MAHABHARATA - CINTA DUSHMANTA TERPAUT DI HUTAN

Cinta Dushmanta Terpaut di Hutan
Oleh : Nyoman S. Pendit



Pada suatu hari Raja Dushmanta yang tampan dan gagah perkasa pergi berburu bersama balatentaranya yang kuat dan bersenjata lengkap. Setelah berjalan beberapa
lama, tibalah mereka di hutan lebat dengan pohonnya yang besar-besar. Tanah di hutan itu berbatu-batu, sebatang air pun tak tampak di sana. Macan, singa, gajah, banteng, badak dan binatang buas lainnya berkeliaran. Raja Dushmanta dan balatentaranya memburu gajah. Raja memerintahkan balatentaranya untuk mengumpulkan hasil buruan yang sudah mati. Tetapi, gajah-gajah yang terluka dan belum mati mengamuk menyerang balatentara Raja. Korban berjatuhan. Ada prajurit yang mati dililit belalai, ditusuk gading, atau diinjak-injak gajah. Mereka yang selamat terus memburu binatang-binatang itu hingga mereka lari cerai-berai masuk ke hutan yang lebih lebat.
Setelah puas berburu, Raja Dushmanta dan balatentaranya meneruskan Perjalanan. Mereka menyeberangi padang rumput yang tandus dan sangat luas. Hamparan rumput terbentang sampai ke kaki langit. Setelah menempuh perjalanan beberapa hari, mereka sampai di tepi hutan lain. Penduduk desa di tepi hutan itu berkata, di hutan itu ada pertapaan Resi Kanwa, seorang keturunan Kasyapa yang termasyhur. Raja Dushmanta memutuskan untuk berhenti berburu dan mengunjungi Resi Kanwa.
Ia menyuruh balatentaranya menunggu, sementara ia masuk ke dalam hutan diiringkan beberapa pengiring. Ia berjalan menembus pepohonan yang tidak terlalu lebat, sampai ke tepian sungai kecil yang jernih airnya. Di tepi sungai itulah terletak pertapaan Resi Kanwa. Pertapaan itu tampak bersih dan asri. Bunga-bunga aneka warna mekar harum semerbak menyemarakkan pelatarannya. Di luar pertapaan, sampai jauh ke dalam hutan, tampak bermacam-macam pohon yang dahannya sarat dengan buah-buah ranum yang menerbitkan liur. Suasana di situ sungguh teduh dan tenang.
Sampai di gerbang pertapaan, Raja memerintahkan semua pengiringnya menunggu. Sendirian ia masuk ke halaman pertapaan. Di sana ia tidak menemukan siapa-siapa, kecuali seorang gadis cantik yang mengenakan pakaian pertapa.
Setelah menyampaikan penghormatan selamat datang, gadis cantik itu bertanya, “Nama hamba Syakuntala. Apa yang dapat hamba lakukan untuk Tuanku? Hamba menanti sabda Paduka.”
Raja Dushmanta menjawab, “Aku terpesona oleh kecantikanmu, wahai putri jelita. Di manakah Resi Kanwa yang termasyhur itu?”
Syakuntala menjawab, “Bapa hamba sedang pergi memetik buah-buahan. Kalau Tuanku sudi menunggu sebentar, Tuanku bisa menemuinya setelah beliau kembali nanti.”
Sambil memandangi wajah ayu Syakuntala, Raja Dushmanta bertanya, “Siapakah sebenarnya engkau putri jelita? Putri siapakah engkau dan mengapa engkau tinggal di hutan ini? Wahai, putri jelita, hatiku telah tercuri olehmu pada pandangan pertama.”
Syakuntala menjawab sambil tersenyum, “Oh, Tuanku, hamba adalah anak Resi Kanwa.”
Mendengar jawaban itu, Raja Dushmanta tercengang dan bertanya lagi, “Resi yang sangat dihormati di jagad ini telah mengumbar nafsu birahinya? Jika orang biasa
berniat melaksanakan dharma, bisa saja dia lalai. Tetapi, seorang resi yang suci telah bersumpah tidak akan membiarkan gejolak nafsu menjerumuskannya. Wahai putri cantik, bagaimana mungkin Tuan ini anak Resi Kanwa? Maafkan aku karena ragu. Jawablah dan hapuslah keraguanku ini.”
