Amba,
Ambika, dan Ambalika
Oleh
: Nyoman S. Pendit
Chitranggada,
putra Satyawati, tewas dalam pertempuran melawan gandarwa. Karena ia tewas dalam peperangan tanpa
memiliki anak, maka Wichitrawirya, adiknya, dinobatkan menjadi raja
menggantikannya. Tetapi, karena waktu naik takhta dia belum dewasa, tampuk
pemerintahan untuk sementara dipegang oleh kakaknya dari lain ibu, yaitu
Dewabrata alias Bhisma, sampai dia dewasa.
Ketika
Wichitrawirya telah cukup dewasa untuk menikah, Bhisma mencarikan calon istri
yang pantas bagi adiknya itu. Ia mendengar bahwa tiga putri Raja Kasi akan
memilih calon
suami menurut adat-istiadat kaum bangsawan, yaitu dengan mengadakan sayembara.
Bhisma memutuskan mengikuti sayembara itu agar bisa memboyong putri-putri Raja
Kasi untuk adiknya.
Pada
hari sayembara, di alun-alun Kerajaan Kasi berkumpul putra-putra mahkota dari
Kerajaan Kosala, Wangsa, Pundra, Kalingga dan lain-lain. Mereka semua
berminat
mempersunting putri-putri Raja Kasi yang sangat terkenal kecantikan dan
keanggunannya. Karena ada tiga putri yang diperebutkan, sayembara itu
diselenggarakan secara besar-besaran. Meskipun datang dengan semangat tinggi,
banyak juga putra mahkota yang merasa cemas, takut menanggung malu jika gagal
memenangkan sayembara; lebih-lebih ketika melihat Bhisma hadir di antara mereka.
Bhisma terkenal sakti dan mahir menggunakan segala macam senjata perang.
Kecuali itu, karena kesetiaan dan keteguhan hatinya, semua orang segan padanya.
Semula
para putra mahkota menyangka Bhisma datang hanya untuk menyaksikan jalannya sayembara
karena pangeran itu telah bersumpah takkan pernah menikah. Tetapi, ketika
mengetahui bahwa Bhisma mengikuti sayembara, sangatlah kecut hati mereka.
Tak
ada yang menyangka bahwa Bhisma datang untuk maksud yang sama. Dan tak seorang
pun tahu bahwa ia datang demi saudaranya yang lebih muda, Wichitrawirya.
Para
putra mahkota itu berbisik-bisik, membicarakan Bhisma. Seseorang berkata, “Dia memang keturunan Bharata yang sakti dan
bijaksana. Sayang sekali, ia lupa diri. Tak sadar bahwa sudah tua dan lupa akan
sumpahnya untuk hidup sebagai brahmacarin yang seumur hidup tidak akan kawin. Untuk
apa dia ikut sayembara ini? Dasar pangeran tak tahu malu!”
Putri-putri
Kasi yang hendak memilih calon suami mereka sama sekali tak menghiraukan
kehadiran Bhisma. Mereka menganggapnya pemuda tua yang tidak menarik. Mereka
berbisik-bisik mengolok-olok jagoan tua itu sambil membuang muka, tak mau
memandangnya.
Bhisma,
yang merasa diejek dan dipermainkan, menjadi berang. Ditantangnya semua putra
mahkota untuk berperang-tanding dengannya. Tak ada yang berani menolak meskipun
sadar semua takkan mampu mengalahkan kesatria tua itu. Tak ada yang mau
dipermalukan di depan putri-putri jelita idaman mereka.
Satu
per satu mereka berperang-tanding melawan Bhisma. Semua kalah. Segera setelah
mengalahkan semua putra mahkota, Bhisma menyambar ketiga putri jelita itu
dan melarikan
mereka dengan keretanya yang termasyhur. Begitu kencang laju kereta itu hingga
seakan-akan mereka terbang meninggalkan gelanggang sayembara, menuju
Hastinapura.
Belum lagi jauh dari arena sayembara Kerajaan Kasi, mereka dihadang Raja Salwa
dari Kerajaan Saubala. Raja itu menantang Bhisma untuk bertarung. Sebenarnya,
Raja Salwa sudah menjalin kasih dengan Amba dan Amba yang jelita telah memilih
Salwa sebagai calon suaminya. Setelah perkelahian sengit, Salwa takluk. Menyerah.
Bhisma mengangkat senjata, hendak membunuh, tetapi dicegah oleh Amba. Karena
permintaan putri itu, Bhisma urung membunuh Salwa.
