaki istri. Kemudian mempunyai putra dua orang, yang pertama wanita bernama Ida Ayu Ketut Seyok dan yang kedua bernama Ida Resi Gede Mambang yang bertempat tinggal di Desa Kerobokan. Sedangkan Ida Resi Gede Kekeran yang tinggal di Desa Penampihan mengambil istri ke Gelogor bernama Ida Ayu Mesrok, adik dari Ida Resi Gede Micer.
Diceritakan Ida Resi Bhujangga Kerta di Desa Tonja lagi mengambil istri dan mempunyai Putra seorang bernama Ida Resi Gede Mencur.
Berselang beberapa tahun Ida Resi Bhujangga Kerta tinggal di Desa Tonja, kemudian timbulah perselisihan di dalam keluarga itu, terutama yang menjadi percekcokan ditimbulkan oleh Ida Resi Gede Limpar antara Ida Resi Bhujangga Kerta karena malunya Ida Resi Bhujangga Kerta, kemudian beliau mengalah dan pergi dari Desa Tonja bersama istri danputranya yang bernama Ida Resi Gede Mecur kembali ke Desa Tangeb. Selain beliau membawa harta miliknya juga beliau membawa senjata Bajra Uter. Kira-kira setahun Ida Resi Bhujangga Kerta ada di Desa Tangeb, lalu putranya diajak oleh Igusti Gelogor yang tinggal di Desa Petiles. Telah lama Ida Resi Gede Mencur tinggal di Desa Patiles, kemudian beliau kawin dengan Ni Gusti Ayu Rebet adik yang paling kecil dari I Gusti Gelogor sesudah lama mereka dalam pelaminan, lalu mempunyai putra empat orang, yang kepertama bernama Ida Resi Gede Loka, yang menengah bernama Ida Resi Gede Mekel, yang ketiga bernama Ida Resi Gede Tangkih, dan yang keempat Ida Resi Gede Kentong. Telah lama ada di Desa Patilesan, maka keempat putranya itu sudah jejaka dan kemudian mereka pergi dari desanya.
Ida Resi Gede Loka menuju Desa Selingsingan. Ida Resi Gede Mekel pergi menuju Desa Kabakaba, Ida Resi Gede Tangkih menuju Desa Pandakbandung dan Ida Resi Gede Kentong pergi ke Desa Abianbase.
Beberapa tahun kemudian dalam abad ketujuh belas Ida Dalem saganing mangkat, pemerintahan dipegang oleh Pangeran Di Made yang diangkat menjabat Dalem pada tahun çaka 1587 (1665 TM)
Karena sudah menjadi takdir Sang Hyang Widhi Tuhan Yang Maha Esa, maka pada tahun çaka 1608 (1686 TM) timbullah nafsunya I Gusti Widhya merebut kekuasaan Dalem Di Made dengankekerasan sehingga Ida Dalem Di Made menyingkir ke Desa Gulingan. Seketika dalam kejutan ini, rakyat menjadi bingung ada yang menyingkir ke tempat-tempat yang dianggap lebih aman, dan ada juga yang masih menetap di Desa Gelgel.
Para pegawai raja sebagian besar masih taat menjunjung tinggi Ida Dalem, sedangkan yang sebagian kecil tunduk kepada kebijaksanaan I Gusti Widhya.
I Gusti Widhya menduduki istana Gelgel dengan gelar I Gusti Agung Maruti.
Di pelosok-pelosok dusun banyak masyarakat desanya yang satu cekcok sama yang lain. Terutama Desa Mangening, Desa Selingsingan dan desa-desa yang lainnya, yang ada dipegunungan. Oleh karena demikian halnya, maka Ida Resi Gede Loka meninggalkan Desa Slingsingan, menuju Desa Mengwi Tani ada juga keluarganya yang pergi menuju Desa Sidan.
Dari Desa Sidan pergi ke Desa Den Bukit, menuju Desa Hiliran, sebelah Timur Desa Buhundalem. Pada tempat itulah belaiau menetap tinggal, terkenal bernama Ida Resi Sidan, karena mulanya dari Desa Sidan. Beliau mengadakan keturunan pada tempat yang baru itu. desa Hiliran sekarang disebut Desa Tejakula, sedangkan Desa Buhundalam disebut Desa Bondalem.
Akibat dari pengambil alihan pemerintahan ini selain desa-desa yang ada dipegunungan kacau, desa-desa yang ada dekat dengan Kota Gelgel sangat ribut, antara pro dan kontra I Gusti Agung Maruti.
Beberapa warga Brahmana Bhujangga Waisnawa yang tinggal di Takmung sebelah Barat jalan raya pergi meninggalkan desanya menuju desa-desa yang ada di Bali Utara.
Diceritakan di Desa bulian, masyarakat diajak berperang oleh pemimpin desanya yang terkenal Jero Pasek Bulian. Ia sudah sepakat bersama-sama dengan Jero Pasek Menyali, Jero Pasek Bebetin, dan I Gusti Ngurah Tambahan, hendak membunuh seorang pengacau, yang kini sudah diketahui jejaknya.
Pengacau itu ternyata seorang wanita jangkung yang dahulu sudah disingkirkan oleh keluarganya karena pandainya melakukan Ilmu Hitam, yang di Bali termasuk dengan sebutan “Ngeleyak”. Karena saktinya ia sering menculik salah seorang penari rejang yang paling kecil, dipakai mangsanya. Wanita jangkung ini tinggal di Goa Raksasa, disebelah Barat Desa Jagaraga dan sebelah Selatan Desa Sangsit. Goa Raksasa atau Goa Besar ini dahulu disebut pertapaan Dharmakuta, yang selesai dibuat pada Bulan Hindu çaka 933 (1011 TM) jaman Raja Dharma Udayana Warmadewa memerintah di Bali. Tempat tinggal yang kedua, yang dihuni oleh wanita jangkung itu ialah Goa Yeh Lembu, yang ada dekat pantai. Wanita jangkung itu dapat dibunuh oleh I Gusti Ngurah Tabanan, atas bantuan do’a yang diberikan oleh Jero Dukuh. Jero Dukuh ini baru saja tinggal di Desa Bulian, tempat Warga Bhujangga Waisnawa.
Setelah gugurnya wanita jangkung itu, yang sangat ditakuti maka kini masyarakat Desa Bulian, banyak yang tinggal di sebelah Timur Desa Bungkulan yang kini disebut Desa Kubutambahan, para Bhujangga yang tinggal di Desa Bungkulan dan ada juga yang tinggal di Desa Kubutambahan, kemudian beberapa tahun berselang ketutunan dari Bhujangga ini ada juga yang tinggal di sebelah Timur perbatasan Desa Kubutambahan. Ada juga yang ke Selatan tinggal di Desa Tamlang.
Lain dari pada itu, ada juga yang terlunta-lunta menuju arah barat daya, yang akhirnya tibalah pada suatu tempat yang sangat menyedihkan.
