KAKAWIN ARJUNAWIWAHA
Ini adalah Arjunawiwaha, yaitu kakawin yang suci dan indah,
hasil karya Pujangga Kawi Empu Kanwa, yang telah mengikat cerita (sampun
keketan ing katha), bagaikan menguntai permata, dan merangkai sajak (angiket
bhasa rudita), seperti merangkai ikatan bunga (angiket sekar taji). Semuanya
dituliskan pada papan, rapi, berupa goresan (rinekaken munggw ing wiletanan
aradin warna cacahan), sebagai hasil karya pujangga agung yang telah menyusun,
dan menghasilkan kidung bersyair (tumatametu-metu kakawin), yang keluar dari
puncak budi (tungtung ing hidep), dan keluar dari batu-tulis (tungtung ing
tanah). Maka kakawin ini adalah karya-sastra agung yang dipersembahkan bagi Sri
Paduka Raja, yaitu sebagaimana disebutkan … “Sembah kehadapan Sri Airlangga.
Dia yang dipuja sampai patah batu-tulis, memberi restu” (Sri Airlanggha namastu
sang panikelanya tanah anumata).
Sang Pujangga Kawi menggalang keindahan dengan kiasaan kata yang
mengungkapan kiasan (alamkara), dan hiasan permainan kata dengan bunyi yang
rumit (sabdalamkara), serta hiasan permainan arti yang menyarankan makna
berganda (arthalamkara). Ia membukanya dengan pujaan (asir, manggala), diikuti
rangkaian satuan kisah yang terdiri dari perundingan (mantra), utusan (duta),
keberangkatan pasukan (prayana), pertempuran (aji), dan kemenangan Sang
Pahlawan (nayaka bhyudaya). Dibubuhkannya lukisan alam pegunungan (saila), laut
(arnawa), dan kota (nagara), berikut gambaran musim (rtu), dan terbitnya bulan
(candrodaya), ketika berlangsung permainan di taman (udyanakrida) dan di air
(salilakrida). Diungkapkannya pula ajaran tentang kewajiban hidup
(dharmasastra) dan kesejahteraan hidup (arthasastra). Kemudian diutarakannya
adegan percintaan, yang dipenuhi dengan rasa asmara (srngararasa), ulah cinta
penuh kesenangan (sambhogasrngara), dan kesedihan karena perpisahan atau
penolakan (vipralambha), yang diakhiri dengan keadaan yang menyenangkan
(rdhimat). Adapun di dalam menulis diramunya pembukaan (mukha), yang mengandung
benih cerita (bija), diikuti dengan pembukaan kembali (pratimukha),
perkembangan yang menjadi kandungan cerita (garbha), pertimbangan (vimarsa),
untuk menyingkirkan halangan (avamarsa), dan kesimpulan cerita (nirvahana).
Maka itulah yang disebut kelima sendi (panca-sandhi) dalam wiracarita berbentuk
kakawin.
Dibangunnya pula jalinan cita-rasa (rasa) dan perasaan
(sthayibhava), yaitu asmara (srngara) dan cinta (rati), kelucuan (hasya), dan
kejenakaan (hasa), belas-kasihan (karuna) dan kesedihan (soka), keganasan
(raudra), dan kemarahan (krodha), kepahlawanan (vira) dan keteguhan (utsaha),
kekuatiran (bhayanaka ) dan ketakutan (bhaya), kengerian (bibhatsa) dan kemuakan
(jugupsa), serta ketakjuban (adbhuta) dan keheranan (vismaya). Sehingga
akhirnya tercapailah kedamaian (santa) dan ketenangan (sama), yang bergaya
semesta, mengatasi ruang (desa), waktu (kala), dan keadaan (patra), serta
menjangkau kepada tingkat kesadaran tertinggi. Itulah rasa damai-bahagia
(santosa), yaitu kebahagiaan yang tertinggi (paramasukha), karena merupakan
kebahagiaan yang tak mungkin kembali menjadi duka (sukha tan pabalik dukha).
Demikan pula Sang Pujangga Kawi kemudian memuja cahaya keindahan
yang asali (istadewata), dalam rangka memohon pertolongan dan menyatu dengannya
(dewasraya). Karena ia ingin menjadi tunas keindahan (alung-lango), yang akan
menciptakan keindahan (kalangwan), sebagai tempat persemayaman, yaitu tempat
yang dipuja (candi). Maka karyanya itulah pula yang akan menjadi bekal
kematiannya (silunglung), dalam rangka mencapai kelepasan (moksa). Sumber
keindahan itupun turunlah, dari alam niskala memasuki alam sakala-niskala,
bersemayam di atas padma (munggw ing sarasiya) di dalam hati dan jiwa Sang
Pujangga Kawi (twas, jnana, hidep, tutur). Melalui kawi-yoga menyatulah sumber
keindahan di alam niskala dengan kekaguman di lubuk-hati Sang Pujangga Kawi
yang memancarkan keindahan. Di dalam keanekaan-ragaman kini ia melihat hakekat
yang satu. Iapun mengembara untuk menyaksikan keindahan pada alam kehidupan
seraya menjalankan tapa-brata (abrata). Maka terbayanglah keindahan di
mana-mana, yaitu keindahan yang akan dituangkan dalam karya sastra kakawin.