Syakuntala berkata, “Baiklah, akan hamba ceritakan asal-usul hamba sebagaimana yang Bapa Resi ceritakan kepada seorang pertapa pengembara yang datang menghadap dan bertanya tentang diri hamba. Begini ceritanya...
‘Adalah seorang pria sakti bernama Wiswamitra yang tidak puas akan kesaktiannya. Untuk membuat dirinya semakin sakti, dia terus-menerus bertapa dengan khusyuk. Begitu kuat tapanya, hingga Batara Indra ketakutan. Batara Indra tahu, jika tapa Wiswamitra berhasil, pria itu akan mampu menggulingkannya dari takhtanya di Indraloka atau kahyangan. Untuk menggagalkan tapa Wismamitra, Batara Indra memanggil Dewi Menaka dan diperintahkannya bidadari itu untuk menggodanya.
 ‘Dewi Menaka berkata, “Paduka Batara, Wiswamitra adalah seorang suci yang sangat sakti dan berkuasa. Ia juga sangat gampang marah. Kekuatan, ketekunan dan dendam jiwanya yang teramat keras sudah membuat Paduka Batara khawatir. Apalagi hamba, hamba takut menghadapinya. Dialah yang membuat Wasistha menderita kesedihan yang mendalam karena melihat anak-anaknya mati sebelum dewasa. Dia dilahirkan sebagai kesatria, tetapi karena kebajikan dharma-nya dan kesaktiannya yang mendalam dia menjadi brahmana.... Dia mampu membakar tiga dunia, neraka, bumi, dan kahyangan dengan kesaktiannya, ia juga mampu membuat gempa bumi. Karena kesaktiannya itu, ya Paduka Batara, bantulah hamba waktu hamba menggoda dia. Hamba mohon agar Maruta, sang Dewa Angin menyebarkan wewangian dari pohon-pohon hutan. Waktu hamba bermain-main di dekatnya nanti, hamba mohon Dewa Angin menerbangkan pakaian hamba dan Manamatha sang Dewa Cinta sebaiknya juga membantu hamba.”
‘Setelah berkata demikian, pergilah Dewi Menaka ke tempat Wiswamitra bertapa. Sesampainya di depan pertapa sakti itu, ia memberi salam hormat. Kemudian, mulailah dia merayu. Ketika itu berhembuslah angin kencang, melambaikan ujung bawah pakaiannya hingga betisnya yang indah tampak sekilas. Tapi, angin bertiup semakin kencang dan akhirnya menerbangkan pakaiannya. Tanpa busana, Dewi Menaka pura-pura malu dan hendak mengejar pakaiannya. Tak kuasa mengalihkan pandangannya, Wiswamitra terpesona oleh keindahan payudara Dewi Menaka. Ia tergoda, tak mampu melanjutkan tapanya. Gagal. Wiswamitra menghentikan tapanya, memilih sang Dewi, dan mereka hidup bersama.
‘Beberapa waktu kemudian, Dewi Menaka mengandung. Ketika tiba saatnya melahirkan, ia pergi ke tepi Sungai Malini di lembah Gunung Himalaya yang indah. Di sana ia melahirkan seorang bayi perempuan. Bayi itu ditinggalkannya di tepi sungai lalu ia terbang kembali ke kahyangan.
‘Bayi itu dipungut dan diangkat anak oleh Resi Kanwa. Karena ketika ditemukan dilindungi oleh burung-burung syakuntala, maka bayi itu diberi nama Syakuntala dan anak itu menganggap Resi Kanwa sebagai ayahnya.
“Itulah cerita yang pernah hamba dengar dari Resi Kanwa, Paduka Raja,” kata Syakuntala mengakhiri ceritanya.
Mendengar cerita itu, Raja Dushmanta berkata, “Menikahlah denganku, wahai Syakuntala yang jelita. Seluruh kerajaanku akan menjadi milikmu. Maukah kau menikah denganku sekarang juga dengan upacara gandharwa? Upacara gandharwa adalah yang paling utama dalam keadaan seperti ini.”
Syakuntala menjawab, “Oh, Tuanku Raja, tunggulah sampai Bapa Resi datang. Mintalah ijin lebih dulu pada beliau. Hamba yakin, Bapa Resi pasti merestui kita.”