“Long Segaha” (kurang makan). Demikian gerutu Sang Bhujangga, baru melihat penduduk desa itu banyak yang sakit akibat kurang makan. Sawahnya tampak kosong, hanya ada rumput dan tumbuh-tumbuhan padi yang layu. Ulatnya yang berwarna hijau, hitam dan ada juga yang warna merah, memenuhi sawah, sehingga sukar menginjakkan kaki, bila ke sawah. Masalah itulah yang menimbulkan keterharuan dan kesedihan Sang Bhujangga setibanya di tempat yang sepi itu. Dari kesedihan Sang Bhujangga itu, maka timbullah hasratnya untuk membuat upacara Bhuta Yadnya (upacara semah), atau kurban suci terhadap Bhuta Kala untuk menolak bermacam-macam hama, yang mengakibatkan paceklik di tempat itu. Setelah upacara yang diselenggarakan oleh masyarakat dan dipujakan oleh Sang Bhujangga itu, maka dengan sekejap mata seluruh hama itu hilang tiada bekas. Masyarakat sangat girang gembira hatinya menjunjung tinggi Sang Bhujangga Waisnawa yang baru datang itu. Oleh masyarakat, Ida Sang Bhujangga diberi tempat disebelah timur jalan setapak itu. tempat itu kini disebut Desa Longsega. Di Desa Longsega inilah Ida Sang Bhujangga, mendirikan pura, tempat memuja Ida Sanghyang Widhi Wasa. Sekian.
Sekarang diceritakan Ida Resi Bantas hendak akan menyelesaikan upacara Desa. Dari itulah beliau akan memetik buah kelapa di Taman Hyang Sangsi. Ida Resi Bantas segera berangkat sendirian dengan membawa tangga. Tak lama diperjalanan, maka sampailah Ida Resi Bantas di Desa Tajeg di Desa Tajeg Ida Sang Resi berhenti sebentar, sambil menunggu kedatangan anggota desanya. Lama Ida Sang Resi menunggu, di pinggir jalan, tiba-tiba datanglah I Dewa Gede Moning, yang tinggal di Puri Tangan. Ia diantar oleh seoran gbudaknya, dengan membawa perlengkapan pakaian dan mahkota penari, karen aia akan menari tarian baris di Desa Tua. Mendadak lalu I Dewa Gede Moning bertanya kepad Ida Resi Bantas, katanya ; “Guru Resi yang terhormat, mengapa guru duduk di sini tanpa teman?”.
Menjawablah Ida Resi Bantas dengan hormatnya, katanya ; “Sungguh benar Dewa Gede, Guru akan mengerjakan pekerjaan Banjar, yaitu memetik buah kelapa di Taman Hyang Sangsi”. “Jika sungguh demikian, mengapa sendirian ada di sini dan tangga itu harus dikelilingkan di Taman!”. Demikian katanya I Dewa Gede Moning mengecewakan Ida Sang Resi.
Kemudian menjawab Ida Sang Resi Bantas, “Hai Desa Gede, jangan demikian kau mengeluarkan kata kepada Guru. Sangat berani sikapmu. Apakah patut seorang Guru memikul tangga?” Demikian kata Ida Resi sangat marah.
Kemudian segera I Dewa Gede Moning menyahut, “Hai, Guru Resi, jika tidak dibenarkan Guru membawa tangga, apa gunanya gotong royong bekerja di Banjar? Maksudmu akan duduk-duduk saja supaya dapat menerima pembagian Banjar”.
Ida Resi segera menjawab; “Kamu itu tidak benar Dewa Gede menuduh Guru mengandalkan tangan orang lain, sebagai sikapmu membawa peralatan pakaian menari saja budakmu yang membawakan. Apakah kau sendiri tidak bisa membawa peralatan itu? sungguh kau yang mengandalkan tangan orang lain. Berbeda dengan Guru.” Demikian katanya Ida Resi.
Akhirnya I Dewa Gede Moning sangat marah, dengan segera mengunus keris lalu ditancapkan dilekuk tulang – belikat Ida Sang Resi Bhujangga Bantas sampai tembus ke punggungnya. Pada saat itu maka mencucurlah darah Ida Resi dengan derasnya dan sangat harum baunya, kemudian rebah ke tanah.
Pada saat itu barulah anggota Banjarnya tiba di tempat kejadian tersebut. Melihat kejadian itu, dengan segera mereka membantu Ida Resi Bantas yang sudah sebagai Siwanya oleh masyarakat Desa Bantas. Ida Resi segera diboyong dibawa ke taman. Sedangkan I Dewa Gede Moning disorong-sorong oleh anggota Banjar itu, dan akhirnya ia kembali ke Desa Rangan. Karena banyak mengeluarkan darah kemudian Ida Resi Bantas segera dirangkul oleh masyarakat Banjar di bawa ke rumahnya. Ida Resi Bantas mempunyai putra seorang bernama Ida Patra, tinggal di Tohpati, sebelah Barat jalan dan sebelah Timurnya bukit. Ida Patra mempunyai empat orang putra, yang paling tua bernama Ni Luh Darsa, yang kedua bernama Ni Made Darsi, yang ketiga bernama Ida Nyoman Kunjar dan yang keempat bernama Ida Ketut Gita. Ida Nyoman Kunjar berputra dua orang, yang tertua bernama Ida Gede Jajan dan yang kedua bernama Ida Made Krosok. Selesai.
Kembali diceritakan. Oleh karena Sang Bhujangga Waisnawa, sungguh-sungguh bisa meruat dan menyucikan negara, itulah sebabnya, arwah para Bhujangga yang sudah ada di samping Ida Sang Hyang Widhi, dipuja di dalam pura-pura warga desa, seperti dalam Pura Bale Agung Desa Pengotan, dimana terdapat tempat atau pesimpangan Ida Bhatara Ratu Sakti Bhujangga, Ida Bhatara Guru dan tempat pemujaan Ida Bhatara Sakti Bagus Gede Madura. Di dalam Pura Puseh Turun Hyang, banjar Gunung Hyang, masyarakat Desa Klungkung membuat tempat pemujaan Ida Bhatara Dalem Solo. Demikian juga di dalam Pura Gede Pulaki di Bali Utara bagian Barat. Juga di Desa Awan, masyarakat Desa Kintamani telah mendirikan Pura Bhujangga. Demikian pula di Pura Puseh di Desa Awan, masyarakat telah membangun tempat pemujaan Ida Sang Ratu Bhujangga. Demikian juga masyarakat Desa Kuwun, dan masyarakat Desa Sukawana, mereka telah mendirikan tempat pemujaan Pura Bhujangga. Pada tempat itu tersimpan dua buah sangku dan sebuah sungu (sankakala) sebagai hadiah dari Ida Bhatara Guru, yang memerintah di Bali pada çaka 1248 (1326 TM). Lain lagi yang dianugrahkan Dalem Ketut Sri Kresna Kepakisan, yang memerintah di Gelgel pada tahun çaka 1294 (1372 TM). Demikian pula di Desa Srokadan, Desa Ayunan dan Desa Susut di Dalam Pura-puranya terdapat sebuah patung perwujudan Ida Bhatara Hyang Guru, yang dipuja, oleh keturunan Sang Bhujangga Waisnawa di Desa Srokadan.
Sekarang diceritakan di Desa Tangeb, warga Sang Bhujangga Waisnawa di sana ribut. Dari itulah sebabnya Ida Bhujangga Kerta sangat malu perasaannya, kemudian ia pergi dari tempat itu, bersama keluarganya, istri dan anak bayinya, serta Gede Gowet pergi dari Desa Tangeb menuju Penarungan. Di tempat inilah beliau tinggal dan kemudian beliau banyak mengadakan putra-putri.