Sang Pujangga Kawi pun tenggelam dalam keindahan alam, dan sekaligus menyatu
dengan keindahan yang mutlak, di kala ia telah mampu untuk mengatasi berbagai
godaan dan cobaan. Ditemukannya sumber kidung bersyair yang berada di dalam
dirinya, yaitu pada ujung pemusatan pikiran (dhyana), yang menuju kepada
tataran keheningan (samadhi). Maka ditulisnyalah Kakawin Arjunawiwaha, yang
memuja kebajikan (yasa), sebagai buah-usaha pujangga yang berbuat jasa (yasa),
dan menjadi sebuah tanda peringatan (yasa). Bagaikan sebuah candi dengan prasasti
yang mengabadikan baik kebajikan dari yang dipuja maupun ke-bakti-an dari yang
memuja.
Demikianlah Kakawin Arjunawiwaha kemudian menjadi jalan
perenungan (sadhana), yang dapat dibaca (amaca) maupun dilagukan (angidung).
Ketiga-puluh enam pupuh dalam kakawin menjadi tingkat-tingkat kesadaran yang
sarat dengan gelombang rasa rokhani. Maka ketiga rasa yang utama, yaitu yang
dijumpai dalam suasana pertapaan (santa), pertempuran (vira), dan percintaan
(srngara), muncul secara bergantian untuk akhirnya bertemu dalam kesatuan rasa.
Kesemuanya itu membawa pembaca dan pendengar kakawin, untuk beralih dari alam
sakala kepada alam sakala-niskala. Maka haruslah semua yang membacanya
menghadapi dan mengatasi tabir yang menyelubungi kesejatian makna (maya).
Karena di dalam keindahan itupun terdapat godaan dan cobaan, yang membangkitkan
gelora perasaan raga-jasmani, yaitu keadaan yang harus dilepaskan dalam rangka
tercapainya hakekat rasa sejati. Selanjutnya dengan melakukan pembacaan
berulang-kali akan terjadilah penggandaan buah-pikiran, yang bergerak menuju
kepada satu pengertian. Sehingga pada saat alunan suara kidung berhenti
terdengar, dan keheninganpun turun, tibalah jiwa pada keadaan yang mutlak.
Sesungguhnya daya-cipta dalam diri Sang Pujangga Kawi menggambarkan kekuatan
(sakti) yang berasal dari Hyang Batara Agung. Sedangkan kakawinnya melambangkan
dunia yang telah tercipta (maya), yang penggubahannya itu menunjuk kepada
kejadian penciptaan (lila). Karena itulah pembacanyapun diharapkan ikut bermain
(lila), dengan menggumuli kakawin (maya), dalam rangka menemukan makna dan daya
yang sejati (sakti).
Maka barang siapa membaca Arjunawiwaha sebagai kakawin yang
suci, ia akan dapat merasakan kebesaran Arjuna. Seperti Ksatria Pandawa itu ia
akan dapat menghayati hukum semesta yang menjadi kewajiban hidupnya (dharma).
Begitu pula ia akan terpanggil untuk ikut memulihkan ketertiban dunia dalam
rangka memperjuangkan kesejahteraan hidup (artha). Sehingga iapun akan menerima
pahala, yaitu kemuliaan dan kenikmatan hidup (kama). Maka didalam
segala-sesuatu yang diperbuatnya itu ia akan tetap berada pada jalan kelepasan
hidup (moksa), karena itulah tujuan jangka-panjang kehidupannya. Sebagaimana
tertulis … “Perihal dharma ksatria, jasa dan kebajikanlah yang dipentingkan.
Namun demikian, dalam keyakinan berkesimpulan pula mencapai moksa …” (kunang
yan dharma ksatria yasa wa lawan wirya linewih, yaya wwat ring gegwan
makaputusa sanghyang kelepasan). Maka iapun akan menjadi seperti Arjuna yang
memperoleh kejayaan di mana-mana.
Bagian kedua: Pembacaan Kakawin
(Mukha)/(I.4-I.5):
Sebagai sebuah wiracarita yang telah disusun di atas pemahaman
rasa dan yoga, Kakawin Arjunawiwaha adalah sebuah kidung bersyair tentang kejayaan
Arjuna di Kahyangan (kawijayan partha ring kahyangan). Pada permulaan kakawin
ia ditampilkan sebagai calon pahlawan (nayaka), yang akan menghadapi lawannya
pahlawan (pratinayaka). Maka Arjuna itu adalah seorang ksatria yang perkasa dan
seorang yogi yang berbudi. Ia adalah seorang pahlawan (sang nayaka), yang telah
mencapai hakekat yang tertinggi (sang paramarthapandita). Di dalam berbagai
penampilan watak, sikap, dan tindakannya sebagai seorang ksatria, dapat
ditemukan rasa keperwiraan (virarasa), yang sempurna dan utuh. Akan tetapi
melalui yoga dan tapa yang dijalankan secara bertahap, munculah pula rasa
kedamaian (santarasa), yang memancar dari seorang yogi. Keadaan itu sangatlah
berbeda dengan pembawaan Sang Niwatakawaca, raksasa sakti, yang justru masih
sangat terjajah oleh hawa napsu keangkara-murkaan. Dalam keangkuhan dan
kesombongan dirinya Sang Pratinayaka berniat untuk menghancurkan kahyangan Dewa
Indra dan menundukkan para dewa.