Dushmanta berkata lagi, “Wahai putri nan jelita dan sempurna, aku ingin engkau menjadi pendampingku. Menurut hukum penciptaan, seseorang adalah teman bagi dirinya sendiri dan karena itu ia bertanggung jawab atas dirinya sendiri; dia sendirilah yang menentukan segala sesuatu tentang dirinya sendiri. Menurut hukum itu, engkau dapat merestui dirimu sendiri. Dan ketahuilah, di jagad ini ada delapan macam perkawinan. Manu, sang manusia pertama, merumuskan delapan jenis perkawinan, lengkap dengan urutan upacaranya. Cara gandharwa adalah yang paling sesuai dengan sifat kesatria. Janganlah engkau takut, jangan pula merasa bimbang dan ragu. Wahai putri tercantik, hatiku penuh cinta kepadamu, semoga engkau pun demikian. Kabulkanlah permintaanku dan kita menikah sekarang juga.”
Mendengar itu Syakuntala berkata, “Bila itu memang cara yang dibenarkan oleh agama, dan bila sesungguhnya hamba berhak memutuskan untuk diri hamba sendiri, dengarkanlah wahai pria utama keturunan bangsa Puru, ada syarat-syarat yang harus Paduka penuhi! Berjanjilah bahwa apa pun yang hamba pinta akan Paduka kabulkan. Anak laki-laki yang akan hamba lahirkan hendaknya kelak menjadi ahli waris kerajaan Paduka. Itulah syarat hamba! Wahai Raja Dusmanta, jika Tuanku menerima syarat ini, hamba bersedia menikah sekarang juga.”
Tanpa mempertimbangkan syarat-syarat yang diajukan Syakuntala, Raja Dushmanta menjawab, “Baiklah, akan kupenuhi semua permintaanmu! Aku bahkan bermaksud memboyongmu ke istana setelah kita menikah. Sebagai permaisuriku, sepantasnyalah engkau tinggal di istanaku.”
Kemudian, Dushmanta dan Syakuntala menikah secara gandharwa. Mereka bergandengan tangan mengelilingi api suci sambil mengucapkan mantra-mantra. Maka sahlah hubungan mereka sebagai suami-istri.
Dalam keasyikan memadu kasih, Dushmanta berulang-ulang berjanji kepada Syakuntala bahwa ia akan mengirim seorang utusan untuk menjemputnya. Utusan itu akan dikawal sepasukan prajurit kehormatan. Digambarkannya bagaimana Syakuntala akan masuk ke kota diiringkan utusannya dan pasukan kehormatan serta dielu-elukan oleh rakyatnya. Setelah mengumbar janji dan puas berasyik masyuk, Raja Dushmanta kembali ke kota raja.
Dalam perjalanan ke istana ia berpikir-pikir, “Apa kata Resi Kanwa yang suci dan agung itu jika mengetahui semua ini?”
Tak lama setelah Raja Dushmanta pergi, Resi Kanwa tiba di pertapaannya. Syakuntala yang merasa malu dan bersalah tidak menyongsongnya, seperti biasanya. Tanpa ada yang memberi tahu dan karena kesaktiannya, resi agung itu mengerti apa yang telah terjadi.
Dengan kekuatan mata hatinya, Resi Kanwa memandang putri angkatnya. Kemudian, dengan perasaan senang dan lega ia berkata kepada Syakuntala, “Anakku sayang, apa yang telah kaulakukan secara diam-diam dan sembunyi-sembunyi tanpa menunggu restuku? Aku tahu, engkau sudah menikah dengan seorang lelaki. Tak usah kau cemas, pernikahan itu takkan menghancurkan kebajikanmu. Sesungguhnya, upacara perkawinan gandharwa antara seorang wanita yang bersedia dengan seorang laki-laki yang mencintainya adalah salah satu upacara terbaik di antara cara-cara kesatria. Dushmanta seorang lelaki yang baik dan berbudi tinggi. Engkau, anakku Syakuntala, telah menerima dia sebagai suamimu. Anak laki-laki yang akan kaulahirkan, akan menjadi pemuda yang kuat dan ternama di seluruh dunia. Ia akan menguasai lautan dan dikaruniai kesaktian yang tak terkalahkan. Dia akan menjadi raja diraja dan punya berlaksa-laksa balatentara perkasa.”