Setibanya
di Hastinapura, Bhisma segera mempersiapkan pernikahan Wichitrawirya. Ketika
tamu-tamu mulai berdatangan, Amba berkata kepada Bhisma dengan nada mencemooh, “Wahai putra Dewi Gangga yang masyhur, Tuan
pasti tahu yang terkandung dalam kitab-kitab suci yang kita hormati dan
muliakan. Seharusnya Tuan juga tahu bahwa aku telah memilih Salwa, Raja
Kerajaan Saubala, untuk menjadi suamiku. Tuan memaksa diriku menerima
pernikahan ini. Bila Tuan mengerti akan hal ini, bertindaklah sesuai dengan
ajaran kitab suci.”
Sementara
pernikahan Ambika dan Ambalika, adik-adik Amba, dengan Wichitrawirya
berlangsung dengan baik dan penuh kebesaran, Bhisma mengantarkan Amba kepada Raja
Salwa.
Hal
itu dilakukan Bhisma karena memahami maksud putri itu dan demi menaati apa yang
tertulis dalam kitab suci. Diiringkan sejumlah pengawal kehormatan yang pantas,
diantarkannya Amba ke istana Kerajaan Saubala. Sampai di sana, Bhisma menghadap
Raja Salwa dan menyerahkan Amba kepadanya. Segera sesudah itu, pangeran tua itu
kembali ke Hastinapura.
Dengan
perasaan gembira dan mesra, Amba menceritakan semua yang telah terjadi kepada
Raja Salwa. Setelah itu ia berkata, “Sejak
semula hamba telah tetapkan hati untuk mengabdikan diri, lahir dan batin kepada
Tuanku. Pangeran Bhisma menerima penolakan hamba dan mengantarkan hamba ke
hadapan Tuanku. Jadikanlah hamba permaisuri Tuanku menurut ajaran kitab-kitab
suci sastra.”
Maharaja
Salwa menjawab, “Bhisma telah menaklukkan
aku dan telah melarikan engkau di depan umum. Aku merasa sangat terhina. Karena
itu, aku tidak bisa menerima engkau menjadi istriku. Sebaiknya engkau kembali kepada
Bhisma dan lakukan apa yang ia perintahkan.”
Setelah
berkata demikian, Raja memanggil beberapa pengawal dan memerintahkan mereka
untuk mengawal Amba kembali kepada Bhisma. Sampai di Hastinapura, Amba
menceritakan apa yang telah terjadi kepada Bhisma. Pangeran tua itu kemudian membujuk
adiknya agar mau menikahi Amba. Tetapi, Wichitrawirya tegas-tegas menolak,
karena putri itu telah memberikan hatinya kepada orang lain.
Penolakan
Wichitrawirya merupakan beban berat bagi Bhisma, karena dia sendiri telah
bersumpah tidak akan pernah menikah. Tak mungkin dia melanggar sumpahnya sendiri.
Lebih-lebih karena ia keturunan bangsawan yang terhormat. Ia iba kepada Amba,
tetapi tak kuasa berbuat apa-apa. Beberapa kali dicobanya membujuk Wichitrawirya,
tetapi adiknya itu tetap pada pendiriannya. Tak ada jalan lain. Ia terpaksa
menasihati Amba agar kembali lagi kepada Salwa.
Hal
itu sungguh sangat berat bagi Amba. Karena tak berani kembali ke Kerajaan
Saubala, selama beberapa waktu Amba terpaksa bersembunyi di Hastinapura.
Akhirnya dengan perasaan berat, Amba mencoba kembali kepada Raja Salwa.
Sekali
lagi, dengan suara yang keras dan tegas, Raja Salwa menolak Amba.
Demikianlah,
Amba yang jelita kemudian terpaksa melewatkan hari-harinya dalam kemurungan.
Hampir enam tahun lamanya ia hidup tanpa cinta, penuh duka, dan tanpa harapan.
Parasnya yang segar dan jelita menjadi layu dan kisut. Hatinya yang menderita
berubah, berisi kepahitan dan kebencian kepada Bhisma yang menurutnya telah
menghancurkan hidupnya. Sia-sia ia berusaha mencari seorang kesatria tangguh
untuk bertarung melawan Bhisma dan kalau bisa ... sekaligus membunuh pangeran tua
itu. Tak seorang kesatria pun berani bertarung dengan Bhisma yang termasyhur
sakti dan perkasa.
Akhirnya,
Amba pergi ke hutan dan bertapa dengan sangat tekun. Ia memohon kepada Dewa
Subrahmanya agar membantunya menghancurkan Bhisma. Dewa itu menghadiahkan
seuntai kalung bunga teratai segar yang sudah diberi restu-pastu. Orang yang berkalung bunga teratai segar
itu akan menjadi sakti dan dengan kesaktiannya ia akan mampu mengalahkan
Bhisma.
Amba
menerima kalung bunga teratai itu. Kemudian sekali lagi ia mencari seorang
kesatria yang mau memakai kalung bunga hadiah Dewa Subrahmanya, dewa sakti berwajah
enam. Sayang sekali, tak seorang kesatria pun mau menerimanya. Tak seorang
kesatria pun berani melawan Bhisma yang termasyhur kesaktiannya.