(Pratimukha)/(I.6-VI.9):
Karena kesulitan yang dihadapinya Indra membutuhkan pertolongan
Arjuna. Akan tetapi kemampuan dan niat ksatria penengah Pandawa itu masih
diragukannya. Maka diutuslah ketujuh bidadari (widyadhari), yang kecantikannya
tak tertandingi, untuk menggoda Arjuna yang sedang bertapa di gunung Indrakila.
Namun demikian oleh karena di dalam tapanya Arjuna telah berhasil mencapai
keteguhan hati (dhira), maka tidaklah ia terganggu oleh godaan para apsari yang
jelita itu. Bahkan akhirnya mereka terpaksa kembali ke kahyangan dewata dalam
kesedihan dan kerinduan yang mendalam, meninggalkan Arjuna yang berdiam dalam
keheningan batin yang sempurna. etika itulah para dewa di kahyangan bersuka cita,
bahkan ada yang menghaturkan sembah penghormatan ke arah Indrakila. Kini telah
ditemukan seorang ksatria pahlawan yang akan membela kelestarian kahyangan
dewata. Akan tetapi Arjuna masih harus diuji, apakah ia seorang ksatria yang
menjalankan tapa, ataukah ia seorang resi yang ingin menanggalkan keduniawian.
Maka datanglah Indra dengan menyamar sebagai seorang resi tua untuk
memperolok-olokkan dan menggugah rasa keksatriaan Arjuna. Menghadapi ujian
Indra nampaklah keteguhan dan ketetapan hatinya untuk memegang dharma ksatria,
yang mementingkan jasa dan kebajikan (yasa lawan wirya). Karena kebaktian dan
cinta-kasihnya (bakti lawan asih), kepada kakanda Sang Dharmaputra (Yudhistira
Shri Dharmaatmaja), Arjunapun bertapa dengan tekun. Karena cita-citanya adalah
untuk menjadi jaya dan berkuasa di dunia (digjaya wijaya). Serta hendak berbuat
jasa memelihara seluruh dunia dan berbuat baik kepada sesama (mahaywang rat
lawan kaparahitan). Demi cita-citanya itu ia berani menghadapi apa saja, bahkan
hingga mati sekalipun. Kini keraguan Indra menjadi sirna, karena telah
ditemukannya seorang ksatria berbudi-luhur yang akan mampu untuk menghadapi
Sang Niwatakawaca. Dipujinya Arjuna sebagai ksatria yang berjalan mantap dan
teguh dalam membina kehormatan (manadhana) dirinya dengan tepat. Akan tetapi
Arjuna masih harus bertapa dalam rangka meneruskan usahanya untuk memperoleh
anugerah Hyang Batara Agung. Karena tidak lama lagi keindahan Tuhan (Sang Hyang
Hayu) akan datang kepadanya. Maka Arjunapun meningkatkan usahanya (prih),
dengan tidak berlengah-lengah (tan upir-upir).
(Garbha)/(VII.1-XII.14):
Kini tanda-tanda keberhasilan mulai terlihat. Arjuna yang selalu
bersikap waspada, tampak penuh kesiap-siagaan (yatna), ketika menghadapi cobaan
Sang Mamangmurka. Ditewaskannya raksasa utusan Niwatakawaca, yang telah
menjelma sebagai babi-hutan yang ganas, dengan bidikan panahnya. Bersama dengan
itu panah Ksatria Kirata juga menghujam tubuh babi hutan itu. Karena ingin
menunjukkan keperwiraannya Arjuna bersikap tak hendak mengalah kepada Sang
Kirata. Dengan berani ia melayani tantangan ksatria asing yang merendahkannya
dengan kata-kata yang menghina. Karena merasa kehormatan dirinya diganggu
Arjunapun menjadi marah (krodha). Kata-kata Ksatria Pandawa itu tandas, tetapi
tidak tergesa-gesa (sahuriratereh tar agya). Serangan Sang Kirata dan
pengiringnya ditangkis dengan teguh (khadhiran), dengan dahsyat (katara) Arjuna
melakukan perang-tanding, dan dengan penuh kewaspadaan (saprayatna) ia membalas
serangan senjata Sang Kirata. Arjuna bergulat dengan Sang Kirata dengan amat
tangguh, hingga ketopongnya pecah dengan disertai berhamburannya ratna. Ia
berkelahi dengan penuh siasat (cidra), erat dipeluknya kaki Ksatria Sang Kirata
itu, yang telah memukulnya hingga tersungkur ke tanah. Tiba-tiba sirnalah Sang
Kirata, berganti rupa menjadi Sang Hyang Siwarudra. Maka Arjuna bersujud
menyembah dan memuja Hakekat Tertinggi dalam penampakkan-Nya itu. Karena
ketulusannya kemudian diterimanya anugerah ke empat kesaktian (cadusakti). Juga
busur, ketopong, dan baju zirah (laras makuta lawan kawaca). Diterimanya ajaran
suci berupa ilmu keakhlian memanah (aji dhanurdharasastra). Setelah Sang Hyang
Batara Agung berlalu, Arjuna Sang Dhananjaya merasa amat berbahagia, atas
anugerah yang telah diterimanya. Disambutnya utusan Indra yang kemudian datang
untuk mengundangnya ke kahyangan, supaya segera memberi pertolongan dalam
rangka menghadapi ancaman Sang Niwatakawaca. Akan tetapi karena kerendahan
hatinya Arjuna hanya terdiam ketika dianggap berkeunggulan dan berkemampuan
tinggi (mawirya lawan maguna).