Syakuntala bersimpuh di depan ayah angkatnya dan membasuh kaki sang Resi. Kemudian, sambil menata buah-buahan yang dipetik sang Resi, Syakuntala berkata, “Hamba mohon, Bapa Resi berkenan merestui Dushmanta yang telah hamba terima sebagai suami. Hamba juga mohonkan restu untuk rakyat dan kerajaannya.”
Resi Kanwa menjawab, “Demi kau, anakku sayang, aku akan merestui Dushmanta. Tetapi untukmu sendiri, pintalah hadiah yang kauinginkan.”
Syakuntala ingin agar keturunannya dengan Raja Dushmanta kekal sampai ke akhir jaman. Karena itu, ia memohon hadiah restu dari Resi Kanwa agar raja-raja Paurawa, yaitu raja-raja keturunan wangsa Puru tidak akan pernah kehilangan kerajaannya dan senantiasa ternama di seluruh dunia.
Ketika tiba waktunya, Syakuntala melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat. Waktu berumur tiga tahun, anak itu sudah kelihatan tampan, agung, perwira, tangkas dan terampil serta pandai dalam berbagai ilmu pengetahuan. Hari demi hari berlalu, kesaktian anak itu semakin bertambah dan nyata terlihat. Dengan mudah ia menaklukkan binatang-binatang buas yang berkeliaran di sekitar pertapaan. Para resi pertapa di hutan itu menyebut dia dengan nama Sarwadamana, artinya ‘sang penakluk
semua’.
Demikianlah, tiga tahun berlalu... Jangankan mengirim utusan untuk menjemput, mengirim pesan atau kabar pun Raja Dushmanta tidak pernah. Apakah Dushmanta sudah melupakan Syakuntala?
Pada suatu hari Resi Kanwa memanggil Syankuntala, menyuruhnya agar menghadap sang Raja. Resi itu berpendapat bahwa sudah tiba waktunya untuk mengantarkan Sarwadamana menghadap ayahnya. Katanya, “Anakku, wanita yang sudah menikah tak boleh terus-menerus tinggal di rumah orangtuanya karena ia takkan dapat menjalankan kewajibannya terhadap suaminya dan kebajikannya akan rusak.”
Setelah mohon diri dan mendapat restu Resi Kanwa, berangkatlah Syakuntala dan Sarwadamana diiringkan beberapa resi sebagai pengawal. Berhari-hari mereka berjalan menembus hutan, menyusuri sungai, dan menyeberangi padang rumput luas sebelum akhirnya tiba di gerbang istana Hastinapura. Dengan hati berdebar-debar, Syakuntala dan anaknya memasuki gerbang istana dan minta dibawa menghadap sang Raja. Setelah mengucapkan salam hormat sepatutnya, ia berkata kepada Raja, “Inilah hamba Tuanku, Syakuntala, istri Paduka dari pertapaan Resi Kanwa. Lihatlah, wahai Paduka, anak yang tampan ini. Dia adalah putra Paduka yang selama ini hamba asuh di pertapaan. Wahai Raja termulia di dunia, penuhilah janji Paduka dan nobatkanlah dia menjadi putra mahkota. Ingatkah Paduka akan janji yang Tuan ucapkan waktu kita menjalankan upacara perkawinan gandharwa di pertapaan Resi Kanwa dahulu?”
Mendengar perkataan Syakuntala, Raja Dushmanta ingat semua yang telah terjadi. Tetapi, ia malu. Di hadapan para perwira dan menteri kerajaan, ia malu mengakui perkawinannya dengan gadis pertapa yang tak jelas asal keturunannya. Untuk menutupi rasa malunya, ia berkata dengan marah, “Berani benar engkau bicara seperti itu! Aku tak kenal kau! Aku tak pernah bertemu kau! Siapakah engkau, hai perempuan jahanam yang menyamar menjadi pertapa suci? Aku tidak punya hubungan apa pun denganmu, baik karena dharma, kama maupun artha. Enyahlah engkau dari sini dan jangan pernah kembali!”