Diceritakan juga dari Desa Tangeb Ida Resi pergi menuju Desa Uma Abian.
Telah lama Ida Bhujangga Kerta tinggal di Desa Nyitdah. Kemudian beliau pergi menuju Desa Rejasa Daerah Tabanan juga. Akhirnya beliau lagi dari Desa Rejasa menuju Desa Ubung Paguyagan. Pada tempat yang baru inilah beliau menjadi “Siwa” (Guru) dan dohormati oleh masyarakat Desa Ubung Peguyangan, Ida Bhujangga Kerta memegang Pura Dalem Kahyangan di Batur Sanggwan, (Sanggwan merupakan tempat suci) di sana Ida Bhujangga Kerta mempunyai putra tiga orang laki-laki kemudian setelah dewasa, ketiga-tiga putranya mengambil istri, dan semuanya sudah berputra banyak. Ida Bhujangga Kerta, karena sudah tua maka beliau menunjuk ketiga putranya itu supaya ngamong pura-pura, seperti Pura Penataran Pauman, Pura Dalem Kahyangan dan seorang putranya yang bernama Ida Resi Anom Ngamong Pura Batur Senggwan, ketiga putranya itu semuanya pandai dan bijaksana menghayati dan mengamalkan falsafah agama, Adigama, Siwagama dan Dewagama.
Kini diceritakan Ida Resi Bhujangga yang bertempat tinggal di Tonja, mengambil istri sangat cantik jelita, adik dari Ida Resi Gede Temu. Kemudian mempunyai putra empat orang, yang tertua bernama Ida Bhujangga Resi Gede Limpar, yang menengah wanita bernama Ida Bhujangga Ayu Swari, yang ketiga bernama Ida Bhujangga Kerta alias Ida Kerta Bhujangga dan yang keempat wanita bernama Ida Bhujangga Ayu Ketut Munek.
Ida Resi Gede Limpar menuju Desa Swecapura (Gelgel) dan akhirnya beliau pergi menuju ke Desa Canggu. Sedangkan Ida Bhujangga Kerta pergi menuju Desa Padang Kerta, kemudian setelah beberapa tahun beliau berada di Desa Padang Kerta, beliau mempunyai putra tiga orang, yang tertua bernama Ida Bagus Citra. Setelah dinobatkan beliau bernama Ida Sang Bhujangga Lewih, Putra yang kedua bernama Ida Bagus Gotra, setelah dinobatkan ia bernama Ida Sang Bhujangga Ari, Putra yang ketiga bernama Ida Bagus Met. Ida Resi berdua yaitu Ida Bhujangga Lewih bersama Ida Bhujangga Ari membawa senjata yang disebut Bajra Uter pergi menuju Desa Padang Daerah Karangasem, pada hari Senin, Pon Wuku Sinta, Bulan Hindu Srawana, satuan 6, puluhan 0, Içaka 1606. telah lama mereka tinggal di Desa Padang, mereka melanglang buana, mengelilingi Pulau Bali ini. Mereka berdua meninggalkan Desa Padang Kerta, pergi menuju Desa Medahan.
Pada tempat ini mereka berdua membangun Desa dengan jalan membuat Upacara Semah. Mereka berdua sering pergi ke gunung-gunung mencari dan memuja di tempat-tempat suci metirthayatra. Dari itu kedua resi ini sangat dihormati oleh masyarakat Desanya. Serta setiap Desa yang dilalui menjadi selamat dan sejahtera. Kemudian mereka pergi dari Desa Medahan menuju dusun yang kecil-kecil, memasuki pondok-pondok, melewati desa kedasa, akhirnya tibalah di Desa Tonja, bertempat tinggal di Badung dan beristirahat di Desa Batan Getas. Selesai.
Ida Bhujangga Ari sendiri pergi dari Badung menuju Desa Tengeb Daerah Mengwi. Oleh karena sudah menjadi peredaran jaman, maka kini kembali menjadi jaman kacau balau. Dengan gerak kilatnya, I Gusti Ngurah Panji Sakti bersama-sama dengan Kyai Anglurah Sidemen, Kyai Jambe Pule, membantu U Dewa Agung Jambe dapat mengurung Istana Swecapura (Gelgel) dari kiri-kanan dan muka belakang. Keadaan ini pada tahun çaka 1627 (1705 TM). I Gusti Agung Maruti yang pada saat ini menjadi Raja di Bali tidak dapat mempertahankan diri, akhirnya ia lari meninggalkan istana Gelgel menyingkir menuju arah Barat.
Oleh karena demikian situasinya, maka istana Gelgel dikuasai oleh Ida I Dewa Agung Jambe. Rakyat yang ada di sekeliling Gelgel itu sangat kacau dan bingung. Banyak diantara keluarga cekcok sama saudaranya, bahkan anak melawan ayah. Percekcokan yang kecil seketika menjadi besar, bahkan saling bunuh-membunuh.
Masyarakat sudah tidak akan ingat akan tugasnya, lupa akan dirinya dan tidak mengenal hukum. Banyak yang lupa akan persaudaraan, tidak ingat dengan perintah raja, tidak ingat nasehat alim ulama, dan tidak lagi melaksanakan perintah-perintah Mentrinya, Bahudandanya dan Petugas Pemerintahan lainnya, sehingga masalah ini berpengaruh ke desa-desa yang ada di seluruh Bali, seperti Desa Kapal serta Pura seadanya hancur, Desa Beringkit dan Mengwi Tani hancur dan lain-lainnya.
Lima tahun telah berlanjut keadaan yang buruk ini, kemudian pada tahun 1932 (1710), Istana Gelgel atau Swecapura yang sudah ternoda itu dipindahkan ke Klungkung, bernama Istana Asmarapura.
Sekarang diceritakan Ida Bhujangga Luwih, karena sudah berusia lanjut, maka beliau kembali ke Desa Tonja, Daerah Badung. Beliau mempunyai putra kembar bucing. Oleh karena, didengar bahwa Desa Bun, Desa Bahe dan Desa Mengwi lagi rusak. Desa Pacung Penebel, Mal Kangin dan Desa Kedungan, di Daerah Tabanan rusak, maka Ida Bhujangga Lewih kembali lagi ke Desa Tangeb.
Kemudian beliau pergi ke Barat, hutan pertapaan perbatasan Tabanan. Pada tempat ini beliau dapat membangun sebuah Pura. Setelah selesai Pura itu, kemudian beliau pergi ke Nyitdah, di sini beliau sangat dihormati oleh masyarakat Nyitdah. Putra-Putra banyak menyebar, ada yang ke Canggu, ke Desa Lodsema, dan ada ke Desa Batan Getas, kesemuanya bertugas membangun Desa dan meruatnya. Terakhir beliau pergi ke Tegal Cangkring.