(Vimarsa)/(XIII.1 – XXI.7):
Sesungguhnya Indra memandang Arjuna sebagai penolong orang yang
tak berpelindung (kshatriya), yang jaya di mana-mana (sarananing anatha
digjaya). Maka dalam persidangan para dewa ditetapkanlah tugas bagi Arjuna dan
Suprabha. Dalam rangka itulah Arjuna menerima latihan dari Sang Wrehaspati
untuk menambah kemahirannya dalam mengambil kebijakan yang cermat dan melakukan
daya upaya yang tepat. Kemudian berangkatlah Arjuna didampingi Suprabha sebagai
penasihat dan pelindungnya menuju ke negeri Ima-Imantaka. Di sanalah Suprabha
berpura-pura menyerahkan diri kepada Sang Niwatakawaca, dengan alasan ingin
menghindari nasib buruk bilamana Kahyangan ditundukkan kelak. Dengan tipu
muslihat (upaya) yang telah dirancangnya bersama Arjuna, penuh kelemah-lembutan
yang manja Suprabha melancarkan bujuk-rayunya terhadap raksasa sakti yang
sedang kegirangan itu. Sehingga akhirnya diketahuilah rahasia kesaktian dan
jalan kematiannya, yaitu yang berada pada bagian dalam mulutnya. Ketika itulah
Arjuna menghancurkan gapura kota dan membuat keonaran di Ima-Imantaka. Sungguh
Sang Niwatakawaca terkecoh (kasalib), karena Suprabha lalu melarikan diri
bersama Arjuna di tengah kekacauan yang sedang berlangsung. Dalam kemarahan
yang menggelora Sang Niwatakawaca segera menyiapkan pasukannya dan berangkat
untuk menyerbu Kahyangan Indra. Menyadari hal itu dalam persidangan para dewa,
Indrapun memutuskan untuk melawan serangan bala-tentara Ima-Imantaka.
(Nirvahana)/(XXIII.1-XXXVI.2):
Indra berangkat bersama pasukan para dewa dan bertempur melawan
bala raksasa di lereng gunung Semeru. Ketika barisan para dewa dikalahkan oleh
golongan raksasa, Arjuna datang menyerang sebagai penopang- belakang (tulak
balakang) bagi mereka yang mundur minta dikasihani. Pada puncak pertempuran itu
Arjuna memasang rahasia siasat (rahasya ning upaya), yaitu kutuk balik yang
mengakhiri kesaktian Prabu Niwatakawaca. Arjuna sengaja ikut lari dengan
berpura-pura kebingungan, hingga membuat raja raksasa yang sakti itu tertawa
terbahak-bahak oleh karena kesenangan. Ketika dibidik dengan tomaranya Arjuna
sengaja menjepitnya dan berpura-pura terjatuh di keretanya. Niwatakawaca datang
berteriak menantang perang sambil tertawa kegirangan. Saat itulah ia terkecoh,
terjerat tipu-muslihat (kasalib kabancana), karena tampaklah lidah pada mulut
yang terbuka lebar. Maka binasalah raja raksasa yang sakti itu terkena bidikan
panah manusia yang sakti pula. Arjuna dan para dewapun kembali ke kahyangan
untuk merayakan kemenangan mereka. Akan tetapi ketika para dewa sedang sibuk
mempercakapkan tentang perang yang telah mereka menangkan, Arjuna yang unggul
jasanya (sang agunakaya) tidak banyak berbicara (tan jewah) dan tidak pula
menunjukkan sikap kegirangan (tan wijah). Kemudian daripada itu Arjunapun
menerima pahala kemuliaannya, yaitu ketika ia menjalani upacara penobatannya
(abhiseka) sebagai Raja di Kahyangan Indraloka, dan melaksanakan pernikahannya
(wiwaha) dengan ketujuh bidadari (widyadhari) yang utama. Arjuna, yang telah
menang perang (amenang ing rananggana), dan dahulu telah mengatasi godaan para
apsari jelita, kini mengalah untuk melayani mereka, karena ingin membahagiakan
sesamanya (parartha). Maka setelah berada di kahyangan dewata selama tujuh
purnama, yaitu sesuai dengan batasan waktu yang telah ditetapkan baginya, kembalilah
Arjuna ke alam marcapada untuk berkumpul dengan saudara-saudaranya. Kemudian
daripada itu Arjunapun mengalami kemenangan di mana-mana (digwijaya).