Mendengar kata-kata Raja, Syakuntala sangat kaget, bagai disambar halilintar. Sekonyong-konyong kesedihan menghunjam hatinya, membuatnya terpana, tegak berdiri bagai tonggak, tak sadarkan diri. Tetapi... kemudian matanya memerah, merah saga bagai besi terbakar. Bibirnya bergetar menahan perasaannya. Dengan sorot mata tajam ia memandang sang Raja, seakan hendak membakarnya hidup-hidup dengan api kemarahannya. Namun, karena terbiasa hidup sebagai pertapa, Syakuntala
berhasil memusatkan pikiran sucinya dan menahan kemarahannya yang makin memuncak serta kepedihan hatinya yang seperti disayat-sayat. Syakuntala pun berkata sambil memandang Raja dengan tajam, “Dengarlah, wahai Tuanku. Hanya orang rendah budi yang dengan mudah berdusta dan ingkar janji. Hamba yakin, dalam hati Paduka pasti mengakui kebenaran kata-kata hamba. Tetapi, mengapa Paduka memilih berdusta, berkata tak pernah mengenal hamba, tak pernah menikahi hamba? Hati nurani adalah saksi atas kebenaran dan kepalsuan.” Syakuntala diam sejenak.
Kemudian melanjutkan dengan tegas dan penuh amarah. Raja tak lagi disapanya dengan sebutan Paduka atau Tuanku. “Jika engkau mengatakan yang sebenarnya, takkan turun derajatmu. Orang yang mengingkari kenyataan dirinya berarti mencuri atau merampok dirinya sendiri. Kaupikir, kau dapat mengatakan tidak tahu atas perbuatanmu sendiri. Tidakkah kau tahu bahwa Yang Maha Purba, Yang Maha Tahu bersemayam di hatimu? Ia mengetahui dosamu, dan kau telah berbuat dosa di hadapanNya. Seorang pendosa mungkin berpikir bahwa tak seorang pun tahu akan dosanya, tetapi sesungguhnya segala perbuatannya dilihat oleh Dia yang bersemayam di hati setiap manusia. Orang yang menghina dirinya sendiri dengan berdusta, tidak akan direstui olehNya, bahkan jiwanya sendiri pun tidak akan merestui.
“Aku adalah istri yang mengabdi pada suami. Dengan kemauanku sendiri aku datang kemari untuk menemui kau, suamiku. Itu benar. Tetapi janganlah karena alasan itu aku kauperlakukan hina. Aku adalah istrimu, istri raja, dan karenanya berhak mendapat perlakuan yang terhormat. Apakah engkau tidak bersedia menerimaku karena aku datang atas kemauanku sendiri? Di hadapan begitu banyak orang, di istanamu yang megah mulia, mengapa kauperlakukan aku seperti perempuan biasa? Bukankah engkau yang memintaku menjadi permaisurimu? Lupakah engkau? Tidakkah engkau mendengar kata-kataku?
“Wahai Raja Dushmanta, jika engkau menolak apa yang kupinta, waspadalah ... kepalamu akan pecah menjadi seribu, seketika ini juga!”
Karena Raja Dushmanta tetap diam, tak menanggapi, bahkan membuang muka, Syakuntala melanjutkan kata-katanya. “Seorang suami yang merasuk ke dalam tubuh istrinya akan keluar dalam wujud anak. Begitulah yang selayaknya terjadi. Karena itu seorang istri disebut jaya, yang berarti ‘dari mana seseorang dilahirkan’. Sebutan itu berasal dari para ahli kitab suci. Anak yang terlahir secara demikian akan menyelamatkan jiwa nenek-moyangnya dari api neraka dan karena itu disebut putra oleh Sang Pencipta. Karena melalui anaknya seseorang akan mampu menaklukkan tiga dunia. Melalui anaknya pula seseorang akan dapat menikmati kedamaian abadi. Dan bersama anak-cucu dan cicitnya, seseorang akan menikmati kebahagiaan kekal. “Istri yang sejati pandai mengatur rumah tangga. Istri yang sejati mengabdikan seluruh jiwanya kepada suaminya. Ia bagaikan belahan jiwa suaminya dan menjadi teman utama di antara semua teman suaminya. Istri adalah dasar agama, keberuntungan, dan hasrat-keinginan. Istri adalah akar kelepasan untuk mencapai moksha, kebahagiaan hidup abadi. Ia yang mempunyai istri dapat melaksanakan hidup berkeluarga dan mempunyai teman di waktu suka dan duka. Istri berperan sebagai ayah dalam upacara keagamaan, sebagai ibu di kala sakit dan duka. Bagi seorang pengembara, istri adalah penghibur di kala gundah. Ia yang mempunyai istri dipercaya oleh semua orang. Karena itu, istri adalah harta paling berharga yang bisa dimiliki seorang lelaki. Ketika suami meninggalkan dunia ini dan menghadap Batara Yama, istri yang setia akan mengikutinya ke dunia sana. Istri yang lebih dulu meninggal akan menanti suaminya di dunia sana, tetapi jika suami mendahuluinya, istri yang bijaksana akan segera menyusulnya ke dunia sana.