Sekarang di ceritakan tiga orang saudara Ida Sang Bhujangga dari Desa Gelogor pergi meninggalkan Desanya, menuju Bali Utara bagian Barat. Tiada diceritakan perjalanannya mereka sampai di Desa banyuasrep. Di tempat yang baru ini mereka membangun Desanya dan lahan dijadikan perkebunan. Ketiga-tiganya Ida Sang Guru Bhujangga Gede, yang kedua diberi nama Ida Sang Guru Bhujangga Madya dan yang ketiga diberi nama Ida Sang Guru Bhujangga Nyoman. Beberapa lama kemudian Ida Sang Guru Bhujangga Gede dan Ida Sang Guru Bhujangga Madya pergi ke arah Utara dan sampai di Desa Pengastulan. Di sana kedua beliau itu membangun desanya dan melakukan upacara penolakan hama yang ada di sawah ladang. Tiada lama antaranya Sang Guru Bhujangga Gede pergi menuju arah Timur dan tibalah beliau di Kota Buleleng. Di sekelling Desa yang baru ini Ida Sang Guru Bhujangga Gede telah menemukan beberapa aliran air bersih dan bening, dan akhirnya tempat ini disebut Bayuning. Di Desa Banyuning ini beliau mapodgala, menjadi Ida Resi Manospatika. Lengkap dengan Siwopakarana dan lontar-lontar tatwa dimilikinya. Ida Resi mempunyai seorang putri. Oleh karena tidak punya putra laki-laki maka beliau mengangkat seoran gputra dari siswanya yang dipandang pandai. Kemudia putrinya itu dikawinkan dengan Putra angkatnya.
Sekarang diceritakan Ida Bagus Citra alias Ida Bhujangga Lewih pergi dari Desa Tonja menuju Desa Pejaten. Di tempat ini beliau mengambil istri yang sangat cantik molek dan rupawan bernama Ni Gusti Ayu Drani, cucu dari I Gusti Rana, berasal dari Desa Kediri. Ida Bagus Gotra alias Ida Bhujangga Ari pergi ke Desa Tonja, menuju Desa Badung, Banjar Titih.
Setelah lama Ida Bagus Citra tinggal di Desa Pejaten, kemudian ia mempunyai putra dua orang, yang tertua bernama Ida Bagus Ngurah dan yang kedua bernama Ida Bagus Driya. Oleh karena di Desa Pejaten keadaanya paceklik maka dari itu Ida Bagus Citra pergi ke Gunung Sari menyertai leluhurnya yang telah mendahului bertapa di tempat itu. tiada diceritakan ketekunan dan keteguhan tapa di tempat itu, belakangan turunlah Ida Sang Hyang Sinuhun Kidul memberikan senjata Bajra Uter, sambil menanyakan maksud dan tujuannya bertapa di Gunung Sari. Sabdanya, “Wahai, kamu Bagus Citra, apa maksud dan tujuanmu bertapa di tempat ini, coba terangkan”, demikian sabda Bhatara, lalu dengan hormat ia menyembah katanya, “Dengan hormat Paduka Bhatara, harap dipermaafkan sekali hamba melakukan semadi pada tempat ini, karena hamba sangat bodoh dan dungu tidak bisa hamba menolak segala hama yang kini ada di sawah dan tanah ladang. Sungguh hamba tidak dapat menguasai karena banyaknya. Apakah yang hamba harus perbuat supaya hama itu musnah sama sekali. Masalah inilah yang hamba mohon kehadapan Ida Bhatara”, demikian sembahnya.
“Wahai kamu Bagus Citra, dengarlah pernjelasanku sekarang kepadamu. Apa sebabnya banyak ada hama di kawasan Sesa Pejaten hal ini tidak lain karena masyarakat Desa Pejaten, kesemuanya tidak ingat dengan perbuatan yang baik. Sebaliknya mereka selalu membuat kekotoran atau kecemeran daerah dan negaranya. Sikap yang demikian itulah yang menyebabkan banyak ada penyakit, hama ulat, wereng di sawah ladang”, demikian sabda Ida Sang Hyang Sinuhun Kidul.
“Baiklah kalau demikian”, sembah Ida Bagus Citra. “Apakah yang harus hamba kerjakan, hendaknya supaya segala penyakit dan hama yang ada di kawasan Desa Pejaten hilang dan musnah sama sekali.
Apabila tidak Ida Bhatara yang akan memberi hamba petunjuk, pasti tidak boleh tidak akan hancur Wilayah Desa Pejaten itu“ demikian sembahnya Ida Bagus Citra Seraya menyembah dengan hormat.
“Nah kalau demikian, Bajra Uter itu bawa pulang, putarlah Bajra Uter itu pada tempat-tempat seperlunya, niscaya penyakit dan segala hama yang ada di kawasan Pejaten akan basmi”, demikian penjelasan Ida Bhatara lalu Ida Bhatara seketika menghilang tiada berbekas.
Oleh karena demikian maka Ida bagus Citra segera pulang, kembali ke Pejaten. Tiada diceritakan dalam perjalannya, segera tibalah Ida Bagus Citra di Desa Pejaten. Selanjutnya ia langsung pergi ke sawah ladang seraya memutar Bajra Uter anugrah Ida Bhatara Sinuhun Kidul itu, sambil memercikkan air suci yang sudah dimantrai, disertai dengan beberapa sesajen penangkal hama dan penyakit (Abhuta Yadnya). Setelah selesai Ida Bagus Citra melakukan tugas pengabdiannya kepada masyarakat, kemudian daerah Desa Pejaten itu menjadi selamat, dan setiap tanam di sawah maupun di ladang semuanya berhasil. Dari itu menyebabkan daerah itu sangat-sangat senang, tenang dan tekun mengerjakan masing-masing pekerjaannya.
Berkat berhasilnya Ida Bagus Citra ini, makin terkenal ia disebut Ida Resi Lewih, seperti sebutannya yang dahulu.
Sekarang diceritakan Ida Bagus Gotra telah lama tinggal di Banjar Titih, Badung, kemudian ia pergi menuju Desa Tangeb. Ia mempunyai putra-putri banyak, ada yang ikut ke Desa Tangeb dan ada juga yang menetap di Banjar Titih Badung.
Ida Resi Lewih di Pejaten mendengar berita, bahwa Ida Bhujangga Aji yang tinggal di Batu Buah, Desa Kedaton Siman, mempunyai putra seorang wanita. Oleh karena wanita itu sudah akil bali, kemudian dipinang oleh Ida Resi Lewih untuk putranya yang bernama Ida Bagus Driya. Ida Bagus Driya kawin dengan putri Ida Bagus Aji di Batu Buah, upacara pernikahannya diselenggarakan oleh ayahnya berdua.
Ia menetap tinggal di Batu Buah di rumah mertua.
Kini diceritakan Ida Bhujangga Adhiguru dianggap cucu oleh Ida Bhujangga Resi yang bertempat tinggal di Watuwulan. Ia mendengar kabar, bahwa Ida Bhujangga Aji Ratu yang tinggal di Purassari mempunyai seorang putri bernama Ida Ayu Wati. Putri inilah dibujuk Ida Bhujangga Adhiguru. Oleh karena sudah saling cinta mencintai kemudian dua orang itu dikawinkan oleh Ida Bhujangga Aji Ratu dibuatkan upacara perkawinan dan sudah diberi pelajaran-pelajaran ilmu utama. Selesai.
Tersebut sekarang masyarakat Desa Watuwulan semuanya gelisah karena banyak ada penyakit menular dan juga hama yang menimpa lahan sawah dan ladang di sana. Segala macam yang ditanam pada lahan itu semuanya layu, mati tidak menghasilkan. Oleh karen ademikian halnya, maka Ida Bhujangga Adhiguru segera berangkat ke Purassari, di tempat itu beliau bersiap-siap akan bertapa, yoga dan semadi, mohon keselamatan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi, karena teguh dan tekun imannya, bersemadi di Purassari, kemudian datanglah Ida Sang Hyang Lumanglang, serta menanyakan maksud dan tujuan Ida Bhujangga Adhiguru bersemadi sabdanya, “Wahai, kamu Sang Bhujangga Adhiguru apa maksud dan tujuanmu bersemadi di tempat ini. Cobalah terangkan kepadaku”.
