Dewabrata,
Putra Raja Santanu dan Dewi Gangga
Oleh : Nyoman S. Pendit
“Wahai Dewiku, maukah engkau menjadi
istriku? Aku tidak peduli siapa pun engkau. Aku terpesona oleh kecantikanmu dan
jatuh cinta padamu. Siapakah engkau dan dari manakah asalmu?” kata Raja Santanu kepada seorang gadis
jelita yang berdiri di hadapannya. Sesungguhnya gadis itu adalah Dewi Gangga,
bidadari kahyangan yang turun ke bumi dalam wujud manusia. Parasnya yang
cantik, lekuk tubuhnya yang indah, dan tindak-tanduknya yang halus membuat Raja
Santanu terpikat dan bangkit gairah asmaranya. Sang Raja berjanji akan
mempersembahkan seluruh cinta, kekayaan, dan kerajaannya bahkan seluruh hidupnya
kepada gadis jelita itu.
Tanpa
curiga atas pertanyaan Raja Santanu, gadis itu menjawab, “Wahai Raja perkasa, hamba bersedia menjadi istri Paduka asalkan Paduka
berjanji memenuhi syarat-syarat hamba.”
“Apakah itu?” tanya Raja Santanu tak sabar.
“Pertama, jika hamba sudah menjadi istri
Paduka, tak seorang pun, tidak juga Paduka, boleh bertanya siapa sesungguhnya
hamba dan dari mana asal-usul hamba. Kedua, apa pun yang hamba lakukan baik
atau buruk, benar atau salah, wajar atau ganjil Paduka tidak boleh
menghalang-halangi. Ketiga, Tuanku tidak boleh marah kepada hamba dengan alasan
apa pun. Keempat, Paduka tidak boleh mengatakan sesuatu yang membuat perasaan
hamba tidak enak.
“Begitu Tuanku melanggar syarat-syarat
itu walau hanya satu hamba akan meninggalkan Tuanku saat itu juga. Apakah
Tuanku setuju dan bersedia berjanji untuk tidak melanggarnya?”
Tanpa
berpikir panjang, Raja Santanu yang sedang dimabuk asmara langsung bersumpah
akan memenuhi semua syarat yang dikatakan si gadis jelita.
Demikianlah,
tanpa mengenal siapa namanya dan tanpa mengetahui dari mana asal-usulnya, Raja
Santanu mempersunting gadis jelita yang ditemukannya di tepi Sungai Gangga.
Dibawanya gadis itu ke istana dan dinobatkannya menjadi permaisurinya.
Hari
demi hari berlalu. Raja Santanu semakin mencintai permaisurinya yang jelita,
lebih-lebih karena selain cantik, permaisurinya itu sangat berbakti kepadanya
dan halus tutur katanya. Kebahagiaan Sang Raja semakin lengkap ketika tahu
permaisurinya mengandung.
Sembilan
bulan mereka lewatkan dengan penuh bahagia. Tak terasa waktu berlalu begitu
cepat dan tibalah saatnya Dewi Gangga melahirkan. Sang Dewi pamit kepada suaminya,
mengatakan bahwa dia akan pergi menyendiri dan melahirkan di tepi Sungai
Gangga. Dia tak mau ditemani siapa pun, tidak juga sang Raja.
Maka
pergilah Dewi Gangga seorang diri. Sampai di tepi sungai, dia mencari tempat
yang teduh dan terlindung untuk melahirkan. Bayi yang dilahirkannya langsung dibuangnya
ke sungai. Setelah membersihkan diri, sang Dewi kembali ke istana dengan wajah
berseri-seri, seolah-olah tak terjadi apa-apa.
Raja
Santanu menyambutnya dengan penuh harap. Hatinya bahagia akan menyambut sang
bayi, buah kasihnya dengan permaisuri yang dicintainya. Tetapi, betapa kecewanya
Raja melihat Dewi Gangga datang tanpa sang bayi. Perasaan Baginda campur aduk.
Heran, melihat istrinya kembali tanpa sang bayi. Cemas, memikirkan nasib sang
bayi. Murka, karena permaisurinya tampak tenang dan tidak merasa bersalah. Raja
merasa berdosa, karena tak kuasa berbuat apa pun kecuali diam seribu bahasa.
Tak
berani bertanya. Tak berani melanggar sumpah yang telah diucapkannya. Raja
Santanu, yang terlanjur mencintai dan terpesona oleh kecantikan permaisurinya,
tak berani bertanya sepatah kata pun. Disambutnya sang Dewi dengan mesra, seakan-akan
tak terjadi apa-apa. Mereka melanjutkan kehidupan seperti biasa.
Hari
berganti minggu dan minggu berganti bulan. Dewi Gangga kembali hamil dan ketika
tiba saatnya melahirkan, sekali lagi dia mohon diri hendak menyepi di tepi
Sungai Gangga. Syarat yang diajukannya tetap sama: tak seorang pun boleh
mengikutinya.