“Atas dasar semua itulah, wahai Raja Dushmanta, seorang lelaki menikahi seorang perempuan. Seorang suami menikmati keakraban seorang istri baik di dunia ini maupun di dunia sana. Telah dikatakan oleh para arif bijaksana bahwa seorang suami pada hakikatnya terlahir sebagai anak lelaki istrinya. Karena itu, istri yang melahirkan anak laki-laki haruslah dianggap sebagai ibu sendiri oleh suaminya. Memandang wajah putranya, seorang lelaki seperti berdiri di depan kaca dan menatap wajahnya sendiri. Ia akan merasa bahagia ibarat orang suci yang mencapai surga. Laki-laki yang muram karena sedih hatinya atau sakit badannya akan merasa segar kembali di samping istrinya, bagai orang yang kegerahan mendapat air sejuk untuk membersihkan badan. Tidak seorang laki-laki pun, bagaimanapun marahnya dia, dibenarkan melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan istrinya. Istri ibarat tanah suci tempat suaminya dilahirkan. Bahkan dewa pun tidak sanggup mencipta makhluk tanpa wanita. Adakah kebahagiaan yang lebih besar daripada kebahagiaan seorang ayah waktu anaknya lari ke dalam pelukannya?
“Karena itu, wahai Raja Mulia, mengapa engkau bersikap tidak peduli pada anakmu yang datang menghadap ayahnya? Lihatlah, anakmu memandangmu, penuh harap dan ingin disambut oleh pelukan ayahnya. Seekor semut saja bisa memindahkan telurnya tanpa merusaknya, mengapa engkau tidak bisa menerima anak ini? Hatimu dingin membeku. Kauingkari anakmu, darah dagingmu sendiri! Coba resapkan, sentuhan lembut seorang wanita atau segarnya air yang sejuk jernih tak sebanding dengan kebahagiaan yang akan kaurasakan ketika kausambut dia dalam pelukanmu.
“Biarlah anak ini menyentuh dan memelukmu. Di dunia ini, tak ada yang lebih nikmat daripada pelukan anak kandung kita. Wahai Pahlawan Perkasa Penakluk Musuh, akulah yang melahirkan anak ini! Wahai Raja, anak inilah yang akan bisa mengenyahkan segala kesusahanmu.
“Raja bangsa Puru yang mulia, anak ini akan melangsungkan upacara aswamedha dengan korban seratus kuda! Sesungguhnya, orang yang bepergian jauh dari rumahnya akan menggendong anak orang lain. Dengan mencium kepala anak itu mereka merasakan kebahagiaan yang besar. Engkau, wahai Raja, pastilah tahu bahwa para pendeta mengucapkan doa dari kitab suci Weda waktu
mentahbiskan seorang anak. Doa itu adalah:

kau dilahirkan dari badanku
kau tumbuh dari hati nuraniku
kau adalah diriku sendiri
dalam wujud bayi
hiduplah seratus tahun lagi

hidupku tergantung padamu
juga kelangsungan bangsaku
wahai anakku, justru kepadaNya
wahai anakku, justru karenaNya
hiduplah kau penuh bahagia
hingga seratus tahun usia

“Sadarlah wahai Raja, ia lahir dari badanmu. Ia adalah bagian dirimu! Lihatlah anakmu ini, maka engkau laksana melihat bayang-bayangmu di air telaga bening. Ibarat api pemujaan yang dinyalakan di rumah, demikian pula anak ini berasal dari dirimu, menjadi pelita hidupmu. Walaupun tunggal, engkau telah membagi dirimu.