Ida Sang Bhujangga Adhiguru segera menyembah. Sembahnya, dengan hormat, “Mohon dipermaafkan hamba, hamba bersemadi di tempat ini, karena masyarakat hamba banyak yang ditimpa penyakit menular. Selain itu sawah dan ladang-ladang hamba, banyak ada hama, sehingga masyarakat desa hamba keadaannya paceklik. Jika tidak paduka Bhatara dengan ikhlas memberi karunia kepada hamba atau masyarakat itu, pasti keadaannya akan lebih parah, disamping banyak yang mati kena penyakit dan juga mati kelaparan”. Demikian sembahnya Ida Sang Bhujangga Adhiguru. Setelah itu, dengan segera Ida Bhatara Lumanglang memberi anugrah kepada Ida Bhujangga Adhiguru, berupa, Ilmu pengetahuan, penangkal marabahaya dan penolak hama ulat tikus dan wereng, setelah terlaksana sajen dan upacara Bhuta Yadnya itu yang dilaksanakan oleh Ida Bhujangga Adhiguru, maka segera akan menjadi sangat aman tenang dan semua lahan sawah ladang, semua menghasilkan berlipat ganda. Kemudian Ida Sang Bhujangga Adhiguru bertempat tinggal di Desa Kemenuh. Serta sangat dihormati dan dipuji oleh masyarakat banyak.
Diceritakan sekarang Ida Bhujangga Sutapateja putra dari ida Bhujangga Resi Estiguru bertempat tinggal di Jabaha. Ia pergi ke arah Barat dan segera ia sampai di pura Petawana.
Kini diceritakan Ida Bagus Cakrawedana putra Ida Bagus Gotra bertempat tinggal di Desa Titih. Beberapa tahun lamanya tinggal di Desa Titih, kemudian ia pergi menuju desa Glogor. Dari Desa Glogor, Ida bagus Cakrawedana pergi ke Bali Utara menuju Desa Pitu, sebelah Timur Buleleng. Di tempat ini ia membangun Desa dan melaksanakan kurban untuk menolak hama dan penyakit masyarakatnya. Tetapi beberapa tahun kemudian, Desa Pitu itu diserbu Bajak Laut yang datang dari arah laut. Desa Pitu dibakar oleh perampok itu. penduduknya banyak yang lari ke Timur tinggal di Desa Sembiran. Di sana mereka mendirikan rumah yang kemudian disebut Banjar Bhujangga. Desa Sembiran. Selain itu ada juga yang pergi ke Desa Les. Sebelah Timur Desa Hiliran (Tejakula), dengan membawa Siwopakarana yaitu alat-alat suci yang membawa kebahagiaan. Di tempat yang baru ini ia dapat mendirikan tempat pemujaan yang kemudian disebut Pamarajan Bhujangga.
Sekarang diceritakan Ida Bhujangga Bagus Kerta putra Ida Bhujangga Kertu yang bertempat tinggal di Watuwulan Pegambangan pergi dari Pegambangan, berjalan mengarah Barat laut, dan akhirnya tibalah di Desa Sidimara, Daerah Buleleng. Desa Sidimara itu kini disebut Desa Sangsit.
Selanjutnya diceritakan Ida Bagus Buja, putra Ida Bhujangga Surantaka yang semula tinggal di Sumerta kini pindah tempat tinggal di Desa Tenganan.
Diceriterakan sekarang perjalanannya Ida Bagus Kotra. Putra Ida Bagus Gotra yang bertempat tinggal di Desa Tangeb, pergi menuju Desa Tumbakbayuh. Demikian juga perjalanannya Ida bagus Sucita adik Ida Bagus Kontra, ia pindah dari Desa Tangeb menuju Desa Penamparan.
Ida Bagus Camanaphala bersama Ida Bagus Mandiloka, Putra Ida Bhujangga Kertu, semula bertempat tinggal di Desa Watuwulan Pegambangan, kini ia menuju arah Timur, akhirnya Ida Bagus Camanaphala sendiri sampai di Klungkung (Asmarapura)
Pada tahun 1697 (1775 TM). Putra Ida Dewa Agung Jambe dilantik menjadi Raja, memerintah di daerah Klungkung beristana di Asmarapura, dengan gelar Ida I Dewa Agung Di Made. Mulai dari saat ini gelar kerajaan yang disebut “Dalem” ditiadakan, karena sudah dianggap kalah, gugur. Dalam pemerintahannya beliau ingin sekali mengembalikan keadaan negaranya, supaya seperti jaman keemasan sejak leluhurnya baginda memerintah di Gelgel, yaitu Ida Bhatara Dalem Waturenggong.
Beberapa tahun kemudian yaitu pada tahun Çaka 1702, (1780 TM) Ida Dewa Agung Di Made, bertanya kepada Ida Bagus Cemanaphala, karena diketahui bahwa orang itu baru saja datang dari luar daerah.
Sabda baginda “Wahai, Sang Guru, akan kemana kepergian Guru sekarang”.
Kemudian menjawab Ida Bagus Camanaphala, sembahnya, “Yah, paduka Dewa Agung, hamba Bhujangga paduka, bernama Ida Bagus Camanaphala. Hamba ingin sekali keliling ke Pulau Bali ini, untuk mengetahui perbatasan dari Barat ke Timur karena hamba ingin mengetahui sejarah permulaannya adanya Pulau Bali ini. Demikianlah paduka I Dewa”.
“Ya jika demikian, janganlah hendaknya hari ini meninggalkan tempat ini, karena ada permintaanku kepada guru, mengenai tata pelaksanaan persembahyanganku, masalah ini, aku belum kuasai. Bagaimana kiranya yang harus aku laksanakan sehingga negara dan masyarakat bahagia dan sejahtera. Mengingat pula, setiap ada upacara di dalam Pura Tolangkir warganya selalu mangkat, tidak bisa ditawar lagi. Apakah yang menyebabkan demikian itu? Ya Ida Bagus, cobalah terangkan paduka sekarang jua!”.
Kini menyembah Ida Sang Guru Camanaphala. Dengan Khidmatnya, “Baiklah Paduka I Dewa Agung, kalau demikian masalahnya, setiap ada upacara di Pura Besakih Warga I Dewa mangkat, dan jalan kemangkatannya aneh-aneh itu, menurut pandangan hamba, sesungguhnya kalau Bhuta yang memangsa warganya I Dewa, apakah sebabnya begitu, karena Ida Sang Bhujangga Resi tidak diikut sertakan memujakan di dalam Pura Tolangkir. Karena Ida Bhujangga Resi memang berhak mengantar upacara bagi Kala Bhuta yang disebut Abhuta Yadnya sebenarnya Ida Sang Brahmana Siwa tidak boleh mengantarkan pujaan tawur atau Abhuta Yadnya serta memberi sesajen kepada Buta Kala. Itu tidak boleh demikian sembah Ida Bagus Cemanaphala.