Kemudian
Amba menghadap Raja Drupada. Raja ini juga menolaknya. Akhirnya, Amba
meninggalkan kalung bunga itu di pintu gerbang istana Raja Drupada lalu pergi
mengembara ke dalam hutan.
Kepada
beberapa pertapa yang ditemuinya di hutan, Amba menceritakan pengalamannya yang
menyedihkan itu. Mereka menasihatinya agar menghadap Parasurama. Amba menuruti
nasihat mereka, ia pergi menghadap Parasurama.
Mendengar
cerita Amba, Parasurama merasa kasihan. Ia berkata, “Wahai anakku yang jelita, apa yang kau kehendaki sekarang? Aku dapat
meminta Salwa untuk mengawinimu jika engkau mau.”
Amba
menjawab dengan hati teguh, “Tidak, saya
tidak menginginkan itu lagi. Saya tak punya hasrat lagi untuk menikah atau
mencari kebahagiaan. Satu-satunya yang saya inginkan dalam hidup ini adalah
membalas dendam kepada Bhisma. Saya bersumpah, yang saya inginkan tak lain
hanyalah kematian Bhisma.”
Parasurama
mendengarkan kata-kata Amba dengan penuh perhatian. Ia sendiri amat membenci
golongan kesatria. Karena itu, ia memutuskan untuk menolong Amba dan bertarung
melawan Bhisma. Pertempuran mereka sangat hebat dan berlangsung lama.
Dua-duanya setara kesaktian dan kemahirannya dalam olah senjata. Tetapi, akhirnya
Parasurama harus mengakui keunggulan Bhisma.
Setelah
dikalahkan Bhisma, ia menemui Amba dan berkata, “Aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk menaklukkan dan menghancurkan
Bhisma, tetapi aku kalah. Satu-satunya jalan bagimu adalah kembali kepadanya
dan menyerahkan nasibmu kepadanya. Hanya itu yang dapat kaulakukan.”
Dengan
membawa duka, sakit hati, dendam, dan kebencian, akhirnya Amba pergi ke kaki
Gunung Himalaya untuk bertapa. Dengan khusyuk ia bertapa dan terus menerus melakukan
penyucian diri agar dapat menerima karunia Batara Shiwa karena di dunia tak ada
lagi manusia yang bisa menolongnya.
Setelah
lama bertapa dengan sangat khusyuk, Batara Shiwa muncul di hadapannya dan
memberinya restu: ‘dalam inkarnasinya yang akan datang, Amba dapat membunuh
Bhisma’.
Amba
tidak sabar menunggu hingga masa inkarnasinya yang akan datang. Karena itu, ia
membuat api unggun besar dan melakukan satya, mengorbankan diri dengan terjun ke dalam api yang
berkobar-kobar. Dengan satya,
badannya akan hangus terbakar.
Atas
pertolongan Batara Shiwa, Amba berinkarnasi, terlahir kembali sebagai putri
Raja Drupada. Ajaib!
Beberapa
tahun kemudian ia menemukan kalung bunga teratai yang dahulu ia gantungkan di
pintu gerbang istana Raja Drupada. Kalung bunga itu masih elok dan segar, seakan-akan
tak pernah disentuh orang. Maka dikalungkanlah untaian bunga itu di lehernya.
Melihat perbuatannya yang gegabah itu, Raja Drupada menjadi cemas karena ingat
bagaimana dahulu Amba mengalungkan untaian bunga itu di situ sebelum
meninggalkan istana Hastinapura dengan hati penuh dendam. Putri yang mendendam itu
kemudian bertapa di hutan yang lengang dan sunyi.
Begitulah,
putri Raja Drupada mengambil untaian bunga itu dan mengalungkannya di lehernya.
Ajaib! Lama kelamaan, kelamin putri Raja Drupada itu berubah. Ia menjadi
seorang laki-laki dan kemudian termasyhur dengan nama Srikandi, artinya
“pahlawan perang.”
Kelak
dalam perang besar Bharatayuda, Srikandi bertempur di depan kereta Arjuna
melawan Bhisma. Dalam perang di padang Kurukshetra itu, Bhisma tahu benar
bahwa Amba
telah lahir kembali dalam wujud Srikandi, yakni perempuan yang berubah menjadi
laki-laki dan karena penampilannya yang tetap seperti wanita, menurut tata
krama, aturan perang dan sumpahnya sendiri, dalam keadaan apa pun Bhisma tidak
boleh melawannya. Dalam keadaan apa pun Bhisma tidak akan bertempur melawan Srikandi
yang termasyhur dan gagah berani.
***