“Waktu kau berburu, mengejar-ngejar binatang di dalam hutan, aku engkau dekati. Wahai Raja, waktu itu aku masih gadis di pertapaan bapaku, Resi Kanwa. Kau Tanya asal-usulku dan kujawab aku putri Dewi Menaka, bidadari yang diperintahkan Batara Indra untuk turun dari kahyangan dan menggoda Wiswamitra, seorang pertapa mahasakti. Bersama bidadari-bidadari Urwashi, Purwachitti, Sahajanya, Wiswachi, dan Gritachi, Dewi Menaka berhasil menggagalkan tapa Wiswamitra. Pertapa itu tak kuasa menahan nafsunya melihat kecantikan Menaka. Mereka memadu cinta. Sayang, Wiswamitra meninggalkan Menaka yang sedang mengandung. Ketika tiba waktunya, Menaka melahirkan aku di lembah Gunung Himalaya. Karena tidak mendapat kasih sayang suami, ia kembali ke kahyangan, meninggalkan anaknya.
“Dosa apakah yang pernah kulakukan dalam kehidupanku sebelum ini, hingga waktu masih bayi aku dibuang oleh orangtuaku? Dan sekarang ... engkau membuangku, mengingkariku! Kalau kau tak sudi menerimaku, aku akan kembali ke pertapaan Bapaku. Tetapi, tidak pantas engkau membuang anakmu sendiri!”
Setelah mendengar semua itu, Raja Dushmanta berkata, “Hai Syakuntala, aku tak ingat pernah punya anak laki-laki denganmu. Banyak bicaramu, tapi tak ada artinya sedikit pun. Bicara dusta, itu yang engkau bisa! Siapa yang akan percaya pada ceritamu? Karena kehilangan kasih sayang, Dewi Menaka yang jalang membuang bayinya di lembah Gunung Himalaya. Ayahmu, Wiswamitra, brahmana hidung belang yang gagal tapanya karena tergoda juga kehilangan kasih sayang. Aku tahu, Dewi Menaka adalah bidadari utama dan ayahmu adalah resi paling agung. Mengingat engkau anak mereka, mengapa engkau bicara seperti perempuan jalang? Kata-katamu tidak pantas didengar. Tidak malukah engkau menceritakan asal-usulmu yang penuh dosa? Pergilah, hai perempuan jalang yang menyamar sebagai pertapa suci. Di mana ayahmu, Resi Wiswamitra yang masyhur? Di mana ibumu, Dewi Menaka bidadari yang utama? Mengapa orang sehina engkau menyamar sebagai pertapa suci? Aku tidak kenal engkau! Enyahlah, pergilah ke mana engkau suka!”
Syakuntala menjawab, “Wahai Raja, engkau bisa melihat kesalahan orang lain walau hanya sekecil butir pasir, tetapi engkau tak mampu melihat keburukanmu yang sebesar gajah. Dewi Menaka adalah bidadari utama yang tinggal di kahyangan. Karena itu, hai Dushmanta, kelahiranku sesungguhnya lebih mulia daripada kelahiranmu. Kau berjalan menginjak tanah di bumi, sedangkan aku mengembara di langit biru! Lihatlah perbedaan di antara kita, saksikanlah kekuatanku nanti. Aku bisa mengunjungi kahyangan tempat tinggal Dewa Indra, Kuwera, Yama, Baruna, dan dewa-dewa lain, kapan saja. Sungguh aku tidak berdusta.
“Orang yang buruk rupa selalu menganggap dirinya lebih tampan dari orang lain, sampai ia melihat wajahnya sendiri di kaca. Ketika itu barulah ia sadar akan perbedaan wajahnya dengan wajah orang lain. Dia yang selalu bicara jahat berhati busuk, ibarat babi yang selalu mencari kubangan lumpur walaupun berada di tengah taman bunga.
“Demikianlah, dia yang jahat selalu mencari-cari keburukan dalam kata-kata orang lain, namun orang yangbersih hatinya selalu menyimak kata-kata orang lain dan menyaringnya; yang baik dan benar diterima, yang salah dan dusta dilupakan. Ibarat angsa yang selalu dapat memisahkan susu dari air, orang jujur senang menghormati orang yang lebih tua dan tidak suka membicarakan keburukan orang lain. Sebaliknya, orang jahat senang memfitnah dan mencari-cari kesalahan orang lain. Yang jahat selalu berkata buruk tentang yang jujur, tetapi yang jujur tidak pernah menyakiti yang jahat walaupun ia sendiri disakiti.