Kemudian bersabda lagi Ida Dewa Agung di Made sabdanya “Baiklah Ida Bagus, jika demikian masalahnya, sekarang inilah Sang Guru yang akan dilantik, ikut serta memuja di pura Besakih, memberikan sesajen kepada Bhuta Kala, karena Sang Guru Bhujangga Resi berhak dan wenang menyingkirkan Bhuta Kala itu”. demikianlah sabda Baginda di Istana Asmarapura.
“Ya, baiklah jika demikian maksud paduka, hamba menuruti. Sekarang dimanakah hamba tempatkan?” Sembah Guru Bhujangga.
“Ya Sang Guru Bhujangga Resi, di sana ada tempat berupa Tanah pelemahan sebagai tempat Sang Guru bertempat tinggal melaksanakan upacara. Palemahan itu bernama Takmung.
Tiada diceritakan Ida Bhujangga tinggal di Desa Takmung, banyak masyarakat Desanya yang menghormati dan memujinya.
Keputusan sabda ini pada hari Rabo, Wage, Wara Menahil tanggal dua Bulan Paro gelap, Bulan Hindu Kedua, Satuan Empat Puluhan Empat Sakawarsa Ulungbangsit Satus Petang Dasa Pat. Pada waktu itulah harinya keputusan I Dewa Agung Di Made, terhadap pelantikan Ida Bagus Camanaphala turut sertanya memuja di dalam Pura Tolangkir atau Pura Besakih.
Diceritakan sekarang I Gusti Sakra yang bertempat tinggal di Desa Kerambitan, sangat duka hatinya, karena lahannya lama ditimpa hama wereng, belalang, tikus dan ulat. Kurang lebih dua belas tahun lamanya lahan I Gusti Sakra tidak menghasilkan. Itulah sebabnya I Gusti Sakra dangat sedih hatinya melihat masyarakat desanya kekurangan makan.
Pada suatu hari i Gusti Sakra mengadakan rapat di paseban, yang dihadiri oleh sekalian warga desanya.
Setelah semuanya hadir, sedang mangatur tempat duduknya masing-masing, tiba-tiba muncul seorang putus (ulama) datang ke paseban.
Kemudian dengan sangat hormat I Gusti Sakra menyapa Ida Sang Putus, sapanya “Selamat datang Sang Putus, siap nama tuan dari mana tuan datang dan dimana asal tempat tuan? Coba terangkan kepada hamba!” Demikian sapanya I Gusti Sakra kini dengarlah kataku kepadamu, kami ini bernama Ida Resi Esti Guru, pindah dari Desa Watuwulan datang ke tempat ini, namaku Esti Guru, karena kami selalu mendo’akan keselamatan dan kesejahteraan negara” sekian kata Sang Resi.
Ya, jika demikian kata Sang Resi, sekarang hamba mohon kesempatan Sang Resi, bagaimana caranya membudidayakan daerah hamba ini supaya baik, selamat, makmur dan sejahtera, di sawah dan ladang semua hama supaya musnah. Hamba mengharap agar Ida Resi bisa melaksanakannya. Apabila Ida Resi bisa melakukan hal itu, nanti Ida Resi bisa tinggal di sini ikut mengasuh daerah hamba di sini, demikian permohonan I Gusti Sakra.
Sekarang menjawab Ida Resi Estiguru “Duhai Gusti Sakra nanti dimana akan tempat tinggal kami. Tolong terangkan sekarang jua”.
Baiklah Ida Resi, jika demikian halnya, ini ada pekarangan yang sangat baik bagi tuan, letaknya di sebelah Timur jalan patut Ida Resi tinggal di sana”. Menjawab I Gusti Sakra.
“Ya, kalau demikian, terlebih dulu kami kesana. Ijinkan dulu kami ke sana sekarang jua”.
Tiada diceritakan dalam perjalanannya, segera tibalah Ida Resi Estiguru di tempat itu, lalu dengan segera Ida mengenakan pakaian adat pujaannya. Setelah selesai duduk lalu Ida mengucap weda dihadapan sesajen Bhuta Kalanya, menolah Bhuta Kala dan hama, tikus, walangsangit, ulat wereng dari lahan pertanian dan mentera penangkal penyakit yang ada di daerah itu. setelah semuanya bersuara, Genta Urag, Bajra, Sungu (Sangkakala) dan lain-lainnya, kemudian musnalah semua hama itu tiada berbekas di atas lahan pertanian akhirnya gembiralah masyarakat Desa itu, terutama I Gusti Sakra yang menjadi pimpinan Desa itu, iapun heran melihat kepandaian Ida Resi bisa mengamankan dan bisa mensejahterakan rakyat, sehingga daerahnya menjadi makmur dan sentaosa.
Tiada diceritakan Ida Estiguru bertempat tinggal di sana, kini Gusti Sakra menghimbau kepada warga desanya, wahai sekalian warga desa, dari hari ini hongga tahun ketahun apa bila kamu membuat upacara kematian, atau Pitra Yadnya, sekali-kali jangan kamu mengundang orang lain, selain Ida Resi Estiguru. Pasti akan papa neraka akan ditemuinya, bila jika kamu mengundang orang lain untuk memujakan sesajenmu. Terus akan menemui kesengsaraan, sakit danpenyesalan kelak. Ingatlah, wahai kamu sekalian beruntang budi dan jiwa kepada Ida Resi Estiguru.” Demikian himbauan I Gusti Sakra yang ditujuan kepada anak buahnya sekalian.
Mendengar himbauan itu, maka sekalian warga desa itu menyatakan kegembiraannya menghormati Ida Resi Estiguru, karena dirasakan, apabila tida Ida Resi menyelamatkan daerahnya pasti keadaannya akan lebih parah lagi, sentimen, saling tuduh, saling menggurui, bunuh membunuh, perkosaan, banyak anak membunuh orang tua, siswa laki-laki memperkosa guru wanita, setiap rumah ribut bertengkar karena perselisihan paham. Pura umum maupun keluarga rusak, hancur begitu saja, karea tidak pernah dipikirkan.
Telah lama Ida Estiguru bertempat tinggal di sana kemudian ia didatangi oleh Sang Ayu Murmakules yang diantar oleh rakyatnya, hendak memohon kehadapan Ida Sang Bhujangga Guru. Sembahnya “Yang terhormat Ida Sang Resi Bhujangga Guru, harap dipermaafkan kami, kami datang menghadap Ida Resi tiada lain hendak memohon kesempatan Ida Resi, untuk membantu kami” demikian kata Sang Arya Mur Makules.
Setelah Ida Sang Resi mendengar sabda Sang Ratu itu maka menyembah Ida Resi, sembahnya “Wahai Sang Ratu, hamba ini adalah Sang Bhujangga milik Ratu, hamba terasa gugup kepada kedatangan ratu kemari di antar oleh rakyat. Kira-kira apa keperluan Ratu kemari, cobalah terangkan, agar kami mengetahui, tetapi harap dipermaafkan sekali atas penerimaan hamba ini. Karena hamba tiada mempunyai tempat”.
“Baiklah Sang Bhujangga kami, janganlah hal itu direpotkan Ida Resi, kami datang kemari, bukan untuk mementingkan tempat duduk, melainkan kedatangn kami bernama Sang Arya Makules, hendak memohon bantuan untuk mengobati putra kami yang kini sedang sakit, menderita dari lama. Itulah sebabnya kmi datang kemari menghadap Sang Guru Resi, mohon belas kasihan, Sang Guru mengobatinya?” demikian sabda Sang Aji Mur Makules.