Bagian Ketiga: Pemahaman Kakawin
Adapun tujuan penulisan Kakawin Arjunawiwaha itu adalah dalam
rangka menghadapi karya perang (angharep samarakarya), yaitu persiapan perang
Sri Airlangga yang sedang berusaha mempersatukan Nusantara-Jawadwipa
(1028-1035). Karena itu bukanlah dewata pilihan (istadewata) yang dipuja di
dalam karya agung ini, melainkan Ksatria Arjuna sebagai gambaran Sang Prabu
sendiri. Persatuannya dengan Sang Hyang Sakti diharapkan untuk dapat menjadi
terwujud melalui gambaran Arjunawiwaha, yaitu pernikahan Sang Panduputra dengan
ketujuh bidadari. Supaya diperolehnya kemenangan sebagaimana dilukiskan dalam
kejayaan Arjuna di Kahyangan (kawijayan sang partha ring kahyangan). Maka
dengan kakawin yang ditulisnya itulah Sang Pujangga Kawi mengiringkan Sang Raja
(mangiring i haji), yaitu mengiringkannya dengan ilmu dan mantra (mangiring ing
aji), agar berjayalah ia di dalam perjuangannya yang luhur itu.
Adapun Arjuna itu adalah seorang ksatria pahlawan (sang nayaka),
dan seorang yogi yang tahu akan Hakekat Tertinggi (sang paramarthapandita),
karena ia telah menghayati kesuwungan (sunyata). Sebagai seorang ksatria ia
mengusahakan sempurnanya jasa dan kebajikan (yasa lawan wirya), dan
mengusahakan kebahagiaan seluruh dunia (sukhaningrat), dalam keunggulan dan
kepahlawanannya. Sedangkan sebagai seorang yogi ia tidak dicemari oleh napsu
kelima indera (tan sangkeng wisaya). Namun demikian sebagai seorang ksatria
yang harus membina kesejahteraan dunia, seolah-olah saja ia menyambut yang
duniawi (lwir sanggraheng lokika). Maka oleh karena kewajiban hidupnya
(dharma), walaupun ia mengalami rasa damai dan bahagia dalam persatuan dengan
Tuhan yang disembahnya (santosa), ia rela tetap tersekat tabir kemayaan
(aheletan kelir), yang memisahkannya dari Sang Pencipta Dunia (sanghyang
jagatkarana). Itulah sikap, pembawaan, dan tindakan (ambek) tokoh pahlawan (sang
nayaka), yang telah memperoleh kejayaan di kahyangan (kawijayan ring
kahyangan). Kemenangan ini berhubungan dengan pertolongan yang telah ia berikan
kepada kahyangan dewata, yang sedang terancam oleh kejahatan Sang Niwatakawaca.
Maka pada benih cerita (bija) inilah tersirat semangat keperwiraan (virarasa)
dan sekaligus suasana kedamaian (santarasa), yang memancar dari dalam
kehidupannya.
Maka sebagai lawan dari sang pahlawan (pratinayaka) adalah Sang
Prabu Niwatakawaca. Seorang raksasa (daitya) sakti yang berkuasa, bermegah, dan
berjaya di mana-mana di seluruh dunia (akhyating jagad digjaya). Seorang
pertapa (atapa) yang dianugerahi kesaktian dan keunggulan (warawirya). Berkat
yoga dan tapanya iapun mencapai maksudnya (krta-krtya), yaitu tidak akan mati di
tangan dewa, yaksa, asura, dan denawa. Karena pembatasnya hanyalah seorang
manusia sakti (manusa sakti). Maka dari Sanghyang Siwarudra sendirilah Sang
Niwatakawaca telah memperoleh anugerah berupa kekuasaan atas ketiga dunia (bhuh
swargadi, jagad raya). Karena memuja Bhatara Bhirawa iapun mendapat kesaktian
batin (siddhi), kebal tak dapat dicincang (achedya), tak apat dibunuh
(amarana), dan memiliki delapan kemampuan (astaguna). Akan tetapi itu semua
merupakan kesia-siaan (wiyartha), karena ia terbelenggu oleh napsu (raga), yang
membawa kehancuran (hala ). Maka seperti utusannya, Sang Mamangmurka, yang
menjelma menjadi babi hutan (wok, wraha), demikian pula Sang Niwatakawaca
adalah makhluk (pasu) yang terikat (pasa) oleh kesemuan dunia (maya). Dalam
keangkaraannya ia ingin menghancurkan kahyangan (swargaloka), menundukan
Bhatara Indra (dewaraya), dan merebut Suprabha (sri sakti). Maka kegagalannya
untuk memperoleh Suprabha itu diakibatkan oleh keangkaraan napsu (rajah) dan
kegelapan batin (tamas) yang menyelimuti jiwanya. Karena gelora asmara yang
membara ia tidak tahan terhadap bujuk rayu Suprabha, sehingga terpancinglah
keluar (kahuwan) rahasia ke-sakti-annya, yaitu kelemahan yang terdapat di ujung
lidahnya (jihwagra). Karena tidak waspada (yatna), terhadap manusia sakti,
sehingga terkecoh dan tertipu (kasalib kabancana) oleh muslihat (upaya) Arjuna.
