MOSALA PARWA
Mosala parwa atau Mausala
parwa adalah buku keenambelas dari seri kitab Mahabharata. Adapun ceritanya
mengisahkan musnahnya para Wresni,
Andhaka dan Yadawa, sebuah kaum di Mathura-Dwaraka (Dwarawati) tempat
Sang Kresna memerintah. Kisah ini juga menceritakan wafatnya
Raja Kresna dan saudaranya, Raja Baladewa.
Ringkasan isi Kitab Mosalaparwa
Diceritakan bahwa pada
saat Yudistira naik tahta, dunia telah memasuki zaman Kali
Yuga atau zaman kegelapan. Ia telah melihat tanda-tanda alam yang mengerikan,
yang seolah-olah memberitahu bahwa sesuatu yang mengenaskan akan terjadi. Hal
yang sama dirasakan oleh Kresna. Ia merasa bahwa kejayaan bangsanya akan
berakhir, sebab ia melihat bahwa banyak pemuda Wresni, Yadawa,
dan Andhaka yang telah menjadi sombong, takabur, dan senang minum
minuman keras sampai mabuk.
Pada suatu
hari, Narada beserta beberapa resi berkunjung ke Dwaraka.
Beberapa pemuda yang jahil merencanakan sesuatu untuk mempermainkan para resi.
Mereka mendandani Samba (putera Kresna dan Jembawati) dengan
busana wanita dan diarak keliling kota lalu dihadapkan kepada
para resi yang mengunjungi Dwaraka. Kemudian salah satu dari mereka
berkata, "Orang ini adalah
permaisuri Sang Babhru yang terkenal dengan kesaktiannya. Kalian adalah para
resi yang pintar dan memiliki pengetahuan tinggi. Dapatkah kalian mengetahui,
apa yang akan dilahirkannya? Bayi laki-laki atau perempuan?".
Para resi yang tahu sedang
dipermainkan menjadi marah dan berkata, "Orang
ini adalah Sang Samba, keturunan Basudewa. Ia tidak akan melahirkan bayi
laki-laki ataupun perempuan, melainkan senjata mosala yang akan
memusnahkan kamu semua!" (mosala = gada)
Kutukan tersebut menjadi kenyataan.
Sang Samba melahirkan gada besi dari dalam perutnya. Atas perintah
Raja Ugrasena, senjata itu kemudian dihancurkan sampai menjadi serbuk.
Beberapa bagian dari senjata tersebut sulit dihancurkan sehingga menyisakan
sepotong besi kecil. Setelah senjata tersebut dihancurkan, serbuk dan
serpihannya dibuang ke laut. Lalu Sang Baladewa dan Sang Kresna melarang
orang minum arak. Legenda mengatakan bahwa serbuk-serbuk tersebut kembali
ke pantai dan dari serbuk tersebut tumbuhlah tanaman seperti rumput namun
memiliki daun yang amat tajam bagaikan pedang. Potongan kecil yang sukar
dihancurkan akhirnya ditelan oleh seekor ikan. Ikan tersebut ditangkap oleh
nelayan lalu dijual kepada Jara seorang pemburu. Pemburu yang bernama Jara
membeli ikan itu menemukan potongan besi kecil dari dalam perut ikan yang
dibelinya. Potongan besi itu lalu ditempa menjadi anak panah.
Setelah senjata yang dilahirkan oleh
Sang Samba dihancurkan, datanglah Batara Kala, Dewa Maut, dan ini adalah
pertanda buruk. Atas saran Kresna, para Wresni, Yadawa dan Andhaka
melakukan perjalanan suci menuju Prabhasatirtha, dan mereka melangsungkan
upacara di pinggir pantai. Di pantai, para Wresni, Andhaka dan Yadawa tidak
bisa menghilangkan kebiasaan buruk mereka, yaitu minum arak sampai mabuk. Dalam
keadaan mabuk, Satyaki berkata, "Kertawarma,
kesatria macam apa kau ini? Dalam Bharatayuddha dahulu, engkau telah membunuh
para putera Dropadi, termasuk Drestadyumna dan Srikandi dalam keadaan
tidur. Perbuatan macam apa yang kau lakukan?".
Ucapan tersebut disambut oleh tepuk
tangan dari Pradyumna, yang artinya bahwa ia mendukung pendapat Satyaki.
Kertawarma marah dan berkata, "Kau
juga kejam, membunuh Burisrawa yang tak bersenjata, yang sedang meninggalkan
medan laga untuk memulihkan tenaga".
Setelah saling melontarkan ejekan,
mereka bertengkar ramai. Satyaki mengambil pedang lalu memenggal kepala Kertawarma di
hadapan Kresna. Melihat hal itu, para Wresni marah lalu menyerang Satyaki.
Putera Rukmini menjadi garang, kemudian membantu Satyaki. Setelah
beberapa lama, kedua kesatria perkasa tersebut tewas di hadapan Kresna.