Hal
yang sama terulang. Sang Dewi kembali ke istana tanpa menggendong bayi. Sang
Raja, dengan perasaan tertekan, menyambut istrinya seolah-olah tak terjadi
apa-apa.
Demikianlah,
kejadian itu berulang sampai tujuh kali. Tetapi, pada kehamilan yang kedelapan,
Raja Santanu tak kuasa menahan diri lagi. Sudah lama ia bertanya-tanya dalam
hati, siapa dan dari mana asal perempuan kejam yang menjadi istrinya itu. Di
mana semua anak yang telah dilahirkannya? Sungguh kejam ibu yang menelantarkan bayi-bayinya.
Diam-diam
Raja membuntuti istrinya ke tepi Sungai Gangga. Alangkah terkejutnya Baginda
melihat sang Dewi mengangkat bayi yang baru dilahirkannya dan siap
menceburkannya ke dalam sungai. Tanpa berpikir panjang dan lupa akan sumpahnya,
Baginda berteriak lantang, “Hentikan! Ini
pembunuhan kejam! Rupanya kau tega membunuh bayi-bayimu yang tidak berdosa!”
Sambil berteriak demikian, Raja mencengkeram tangan Dewi Gangga, menahannya agar
tidak melaksanakan perbuatan terkutuk itu.
“Wahai, Raja yang Agung! Kau telah
melanggar janjimu padaku karena hati dan perasaanmu telah tertambat pada bayi
ini. Itu artinya, engkau tidak menginginkan aku lagi. Baiklah, aku tidak akan
membunuh bayi ini! Tetapi sebelum aku pergi dan sebelum engkau menyimpulkan
sesuatu tentang aku, dengarkanlah ceritaku ini.
Aku adalah bidadari yang dipaksa memainkan
lakon duka ini karena sumpah Resi Wasistha. Sesungguhnya aku ini Batari Gangga
yang dipuja para dewa dan manusia. Resi Wasistha telah menimpakan kutuk-pastu kepada
delapan wasu
yang akan terpaksa lahir ke bumi ini. Para wasu itu
kemudian memohon agar aku bersedia menjadi ibu mereka. Dengan perkenanmu, Raja
Santanu, aku melahirkan mereka ke dunia, sebagai anak-anakmu. Sebagai balas
budi karena telah menolong mereka, kelak engkau akan mencapai tempat yang mulia
tinggi di alam baka.
Sekarang, aku akan membawa bayi ini dan
mengasuhnya sampai dia cukup besar dan tiba waktunya untuk kuserahkan kembali
kepadamu. Anak ini akan menjadi
lambang dan kenangan atas cinta kita
berdua.”
Setelah
berkata demikian, Batari Gangga menghilang bersama bayinya. Kelak, bayi itu
dikenal dengan nama Bhisma dan menjadi kesatria sakti yang termasyhur.
***
Terkisahlah
bagaimana asal mulanya hingga para wasu itu menerima kutuk-pastu dari Resi Wasistha.
Pada
suatu hari, kedelapan wasu
itu berjalan-jalan di pegunungan bersama
istri-istri mereka. Di pegunungan itu terdapat pertapaan Resi Wasistha. Mereka
masuk ke pertapaan itu, tetapi sang Resi tidak ada. Di pelatarannya, seorang wasu melihat Nandini, sapi kepunyaan sang
Resi, sedang makan rumput. Nandini tampak indah, sehat dan menawan.
Istri-istri
para wasu itu terpesona oleh keelokan Nandini.
Salah seorang dari mereka meminta suaminya menangkap sapi itu.
Suaminya
berkata, “Apa gunanya sapi itu bagi kita
para Dewa? Nandini adalah kepunyaan Resi Wasistha yang menguasai daerah ini.
Karena kesaktian sang Resi, susunya akan membuat orang yang meminumnya hidup abadi.
Tapi, apa gunanya bagi kita karena sebagai dewa kita sudah ditakdirkan hidup
abadi? Janganlah kita serakah. Biarkan sapi itu tenang merumput. Lagi pula, kalau
celaka kita bisa kena kutuk-pastu dan murka Resi Wasistha hanya karena
menuruti hasrat dan kesenangan belaka.”
Tetapi
istrinya tak mengindahkan hal itu. Ia berkata, “Aku punya teman yang sangat kukasihi. Dia manusia biasa. Aku ingin
memberikan susu Nandini kepadanya agar ia bisa hidup abadi. Demi dialah aku
memintamu menangkap Nandini. Sebelum Resi Wasistha kembali ke pertapaan ini,
kita sudah pergi jauh dari sini sambil membawa sapi itu. Lakukanlah demi
keinginanku, karena permintaanku ini sangat berharga bagiku.”
Akhirnya,
suaminya menurut. Kedelapan wasu
itu bersama-sama menangkap Nandini dan
anaknya, lalu melarikannya jauh-jauh.