Maka Sang Niwatakawaca, yang telah memojokkan Indra dalam kesulitan bahaya
(durniti lawan bhaya), akhirnya mengalami kehancuran.
Kepada manusia sakti, yang akan dapat mengalahkan Sang
Niwatakawaca, Indrapun berpaling. Ingin menjadikannya sekutu, teman, dan
pembantu (sahaya), dalam rangka menghadapi musuh (satru). Dialah Arjuna,
seorang yogi yang bertapa (atapa), dan ksatria yang bercita-cita untuk menang
dalam perang (asadhyajaya ring rana). Akan tetapi hanyalah tapa seorang raja
yogi (yogiswara) yang dapat memberikan karunia (wara) dan anugerah
(krtanugraha). Bilamana tapanya masih dipengaruhi oleh keinginan rendah (rajah)
dan kebutaan akal (tamas), kesaktian yang diperolehnya hanya akan menjadi
sumber kehancuran bagi dirinya dan penderitaan bagi orang lain. Sesungguhnya
manusia sakti yang dicari Indra adalah seorang ksatria yang tekun memuja Sang
Hakekat Tertinggi (siwasmrti), sampai memperoleh anugerah (sraddha) daripadaNya.
Seorang ksatria yang batinnya terbebas dari jaringan napsu kelima indera
(nirwisaya), sehingga berada dalam keadaan hening-jernih (alilang), bebas-lepas
(huwa-huwa), dan bahagia-baka (sukha-dhyatmika). Maka Arjuna itulah manusia
sakti (manusa sakti, wwang sakti), yang diminta bantuannya oleh Indra untuk
membela kahyangan dewata dari ancaman bahaya.
Karena sesungguhnya Arjuna telah mencapai keheningan batin yang
sempurna (anasrayasamadhi), hingga mengalami keterlelapan diri (lina), yaitu
memasuki suasana terlenyap dan terserap kedalam kekosongan (sunyata), yang
kenikmatannya tak terlukiskan. Ketika itulah ia mengenakan keadaan yang
bertubuh halus (ng sukmarira), berwujud baka (apinda niskala), dan berhakikat
baka (asari niskala). Ia mengalami pencerahan rokhani (jnanawisesa), yang
memberi kebahagiaan jauh melebihi kenikmatan bersenggama (sukhaning samagama).
Sesungguhnya itulah kebahagiaan tertinggi yang mustahil untuk dibayangkan (ng
paramasukha luput linaksana). Maka ketika berhadapan dengan para bidadari iapun
tidak tergoda (niskalangka), tidak tergoyahkan (tan wikalpa), tidak terkeruh
kejernihannya (hening), karena telah mencapai tingkat keheningan batin yang
cenderung tidak lagi memilah-milah di antara berbagai keadaan (nirwikalpa).
Demikian pula ketika menghadapi cobaan jerat Sang Indra (bancana indrajala),
yang membawa kegelapan batin (tamas), menimbulkan kebingungan akal (moha), dan
melahirkan ketidak-tahuan (ajnana). Godaan ke-maya-an itupun dihadapi dan
diatasinya dengan berhasil. Maka luluslah Arjuna dalam ujian dewata, karena
dalam keteguhannya untuk menemukan hakekat yang sejati, ia tidaklah ragu untuk
menjalankan kewajiban hidup (dharma)nya sebagai ksatria. Dijangkaunya keadaan
yang mutlak tanpa melepaskan kejadian dunia yang semu (maya), yaitu permainan
(lila) para dewata. Bahkan di dalam ke-maya-an hidup itulah Arjuna menemukan
kehidupan sejati. Maka bersabdalah Indra bahwa akan datang penampakan suci yang
indah itu (sanghyang hayu).
Setelah masak yoganya (atasak yoganira), Arjunapun menjadi
manusia berwatak dewata (manusa dibya). Ia telah mematahkan belenggu
ke-maya-an, yaitu godaan bidadari, cobaan Indra, gangguan Mamangmurka, dan
kemudian tantangan Sang Kirata. Melalui pergulatannya dengan Ksatria Kirata
pahlawan Arjuna memasuki pergumulan batin di alam keheningan. Dalam keteguhan
hatinya Arjuna memuja Siwamurti sebagai Rudra, dan Aditya (suryasewana), serta
Sang Hyang Hayu. Ia diliputi api yang menghanguskan (gumeseng), tetapi telah
ditawarkan (kunda nisprabha), maka membawa keselamatan bagi dirinya. Api yang
suci meresapi dirinya, sehingga iapun mengenakan cahaya (prabha) dan
kecermerlangan (teja), bagaikan bulan purnama (sasangka purnama, sasiwimba).