Menyembah Ida Resi Bhujangga, “Wahai Ratu Sang Mur Makules. Maafkanlah hamba ini karena hamba sungguh-sungguh manusia biasa, tidak bisa menghidupkan orang yang sudah mati, kecuali Ida Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa, dialah yang berkuasa di Dunia ini, maupun di Dunia Dewata. Untuk kesembuhan putra ratu ini ada permintaan hamba putra Ratu itu supaya datang ke Pura Jati yang tempatnya di Timur berhadapanh dengan sungai pusat. Sukalah kiranya Ratu bersama putra memuja memohon keselamatan pada tempat itu”.
Setelah selesai ajakan itu, lalu dengan segera Ida Sang Arya Mas Makules bersama Ida Sang Bhujangga Guru, diantar oleh rakyat baginda kembali ke istana Tabanan. Setiba mereka di istana, maka segera Sang Arya Ramong, yang tadinya ada di atas pembaringan, diangkat bersama-sama diajak ke Pura Jati.
Tidak diceritakan dalam perjalanan, kemudian tiba di Pura Jati. Ida Sang Ramong dibaringkan di luar Pura dn dijaga oleh ayahnda dan bunda bersama-sama rakyatnya. Siang malam penjaga itu tidak kurang dengan hidangan-hidangan makanan maupun hidangan ringan, terutama santapan yang dipersembahkan untuk Ida Bhujangga Guru. Oleh karena Ida Sang Ramong sangat taat dan teguh imannya dalam melakukan tapa semadi akhirnya ia segar bugar seperti sedia kala. Mereka kini bersiap-siap akan kemabli ke Istana Tabanan. Untuk suatu peringatan, maka tempat yang tadi itu, oleh Ida Sang Bhujangga, diberi nama Desa Asah sebagai tempat baginda bercengkrama. Kemudian tempat itu juga disebut penataran, letaknya di sebelah Barat Sungai Bara.
Setelah siap kemudian mereka berangkat meninggalkan Pura Jati menuju Istana Tabanan.
Ida Sang Bhujangga Guru dapat mendirikan sebuah Pura yang kemudian diberi nama Pura Dalem Madia, terletak di Desa Bedugul. Selesai.
Kembali diceritakan Ida Resi Bhujangga Resi Cakra, telah beristirahat sama Ni Ayu Waringin, Putri dari Arya Agung Penebel yang kini tinggal di Gunung Sari.
Sekarang diceritakan perjalanannya Sang Bhujangga Arya Subrata ke Desa Klating, untuk memenuhi undangan masyarakat desanya.
Setelah tiba maka sefera Ida Bhujangga Arya Subrata menghadapi sajen penyelamat daerah Desa Klating. Dari itu seluruh penduduk desa itu gembira memuji kesaktian Ida bhujangga Arya Subrata, sehingga masyarakat Desa Klating itu menjadi bahagia dan sejahtra.
Sekarang diceritakan lagi Ida Sang bhujangga Resi Cakra yang tinggal di gunung Sari. Ia mendengar kabar, bahwa I Gusti Rajaki yang tinggal di Penatih sakit keras, itu sebabnya Ida Bhujangga Resi Cakra pergi menuju arah Renggara dan akhirnya tiba di Desa Penatih Utara. Pada tempat ini Ida Bhujangga Resi Cakra bertempat tinggal.
I Gusti Rajaki yang menderita sakit, segera minta obat kepada Ida Resi, setibanya I Gusti Rajaki dihadapan ida Resi tiba-tiba lalu kumat penyakitnya, tiada ingat akan dirinya, oleh karena demikian, maka dengan cepat Ida Bhujangga Resi Cakra mengobati, dan akhirnya sembuh seperti sedia kala.
Demikian tingkah lakunya Ida Bhujangga Resi Cakra di Desa Tembau Penatih, di tempatnya I Gusti Rajaki diobati. Karena kepandaeannya, maka makin lama makin terkenal Ida Bhujangga Resi Cakra yang kemudian makin hari makin banyak masyarakat desanya memohon bantuannya.
Sekarang diceritakan Ida Sang Bhujangga Resi yang ada di Watuwulan Pengambangan, mempunyai putra lima orang, tiga-nan kakaknya itu, lalu ia pergi ke Desa Watuwulan Pegambangan, untuk menyaksikan upacara perkawinan kakaknya itu, yaitu Ida Bhujangga Estiguru. Perjalanannya mengarah ke Timur dan baru sampai di tengah jalan, ia mampir di Desa Sumerta. Dengan tiba-tiba Ida Sang Bhujangga Surantaka tercengan keheran-heranan memandang tata warna wajah mukanya yang sangat cantik, senyum yang manis membangkitkankasih cintanya Ida Sang Bhujangga Surantaka. Selanjutnya iapun memberanikan diri bertanya, katanya, “Wahai Ida Ayu, kemana perjalanan Ida Ayu, sekarang?”.
Baiklah kakanda Surantaka, dinda akan pergi ke Desa Watuwulan pegambangan, hendak menyaksikan perkawinan kakak dinda yaitu Ida Bhujangga Esti Guru, karena sudah umum kabarnya bahwa kakak dinda mengambil Ida Ayu Riris, putri Ida Bhujangga Resi. Demikian katanya Ida Ayu Wulan, sambil tersenyum menatap ketampanan laki-laki itu.
Setelah lama ia bercakap-cakap di situ, kemudian kedua orang itu saling jatuh cinta, dan akhirnya mereka kawin. Kedua orang itu kini tinggal di Desa Sumerta. Di tempat ini Ida Sang Bhujangga Surantaka dihormati oleh masyarakat desanya.
Diceritakan sekarang Ida Sang Bhujangga Estiguru bersama istrinya Ida Ayu Riris hendak akan kembali pulang. Kemudian mereka meninggalkan Watubulan Pegambangan, pergi menuju arah barat daya, dan akhirnya tiba di Desa Jungutbatu.
Di desa ini Ida Bhujangga disapa oleh I Gusti Mongaring sapanya, “Yang terhormat Ida Sang Putus hamba ingin bertanya kepada Sang Putus, akan kemana kiranya Ida Bujangga Resi?’
Kini menjawablah Ida Sang Bhujangga Resi, katanya, “Wahai Gusti Mongaring, kami hendak akan pulang ke Kalanting” demikian jawabnya.
“Yang terhormat Ida Sang Bhujangga Resi, hamba ingin bertanya, mengapa daerah hamba selalu ditimpa penyakit yang berat-berat, apa penyebab penyakit itu, demikian katanya I Gusti Mongaring berbelas kasihan.
Orang laki-laki dan dua orang wanita. Yang tertua bernama Ida Bagus Destigana, yang kedua bernama Ida Bhujangga Surantaka, yang ketiga bernama Ida Bhujangga Kertu, yang keempat wanita bernama Ida Ayu Riris, dan yang kelima bernama Ida Ayu Mengol.
Ida Bagus Destigana pergi menuju Desa Mengwitani. Di sana ia dipakai Guru atau “Siwa” oleh masyarakat setempat. Ida Bhujangga Surantara pergi menuju Desa Sumerta dan dipakai “Siwa” oleh masyarakat setempat, demikian ceriteranya.
