Dewabrata
Bersumpah Sebagai Bhisma
Oleh
: Nyoman S. Pendit
Dengan
hati bahagia Raja Santanu menyambut putranya dan membawanya ke istana. Anak
yang dikelilingi aura keagungan dan menunjukkan watak-watak kesatria
sejati itu
dinobatkannya menjadi putra mahkota. Dewabrata diangkat sebagai yuwaraja atau putra mahkota yang bertugas
mendampingi Raja dalam memerintah. Dia pula yang akan mewarisi kerajaan
ayahnya, kelak setelah ayahnya mengundurkan diri dengan bijaksana.
Empat
tahun berlalu. Pada suatu hari, Raja Santanu berjalan-jalan di tepi Sungai
Yamuna. Tiba-tiba angin berhembus dan terciumlah olehnya keharuman yang memenuhi
udara. Raja mencari sumber keharuman yang suci itu dan melihat seorang gadis
cantik jelita, secantik bidadari kahyangan, duduk melamun di tepi sungai.
Sejak
Dewi Gangga meninggalkannya, Raja Santanu selalu berusaha menahan hasrat dan
hawa nafsunya dan berusaha hidup dengan sepenuhnya mengutamakan kebajikan.
Tetapi, kecantikan wajah dan keharuman tubuh gadis itu membuatnya lupa akan tapabrata-nya. Hatinya bergejolak, dilanda cinta
asmara yang meluap-luap. Raja
Santanu
meminang gadis itu agar mau menjadi permaisurinya. “Wahai gadis jelita, siapakah namamu dan dari mana asalmu? Aku
terpesona oleh kecantikanmu. Maukah engkau kupersunting menjadi istriku?”
kata sang Raja.
Berkatalah
sang juwita, “Daulat Tuanku, nama hamba Satyawati.
Hamba seorang penangkap ikan. Ayah hamba kepala kampung nelayan di sini. Hamba
persilakan Paduka membicarakan permintaan itu dengan ayah hamba. Semoga dia
menyetujuinya.”
Satyawati
mengantarkan sang Raja ke rumah orangtuanya di kampung nelayan yang agak jauh
dari tempatnya mencari ikan. Sampai di rumah, sang Raja dipersilakan
untuk
mengutarakan niatnya.
Kata
Raja Santanu, “Wahai Bapak nelayan, aku temukan
putrimu yang jelita ini di tepi sungai sedang mencari ikan. Aku sangat
terpesona oleh kecantikan dan tutur katanya yang lembut. Aku ingin
mempersunting dia menjadi istriku dan memboyongnya ke istanaku.”
Ayah
gadis itu orang yang cerdik. Ia menyembah Raja Santanu dan berkata, “Daulat Tuanku. Memang sudah waktunya anak
hamba menikah dengan seorang lelaki, seperti gadis-gadis lain. Paduka Tuanku
adalah raja yang mulia dan berkedudukan jauh di atas dia. Hamba tidak keberatan
jika anak hamba Paduka persunting. Tetapi, sebelum Satyawati hamba serahkan,
Paduka harus berjanji.”
Kata
Raja Santanu, “Apa pun syarat yang kau ajukan,
aku akan memenuhinya.”
Kepala kampung nelayan itu memohon, “Jika
anak hamba melahirkan seorang bayi lelaki, Paduka harus menobatkannya menjadi
putra mahkota dan kelak setelah Paduka mengundurkan diri, Paduka harus
mewariskan kerajaan ini kepadanya.”
Meskipun
tergila-gila pada anak gadis kepala kampung nelayan itu, namun Raja Santanu tak
dapat menyanggupi persyaratan itu. Ia sadar, jika dia memenuhi semua syarat yang
diajukan ayah si gadis, berarti ia harus menyingkirkan Dewabrata yang sudah
dinobatkannya menjadi yuwaraja
dan berhak atas takhta kerajaannya kelak.
Terlalu besar yang harus ia pertaruhkan untuk mempersunting Satyawati. Sungguh
tidak pantas dan memalukan, jika ia menuruti kata hatinya. Setelah bergulat
dengan perasaannya, Raja Santanu kembali ke istananya di Hastinapura. Perasaannya
campur aduk, sedih karena mungkin harus menyingkirkan Dewabrata, senang karena
sedang jatuh cinta. Tetapi, sang Raja menyimpan rahasianya rapat-rapat. Tak
seorang pun diberi tahu akan hal itu. Raja lebih banyak mengurung diri di ruang
peraduannya dan melamun. Tugas-tugas kerajaan lebih banyak dilakukan oleh
Dewabrata.
Mengetahui
hal itu, suatu hari Dewabrata bertanya kepada ayahnya, “Ayahanda mempunyai segala sesuatu yang mungkin diinginkan oleh seorang
manusia. Tetapi mengapa Ayahanda kelihatan begitu murung? Apa sebabnya Ayahanda
berduka demikian rupa? Wajah Paduka seakan-akan menyimpan rahasia dan
menanggung beban berat.”
Jawab
Baginda, “Anakku sayang, apa yang kau katakan
itu benar. Sesungguhnya Ayahanda sedang tersiksa oleh perasaan duka dan cemas.
Engkau putraku satu-satunya. Engkau selalu sibuk mengurus kerajaan dan melatih
para prajurit agar mahir berperang. Hidup di dunia ini tidak pasti dan tidak
kekal. Perang dan damai silih berganti tiada henti. Jika kau mati tanpa punya
anak, maka garis keturunan kita akan putus, habis.
“Sudah tentu seorang anak apalagi anak
tunggal sama berharganya dengan seratus anak.