Ketujuh bidadari, yaitu daya-sakti yang bersemayam dalam ketujuh lidah api,
menyatu dengan dirinya. Di antaranya adalah dua yang utama (rwekang adi), yaitu
Sang Kecermerlangan (Suprabha) berupa api, yang bernyala bersama Sang
Biji-bijian utama (Tilottama), yang ditaburkan ke dalam api. Maka dalam
samadhi-yoga, Suprabha itu adalah api yang naik di dalam tubuh untuk membakar
semua racun (wisa) dan menghasilkan air kehidupan (tirta amrta), seperti halnya
Sri Maha Nilakantha (siwamurti) mereguk racun yang menyertai keluarnya air
kehidupan pada pengadukan laut susu (udadhimanthana). Api sakti (suprabha) itu
naik bersama naiknya daya biji-bijian utama (tilottama), dari ucapan mantra
(bijaksara), hingga tembus di ujung kepala. Maka pecahnya ketopong Arjuna
(rukuh ira remuk), yang disertai berhamburannya bunga permata (ratna),
menunjukkan terjadinya pencerahan rokhani. Arjuna memeluk kaki Ksatria Kirata
(jong sang hyang) melambangkan upacara untuk menurunkan dewata (dewapratistha),
yang disertai dengan penerapan mantra pada setiap bagian tubuh (nyasa). Maka
Sang Pencipta Dunia berkenan untuk hadir dalam rupa pria-wanita
(ardhanariswara), yaitu kesatuan Siwa-Sakti, yang bersemayam di atas singgasana
teratai manikam (padmasana mani).
Sungguh mahir Arjuna dalam memuja dewata (nipuna ring
dewopacarana) dan benar ia tahu akan pujaan singkat untuk kemanunggalan rasa
(sang siptapuja). Arjuna menyembah Sang Hyang Rudra dengan sikap tangan yang
sempurna, mantra puncak yang selaras, dan pengheningan cipta tanpa bernoda
(mudramwang kutamantra smrti wimala), yaitu mantra pemujaan (pujamantra), yang
diucapkan dalam upacara penyembahan bunga (Puspanjali). Adapun ucapan sembahnya
(uccarana) itu bermula dengan mantra suci triaksara (AUM), dan memuncak pada
persatuan dengan Siwa Hakekat Tertinggi, yang kini tak berkelir tabir pemisah
lagi (paramarthasiwatmanirawarana). Sesuai dengan paham Tantrayana dalam
penyembahan itu disatukanlah ketiga sisi dari pengucapan mantra, yaitu suara
keheningan (sabda), hembusan kehidupan (bayu), dan semangat kesadaran (hidep).
Maka naiklah mantra yang suci (AUM), melalui kedua-belas tingkat keheningan
diri (samadhi), yaitu kedua-belas tingkat kesadaran jiwa (ang, ung, mang,
bindu, ardhacandra, nirodhika, nada, nadanta, sakti, vyapini, samana, unmana).
Pada tingkat kesepuluh tercapailah daya yang meresapi (wyapi-wyapaka). Lalu
pada tingkat kesebelas tercapailah keseimbangan sempurna dari segala daya
(samana), di mana sang yogi mencapai ketenangan sempurna (sama). Akhirnya pada
tingkat kedua-belas tercapailah keadaan yang mengatasi pikiran (unmana), di
mana sang yogi menghayati ke-suwung-an (sunyata), dan masuk kealam yang mutlak
(niskala). Maka pada peristiwa inilah Arjuna menerima anugerah berupa panah
Pasupati (pasupatisastraka), yaitu keempat kesaktian (cadu sakti), yang keluar
dari tangan Tuhan (sang iswara) dalam bentuk api. Setelah Hyang Batara sirna
dari pemandangan (suksma), Arjuna merasa seolah-olah ia bukan dari dunia ini
(rasa tan irat), karena seakan-seakan ia berganti tubuh, bahagia tak mungkin
kembali duka (kadi maslin sarira, sukha tan pabalik prihati … sukha tan pabalik
dukha).
Demikianlah Arjuna kemudian berlaga melawan Sang Niwatakawaca.
Dalam suatu pertempuran ke-sakti-an di mana kekuatan kebajikan (dharma)
berperang melawan kekuatan kejahatan (adharma). Arjuna berjuang untuk mengatasi
kesaktian dan kekuatan gaib (siddhi). Digunakannya senjata-senjata Astramantra,
yaitu Sanghyang Pasupatastramantra, Sanghyang Tripuranta Kagnisara, dan
Sanghyang Naracasastra Sarirabandhana. Maka itulah mantra (astramantra), yang
dilepaskan dengan gerakan mudra (naracamudra), untuk membunuh musuh, sambil
melindungi tubuh (sarira), dan mengikat kekuatan beragam pada alam-semesta
(digbandhana). Arjuna berhasil membunuh Sang Niwatakawaca, setelah memasang
rahasia siasat (rahasya ning upaya), dan mengenakan ilmu gaib perihal kutuk
balik (suksmajnananing antasapa). Maka karena terjerat dan terkecoh oleh
tipu-muslihat (kasalib kabancana), Prabu Niwatakawaca akhirnya mati (pejah)
oleh panah-api (agnisara). Dengan turunnya kutuk akhir, yaitu kutukan balik
(antasapa pralina), melalui Arjuna, Bhatara Siwa bertindak untuk mengakhiri
anugerah (wekas ingkang anugraha), berupa kesaktian yang telah diberi kepada
Sang Niwatakawaca, dan menyerapnya kembali kedalam diriNya.