“Seorang pria yang punya anak laki-laki yang merupakan bayangannya sendiri tidak akan pernah mencapai dunia yang diidam-idamkannya bila ia tak mau mengakui anaknya. Dewa-dewa akan menghancurkan kebahagiaan dan kejayaannya. Nenek moyang kita mengajarkan bahwa anak laki-laki adalah penerus kehidupan keluarga dan bangsanya. Karena itu, upacara yang dilaksanakannya adalah upacara terbaik dari segala jenis upacara keagamaan dan tidak seorang pun boleh melupakan putranya.
“Menurut Manu ada 5 macam anak laki-laki: 1) yang diciptakan bersama istri sendiri, 2) yang diperoleh dari pemberian orang lain, 3) yang dibeli berdasarkan pertimbangan tertentu, 4) yang diasuh dengan kasih sayang, dan 5) yang diperoleh dari wanita-wanita yang tidak dikawini. Anak laki-laki memperkuat agama dan apa yang diperolehnya akan memperbesar kegembiraan ayahnya. Karena itu, wahai Raja perkasa, tidak perlu engkau membuang anakmu sendiri.
“Wahai Raja penguasa dunia, pujalah kebenaran, kebajikan dan dirimu sendiri dengan memuja anakmu. Tidak pantas engkau mempertahankan kebohonganmu. Kebenaran lebih penting daripada seratus upacara korban suci. Tidak ada yang lebih tinggi dari kebenaran. Wahai Raja, kebenaran adalah Dia Yang Maha Benar. Kebenaran
adalah sumpah tertinggi! Oleh sebab itu, jangan langgar sumpahmu. Biarlah kebenaran bersatu dengan engkau.
Kalau engkau menghiraukan kata-kataku ini, dengan kemauan sendiri aku akan pergi dari sini. Sesungguhnya aku tahu bahwa persahabatan denganmu lebih baik dihindari. Tetapi, hai Dushmanta, kelak setelah engkau tiada, anakku ini yang akan menguasai dunia yang dikelilingi empat samudra dan dihormati oleh raja-raja dari segala penjuru.”
Setelah mengucapkan kata-kata keras, Syakuntala meninggalkan Dushmanta. Begitu Syakuntala hilang dari pandangan, terdengarlah suara dari langit meskipun tak
ada sosok yang terlihat. Dushmanta, dikelilingi para pendeta istana dan para menteri, mendengar suara itu berkata. “Seorang ibu ibarat kulit dari daging. Anak laki-laki berasal dan merupakan citra ayahnya. Karena itu, wahai Dushmanta, sayangilah putramu dan janganlah menghina Syakuntala. Wahai Raja mulia, anak yang berasal dari benihmu akan menyelamatkanmu dari kekuasaan Batara Yama dengan upacara-upacara keagamaan. Engkau adalah asal-mula anak ini. Syakuntala tidak berdusta. Ingatlah, suami yang membagi dirinya menjadi dua, terlahir kembali melalui istrinya dalam wujud anak laki-laki.
“Wahai Dushmanta, pujalah dan sayangilah anakmu, buah rahim Syakuntala. Kau akan tertimpa malapetaka besar jika menyia-nyiakan dia. Anak yang berjiwa agung itu akan dikenal dengan nama Bharata, artinya yang dipuja’!” Kemudian suara dari kahyangan itu lenyap.
Setelah mendengar kata-kata itu, Raja merasa sangat gembira. Ia berkata kepada semua orang yang ada di hadapannya, “Kalian dengar sabda dari langit tadi? Sebenarnya aku telah mengakui anak ini sebagai anakku sendiri. Tetapi, jika kupungut dia dan kuturuti kata-kata Syakuntala begitu saja, rakyatku pasti curiga dan anakku dianggap anak haram.”
Akhirnya Raja memerintahkan agar dilakukan upacara khusus, yaitu upacara yang dipersembahkan seorang ayah untuk anaknya. Dengan upacara yang lain, Syakuntala diterima sebagai permaisuri. Anak itu diberi nama Bharata dan dinobatkan menjadi putra mahkota. Kelak di kemudian hari, keturunan Bharata menjadi bangsa yang besar.


******
Share:

SEKHA SANTHI DANG DING DONG

SEKHA SANTHI DANG DING DONG
Silahkan klik gambar
OM SWASTYASTU - SELAMAT DATANG DI ARYAWANGSABLOG - SEMOGA BERMANFAAT

daftar isi

Total Tayangan

Powered By Blogger

Categories 2