Kemudian setiap orang berkelahi satu sama lain, dengan menggunakan apapun
sebagai senjata, termasuk tanaman eruka yang tumbuh di sekitar tempat
tersebut. Ketika dicabut, daun tanaman tersebut berubah menjadi senjata setajam
pedang. Dengan memakai senjata tersebut, para keturunan Wresni, Andhaka
dan Yadu saling membunuh sesama. Tidak peduli kawan atau lawan,
bahkan ayah dan anak saling bunuh. Anehnya, tak seorang pun yang berniat untuk
meninggalkan tempat itu. Dengan mata kepalanya
sendiri, Kresna menyadari bahwa rakyatnya digerakkan oleh takdir
kehancuran mereka. Dengan menahan kepedihan, ia mencabut segenggam
rumput eruka dan mengubahnya menjadi senjata yang dapat meledak kapan
saja. Setelah putera dan kerabat-kerabatnya tewas, ia melemparkan senjata di
tangannya ke arah para Wresni dan Yadawa yang sedang berkelahi. Senjata
tersebut meledak dan mengakhiri riwayat mereka semua.
Akhirnya para
keturunan Wresni, Andhaka dan Yadu tewas semua di
Prabhasatirtha, dan disaksikan oleh Kresna. Hanya para wanita dan beberapa
kesatria yang masih hidup, seperti misalnya Babhru dan Bajra. Kresna tahu bahwa
ia mampu menyingkirkan kutukan brahmana yang mengakibatkan bangsanya hancur,
namun ia tidak mau mengubah kutukan Gandari dan jalannya takdir.
Setelah menyaksikan kehancuran bangsa Wresni, Yadawa,
dan Andhaka dengan mata kepalanya
sendiri, Kresna menyusul Baladewa yang sedang bertapa di dalam
hutan. Babhru disuruh untuk melindungi para wanita yang masih hidup sedangkan
Daruka disuruh untuk memberitahu berita kehancuran rakyat Kresna ke
hadapan Raja Yudistira di Hastinapura.
Di dalam
hutan, Baladewa meninggal dunia dalam tapanya. Kemudian
keluar naga dari mulutnya dan naga ini masuk ke laut untuk bergabung
dengan naga-naga lainnya. Setelah menyaksikan kepergian kakaknya, Kresna
mengenang segala peristiwa yang menimpa bangsanya. Pada saat ia berbaring di
bawah pohon, seorang pemburu bernama Jara (secara tidak sengaja) membunuhnya
dengan anak panah dari sepotong besi yang berasal dari
senjata mosala di dalam ikan yang telah dihancurkan. Ketika sadar bahwa
yang ia panah bukanlah seekor rusa, Jara meminta maaf kepada Kresna.
Kresna tersenyum dan berkata, "Apapun
yang akan terjadi sudah terjadi. Aku sudah menyelesaikan hidupku".
Sebelum Kresna wafat, teman Kresna
yang bernama Daruka diutus untuk pergi ke Hastinapura, untuk memberi tahu
para keturunan Kuru bahwa Wangsa Wresni, Andhaka,
dan Yadawa telah hancur. Setelah Kresna wafat, Dwaraka
mulai ditinggalkan penduduknya.
Ketika Daruka tiba
di Hastinapura, ia segera memberitahu para keturunan Kuru bahwa
keturunan Yadu di Kerajaan Dwaraka telah binasa karena
perang saudara. Beberapa di antaranya masih bertahan hidup bersama sejumlah
wanita. Setelah mendengar kabar sedih tersebut, Arjuna mohon pamit demi
menjenguk paman dari pihak ibunya, yaitu Basudewa. Dengan diantar oleh
Daruka, ia pergi menuju Dwaraka.
Setibanya
di Dwaraka, Arjuna mengamati bahwa kota tersebut telah sepi. Ia
juga berjumpa dengan janda-janda yang ditinggalkan oleh para suaminya, yang
meratap dan memohon agar Arjuna melindungi mereka. Kemudian Arjuna bertemu
dengan Basudewa yang sedang lunglai. Setelah menceritakan kesedihannya
kepada Arjuna, Basudewa mangkat. Sesuai dengan amanat yang diberikan kepadanya,
Arjuna mengajak para wanita dan beberapa kesatria untuk mengungsi
ke Kurukshetra. Sebab menurut pesan terakhir dari Sri Kresna, kota
Dwaraka akan disapu oleh gelombang samudra, tujuh hari setelah ia wafat.
Dalam perjalanan
menuju Kurukshetra, rombongan Arjuna dihadang oleh sekawanan perampok.
Anehnya, kekuatan Arjuna seoleh-oleh lenyap ketika berhadapan dengan perampok
tersebut. Ia sadar bahwa takdir kemusnahan sedang bergerak. Akhirnya beberapa
orang berhasil diselamatkan namun banyak harta dan wanita yang hilang.
Di Kurukshetra, para Yadawa dipimpin oleh Bajra.
Setelah menyesali peristiwa yang
menimpa dirinya, Arjuna menemui kakeknya, yaitu Resi Byasa. Atas nasihat
dia, para Pandawa serta Dropadi memutuskan untuk melakukan
perjelanan suci untuk meninggalkan kehidupan duniawi.
Sumber ; https://Wikipedia.org