Para tua-tua cendekia yang mahir akan makna kitab-kitab suci berkata, ‘Di mayapada atau
di dunia ini, punya anak hanya seorang sama dengan tidak punya anak sama
sekali’. Sungguh sayang jika kelangsungan hidup keluarga dan keturunan kita
hanya bergantung pada seorang saja. Sebenarnya, Ayahanda memikirkan
kelangsungan garis keluarga dan keturunan kita sampai beratus-ratus tahun
kelak. Itulah yang membuatku gelisah dan berduka.”
Raja
Santanu berusaha keras untuk menyembunyikan isi hatinya yang sesungguhnya
karena ia malu pada putranya. Dewabrata yang bijaksana dan setia kepada ayahnya
menyadari hal itu. Ia tidak mau mendesak agar ayahnya mengungkapkan hal-hal
yang dirahasiakannya dan menyebabkannya berlaku seperti itu, selalu murung dan
gelisah.
Dewabrata
kemudian bertanya kepada sais kereta ayahnya. Barulah ia tahu bahwa belum lama
ini ayahnya berkenalan dengan seorang gadis cantik penangkap ikan di tepi
Sungai Yamuna, bahwa ayahnya kemudian meminang gadis itu, dan bahwa ayahnya tak
sanggup memenuhi syarat-syarat yang diajukan ayah si gadis.
Mendengar
itu, Dewabrata memutuskan untuk menemui kepala kampung nelayan itu dan meminang
putrinya atas nama ayahnya.
Kepala
kampung nelayan itu berpegang teguh pada pendiriannya, “Wahai sang Putra Mahkota, sesungguhnya anak hamba pantas menjadi
permaisuri ayahanda Paduka. Karena itu, sungguh wajar jika kelak anaknya
dinobatkan menjadi raja, menggantikan ayahanda Paduka. Apakah Tuanku sependapat
dengan hamba?
“Hamba tahu, Paduka telah dinobatkan
menjadi yuwaraja
dan dengan sendirinya kelak akan menggantikan beliau. Demi
anak hamba, jangan sampai hal itu terjadi.”
Kata
Dewabrata, “Baiklah. Ingat baik-baik
kata-kataku ini: Jika anakmu melahirkan seorang anak lelaki, anak itu kelak
akan dinobatkan menjadi raja. Aku rela turun takhta demi keinginan ayahanda
Raja Santanu untuk melanjutkan keturunannya.”
Mendengar
kata-kata Dewabrata, nelayan itu bersujud, “Wahai
Putra Mahkota yang paling bijaksana di antara semua keturunan Bharata, apa yang
Tuan lakukan sungguh berani dan belum pernah dilakukan orang sebelumnya. Tuanku
seorang pahlawan besar. Silakan Tuanku membawa anak hamba untuk dipersembahkan kepada
ayahanda Paduka.
“Hamba yakin, Tuanku pasti akan memenuhi
janji. Tetapi, apa yang dapat hamba pakai sebagai pegangan yang menguatkan harapan
hamba? Bagaimana putra-putra yang lahir sebagai keturunan Tuanku akan rela menyerahkan
hak-hak mereka sebagai ahli waris kerajaan? Putra-putra Tuanku pasti akan
menjadi pahlawan-pahlawan besar seperti Tuanku sendiri. Tuanku pasti sulit menjelaskannya
kepada mereka. Pasti sulit menghalangi keinginan mereka untuk kembali memiliki
kerajaan entah dengan kekerasan atau secara baik-baik. Inilah keraguan hati
hamba yang selalu membuat hamba cemas.”
Mendengar
pertanyaan yang sangat sulit dijawab itu, Dewabrata dengan penuh niat suci
memutuskan untuk melepaskan diri dari segala sesuatu yang bersifat duniawi, demi
ayahnya. Kemudian ia bersumpah di hadapan ayah si gadis penangkap ikan, “Aku berjanji tidak akan kawin. Dengan demikian,
aku takkan pernah punya anak. Seluruh hidupku akan kupersembahkan untuk
berbakti pada rakyat dan kerajaan dan untuk kesucian.”
Ketika
Dewabrata mengucapkan sumpah sucinya, berguguranlah kembang-kembang harum suci
menaburi kepalanya, sementara di angkasa bergema suara merdu, “Bhisma... bhisma... bhisma....” Kata bhisma menyatakan bahwa seseorang telah mengucapkan sumpah yang berat
dan suci dan berjanji akan benar-benar melaksanakannya. Dewabrata memenuhi syarat-syarat
itu.
Sejak
itu, Dewabrata melepas gelar yuwaraja dan tidak lagi berkedudukan sebagai putra mahkota. Kemudian
dia digelari dengan nama Bhisma, sebagai penghormatan akan kesetiaannya kepada
ayahnya dan keteguhan hatinya yang suci.
Demikianlah,
Dewabrata putra Dewi Gangga memboyong Satyawati ke Hastinapura untuk diserahkan
kepada ayahnya, Baginda Raja Santanu.
Dari
perkawinannya dengan Satyawati, Raja Santanu mempunyai dua putra, Chitranggada
dan Wichitrawirya. Chitranggada meninggal lebih dulu daripada adiknya,
tanpa
meninggalkan seorang putra pun; sedangkan Wichitrawirya mempunyai dua putra,
yaitu Dritarastra dan Pandu dari dua permaisurinya, Ambika dan Ambalika.
Dritarastra
berputra seratus orang; mereka dikenal sebagai Kaurawa. Pandu berputra lima
orang, mereka termasyhur sebagai Pandawa. Adapun Bhisma, sebagai kakek-paman
dan sesepuh anak-cucu Raja Santanu, hidup sampai usia tua, disegani dan
dihormati oleh seluruh sanak keluarganya. Kelak Bhisma meninggal sebagai
senapati dalam perang besar Bharatayuda di padang Kurukshetra.
***