Sekarang diceritakan Ida Bhujangga Resi Cakra sudah mempunyai putra empat orang laki-laki yang kepertama Sang Bhujangga Sakti, yang kedua bernama Sang Bhujangga Kertu, yang ketiga bernama Ida Bhujangga Bagendra. Ida Bhujangga Kertu, mempunyai kekasih bertempat tinggal di Desa Lambing dari itu ia tinggal di tempat itu. Ida Sang Bhujangga Sakti pergi berjalan terlunta-lunta ke Bali Utara akhirnya menetap di Desa Bondalem Daerah Buleleng. Ida Bhujangga Kerti Udadia pergi menuju Desa Kemenuh, dan Ida Bhujangga Bagedra pergi menuju Desa Kayuputih. Selesai.
Sekarang diceritakan Ida Bhujangga Aryasubrata yang tinggal di Desa Klating. Ia Sudah mempunyai putra empat orang dua orang laki-laki dan dua orang wanita, yang pertama laki bernama Sang Bhujangga Canggu, yang kedua bernama Sang Bhujangga Estiguru, yang ketiga wanita bernama Ida Ayu Wulan dan yang keempat bernama Ida Ayu Bintang.
Setelah jejaka, Ida bhujangga Estiguru kemudian ia mendengar kabar bahwa Desa Watuwulan Pengambangan ada seorang gadis yang sangat cantik paras mukanya dan sangat pandai, bernama Ida Ayu Riris dan Ida Ayu Mengol putri dari Ida Bhujangga Resi, sebagai “Siwa” bagi masyarakat desa Watuwulan Pengambangan. Dari itu Ida Bhujangga Estiguru dengan diam-diam menuju desa itu, dan segera tiba Ida Bhujangga Estiguru di Desa Watuwulan Pegambangan, dan kemudian meminang Ida Ayu Riris. Pinanganini sudah disetujuioleh orang tua gadis itu dan tidak beberapa lama mereka itu dinikahkan.
Ida Ayu Wulan yang ada di Desa Klanting mendengar perkawinan tersebut. Setelah mendengar keterangan dan permintaan I Gusti Mongaring, lalu dengan segera Ida Bhujangga Resi Estiguru bersama istrinya Ida Ayu Riris memuja sambil mendoa dihadapan sesajen demi untuk keselamatan daerah yang dipegang oleh I Gusti Mongaring. Setelah memercik-mercikkan air suci, kemudian masyarakat desa itu, semuanya segar bugar seperti sedia kala. Demikian juga pada pertanian lahan sawah ladang semuanya serba berhasil dan pasar menjadi ramai. Hal ini berkat kebijaksanaan dan keakhliannya Ida Sang Bhujangga Esti Guru. Semua penyakit masyarakat hilang. Demikian juga hama tikus, wereng, walang sangit, dan ulat yang beraneka warna itu, musnah semuanya tiada berbekas.
I Gusti Mengaring semakin percaya akan keunggulan Ida Resi bisa menolak segala marabahaya, menangkal kala bhuta, iblis, setan dan segala penyakit yang dibuat oleh manusia yang suka melaksanakan ilmu hitamnya.dari itulah negara dan daerah yang dikuasai oleh I Gusti Mangaring selamat sentaosa dan berbahagia.
Setelah lama Ida Resi Estiguru tinggal di desa Jagutbatu, lalu mereka pergi ke Desa Tahak. Di tempat ini ia membangun desa, sehingga desa itu subur, bahagia dan sejahtera. Beberapa tahun kemudian, lalu ia pegi dari Desa Tahak. Berjalan terlunta-lunta. Tengah perjalanan, lalu ia menjumpai orang yang berjalan terhuyung-huyung, bernama I Panyuhung. Melihat orang yang sengsara itu jadi timbulah belas kasihan Ida Resi Estiguru. Kemudian iapun bertanya-tanya, katanya “Wahai, kamu Panyuhung, kenapa kamu terhuyung-huyung di tengah jalan?” demikian kata Ida Resi mengambil tangan I Panyuhung.
Kemudian I Panyuhung menjawab dengan hormatnya, jawabnya “Yang terhormat Ida Resi, hamba ini sangat sengsara, telah lama hamba ditimpa penyakit semacam ini, dan tidak bisa diobati. Apakah sebabnya hamba ditimpa penyakit begini, hamba tidak tahu, kini hamba mohon belas kasihan Ida Resi pada hari ini, untuk mengobati, supaya hamba segar kembali seperti sedia kala.”
“Wahai kamu penyuhung dengarlah keterangan-keteranganku ini. Adapun sebab kamu ditimpa penyait yang begini berat, karena kamu dilupakan oleh Leluhurmu dari dulu yang mengadakankamu sesungguhnya kaulah yang melanggar kewajibanmu sebagai anak. Engkau lupa kepada gurumu, kepada Siwamu, terutama kepada Ida Bhujangga Resi Waisnawa” demikian keterangan Ida Resi Estiguru.
Oleh karena sangat kasihan Ida Resi, kemudian segera Ida Resi meruat kesepuluh cacat mental dan fisiknya (Dasamala) i Panyuhung. Setelah berdoa dan memercikkan air suci kepada anggota badannya I Panyuhung, akhirnya ia sembuh kembali seperti sedia kala. Alangkah gembiranya i Panyuhung baru segar seperti biasa.
Sekarang diceritakan Ida Sang Bhujangga Kerti Udadia di Desa kemenuh beristri dengan Ida Ayu Mengol yang berasal dari Desa Watuwulan Pengambangan. Setelah selesai Upacara Perkawinannya itu, kemudian mereka kembali ke Desa Tembau.
Kembali diceritakan keadaan Ida Resi Bhujangga di Desa Tonja. Beberapa tahun ia ada di sana, lalu ia berputra empat orang, yang kepertama lahir kembar Buncing yang laki-laki bernama Ida Resi Gede Limpar, yang wanita bernama Ida Ayu Swari. Putranya yang lahir kedua bernama Ida Keta Bhujangga dan yang terakhir bernama Ida Ayu Ketut Munek.
Ida Resi Gede Limpar bertugas memuja keselamatan negara di Desa Gelgel. Sudah lama ia tinggal di Desa Gelgel kemudian ia pergi menuju Desa Canggu. Di Desa Canggu Ida Resi Gede Limpar mempunyai putra dua orang, yang pertama bernama Ida Resi Gede Kompol, bertempat tinggal di Desa Blega. Kemudian ia meninggalkan Desa Blega, pergi menuju Desa Watuwulan.
Demikian asal-usul keturunan Ida Sang Brahmana Bhujangga Resi Waisnawa, yang sampai kini tersebar di Pulau Bali. Yang mula-mula berasal dari Pulau Jawa, seperti Ida Resi Maekandheya, Ida Resi mustika dan Ida Resi Madura. Beliau-beliau itulah yang mengadakan Brahmana Bhujangga Waisnawa yang ada di Jawa, Bali dan Lombok.


[3] Desa Wujung sekarang disebut Desa Ujung, Daerah Karangasem
Share:

SEKHA SANTHI DANG DING DONG

SEKHA SANTHI DANG DING DONG
Silahkan klik gambar
OM SWASTYASTU - SELAMAT DATANG DI ARYAWANGSABLOG - SEMOGA BERMANFAAT

daftar isi

Total Tayangan

Powered By Blogger

Categories 2