Ketika
Resi Wasistha kembali ke pertapaan, Nandini dan anaknya tak dilihatnya. Sapi
kesayangannya itu hilang bersama seekor anaknya. Sapi yang selama ini
memberinya hidup dan tak dapat dipisahkan kegunaannya dalam upacara persembahan
setiap hari. Berkat kekuatan yoganya, sang Resi mengetahui apa yang telah
terjadi. Alangkah murkanya dia. Dengan lantang ia mengucapkan kutuk-pastu, mengutuk para wasu. Karena kutukan itu, para wasu akan terlahir ke dunia dan hidup sebagai
manusia yang menderita. Itulah hukuman bagi mereka yang telah merampas
satu-satunya harta berharga miliknya.
Ketika
para wasu tahu bahwa mereka kena kutukpastu, mereka sangat menyesal. Tapi...
penyesalan selalu datang terlambat. Segera mereka kembali ke pertapaan Resi
Wasistha, mengembalikan Nandini dan anaknya, lalu bersimpuh di depan sang Resi,
memohon ampun atas dosa mereka.
Resi
Wasistha berkata, “Kutuk-pastu telah
terucapkan dan akan berlaku pada waktunya. Wasu yang
melarikan sapiku akan hidup lama di dunia dalam kemewahan dan kesenangan
duniawi, tetapi wasu-wasu
lain akan terlepas dari kutuk ini segera setelah dilahirkan
sebagai manusia. Aku tak bisa menarik kutukanku, tetapi aku bisa
melunakkannya.”
Kemudian
Resi Wasistha bersemadi. Diatur napasnya, ditenangkan pikirannya, dan diredakan
amarahnya. Sesungguhnya, seorang resi yang sedang ber-tapabrata memang bisa memperoleh kesaktian untuk
mengutukpastu.
Tetapi, setiap kali ia menggunakan
kesaktiannya untuk melontarkan kutuk-pastu, derajat kesucian yang telah berhasil dicapainya akan
berkurang.
Para
wasu merasa lega karena ada kemungkinan kutukan
itu akan dilunakkan. Kemudian pergilah mereka menghadap Dewi Gangga dan
memohon, “Kami datang memujamu, Batari.
Kami mohon, sudilah kiranya Batari menjadi ibu kami. Kami mohon agar Batari
bersedia turun ke mayapada
dan menikah dengan seorang raja. Kelak, satu per satu dari
kami akan terlahir lewat rahim Paduka. Dan, segera setelah kami lahir, buanglah
kami ke dalam sungai agar kami terbebas dari kutuk-pastu.”
Dewi
Gangga mengabulkan permohonan mereka. Ia turun ke bumi, di tepi Sungai Gangga.
Di sana ia bertemu dengan Raja Santanu yang kemudian menyuntingnya menjadi permaisurinya.
***
Kembali
ke kisah Dewi Gangga yang meninggalkan Raja Santanu. Sang Dewi menghilang
bersama bayinya yang kedelapan dan tidak pernah muncul kembali. Sejak itu, sang
Raja meninggalkan kesenangan duniawi dan memerintah kerajaannya dengan lebih bijaksana
serta didasari semangat kerokhanian.
Pada
suatu hari, Raja Santanu berjalan-jalan di tepi Sungai Gangga. Ia melamun,
mengenangkan saat-saat pertemuannya dengan Dewi Gangga. Sungguh kenangan yang sangat
indah namun meninggalkan kepedihan di hati.
Kemudian
dia melihat seorang anak laki-laki yang dikelilingi aura kemegahan dan
keagungan dari Dewendra, raja dari segala dewa dan batara, anak kecil yang
sedang tumbuh menjadi remaja. Anak itu sedang bermain panah. Berkali-kali ia
melepas anak panah-anak panah dari busurnya, mengarahkannya ke seberang Sungai
Gangga. Tak terlihat siapa-siapa di dekatnya. Begitu pula di seberang sungai.
Raja Santanu takjub dan terharu melihat ketampanan dan ketangkasan anak itu.
Raja mendekati anak itu, ingin bertanya padanya. Tetapi... tiba-tiba dia melihat
Dewi Gangga muncul di hadapannya.
Dewi
Gangga berkata dengan lemah lembut, “Wahai,
Paduka Raja, inilah anak kita yang kedelapan. Dia kunamai Dewabrata dan kuasuh
hingga mahir berolah senjata, menguasai ilmu perang dan memiliki kesaktian yang
setara dengan kesaktian Parasurama. Ia telah mempelajari Weda dan
falsafah Wedanta
dari Resi Wasistha. Kecuali itu, ia juga menguasai kesenian,
kebudayaan dan ilmu gaib Sanjiwini yang dikuasai Sukra. Sambutlah anak ini.
Terimalah dan asuhlah dalam istanamu. Kelak dia akan menjadi kesatria besar,
ahli siasat perang dan senapati agung.”
***