Dahulu Arjuna telah memenangkan Dewi Drupadi (Sri
Drupadaatmaja), yang mejadi sakti bagi kerajaan Amarta, yaitu penjelmaan Sri
Laksmi, melalui pernikahannya dengan Pandawa (panca rajya). Kini ia juga telah
memenangkan Suprabha, yaitu sakti kerajaan Indra, sebagai kekuatan yang menyatu
dengan dirinya. Maka dia yang masih terhitung sebagai putra Indra (sang masih
atanaya) pun menjadi layak untuk menjadi raja kehormatan di Kahyangan
Indraloka. Adapun Dewi Suprabha (sri sakti) itu adalah kekuatan (dayaguna),
yang diperebutkan oleh Arjuna (manusa sakti) dan Niwatakawaca (daitya sakti).
Arjuna adalah ksatria yang berhak untuk mempersunting Suprabha karena ia telah
berhasil menyelamatkan kerajaan indra dan memulihkan kebenaran (dharma),
sebagai sumber ketertiban alam-semesta. Maka dalam rangka samadhi-yoga
penobatan (abhiseka) Arjuna adalah pentahbisan suci (diksa), yang mempersatukan
dirinya dengan Hakekat Tertinggi (Paramarthasiwatwa), dan pernikahan (wiwaha)
Arjuna adalah persekutuan cinta (kama), yang mempersatukan dirinya dengan
ketujuh daya kehidupan semesta (sri sapta apsari sakti). Karena itulah Arjuna
memperoleh kemenangan di mana-mana (digwijaya).
Demikianlah perjuangan Arjuna, Ksatria Pandawa, yang menjadi
sumber keteladanan yang sempurna. Dengan penghayatan akan pencerahan rokhani,
kejernihan pikiran, dan kebahagian batin itulah Arjuna mengemban kewajiban
hidupnya (dharma) sebagai seorang ksatria. Dalam keyakinannya, walaupun ia
tidak menanggalkan tanggung-jawab keduniawian, pada akhirnya ia juga bertujuan
untuk mencapai moksa (sanghyang kalepasan), yaitu nirwana yang suwung
(nirbanacintya). Sesungguhnya melaksanakan amanat ksatria-yogi itu adalah
dengan memasuki alam kesemuan hidup (maya), yang merupakan sulapan permainan
(lila) belaka, sebagai keadaan yang menyelubungi kesejatian yang hakiki.
Bermain di dalammya tanpa terbawa hanyut dan sekaligus mengatasi segala sesuatu
dalam ke-suwung-an. Dengan teguh menjalankan yoga seorang ksatria, yaitu
membina kesejahteraan dunia (mahaywang rat). Maka disebutkan pula mengenai
Arjuna dalam kakawinnya … “Pantaslah ditiru keberhasilannya mencapai tujuan berkat
keteguhan” (satirun-tirun krtartha sira de ni kadhiran ira) … “Segala yang
dikehendaki terlaksana dengan meneladani Sang Panduputra” (sakaharepen kasrada
makadarsana pandusuta).
Sang Pujangga Kawi menggubah kakawin tentang Arjuna, yang unggul
dalam yoga, dan di dalamnya Arjuna sendiripun menulis kakawin, yaitu seperti
dikatakan oleh bidadari Tilottama … “Itulah kesetiaan namanya bagi orang
seperti engkau, mengabdi seorang kawi, yang merupakan puncak kesetiaan suami”
(yeka satya ngaranya ring kadi kitaniwi kawi wekas ing pati brata). Karena
memang sesungguhnya mengabdi Sang Pujangga Kawi adalah sebuah jalan tapa brata,
karena dia sendiri adalah puncak tapa-brata. Adalah tokoh Ksatria Arjuna,
sebagai gambaran Sri Airlangga, yang kejayaannya layak untuk dituliskan. Dalam
keheningan batinnya Sang Pujangga Kawi telah menerima petunjuk suci, yang
kemudian diteguhnya di dalam kakawin melalui kata-kata Indra. Ketika Arjuna
berpamitan akan kembali kedunia, Indrapun memahami betapa besarnya rasa
ke-bakti-an Arjuna kepada kakak dan ibunya, akan tetapi ia telah menahan Arjuna
beberapa lama oleh karena adanya sebuah keinginan yang luhur. Dalam sabdanya
Bhatara Indra menetapkan … “Agar indah dilukiskan kejayaanmu oleh Sang Pujangga
Kawi di kemudian hari, itulah tujuanku” (rapwan ramya winarnana nikang
anagatakawi wijayanta don mami). Demikianlah Arjunawiwaha kemudian digubah
untuk menceritakan kebesaran Arjuna sebagai seorang ksatria yang mahir dalam
yoga. Dialah Arjuna, Ksatria Pandawa, yang diagungkan oleh dewata dan manusia.
(1996)
Catatan Pribadi – diambil dari ARJUNAWIWAHA – transformasi teks
jawa kuna lewat tanggapan dan penciptaan di lingkungan sastra jawa – oleh I.
Kuntara Wiryamartana – Duta Wacana University Press, 1990
https://alangalangkumitir.wordpress.com