IDA
DANGHYANG BANG MANIK ANGKERAN BERPULANG KE SUNYALOKA
Patut
diketahui perihal kesaktian Sang Bidadari sehari-hari, menanak nasi dengan
sebulir padi. Sehelai bulu ayam, jika dimasak, menjadi ikan ayam. Keadaan
demikian itu jelas tidak boleh dilihat oleh orang lain. Hal itu sudah
dipermaklumkan kepada Sang Pendeta, agar beliau jangan mencoba kesaktian Sang
Bidadari, agar kesaktian Sang Bidadari tidak hilang. Itu sebabnya keberadaan
sehari-hari Sang Pendeta dengan isteri dan putranya di Besakih, tiada kurang
suatu apapun.
Setelah
berapa tahun lamanya, Ida Danghyang Bang Manik Angkeran melaksanakan swadharma
berkeluarga dengan istri beliau bertiga beserta putranya tiga orang di Besakih,
maka tibalah waktunya perjanjian Sang Bidadari harus kembali ke Sorgaloka.
Keluar pikiran Ida Sang Pendeta mencoba kesaktian sang istri. Beliau mengintip
isterinya Sang Bidadari sedang memasak, manakala isterinya menaruh sebulir
padi. Setelah lama nian memasak, dibukanya kekeb – penutup alat masak
- itu oleh Sang Bidadari. Dilihat padinya sebulir itu masih seperti
sediakala. Saat itu, berpikir Sang Bidadari, kemungkinan memang sampai saat itu
Sang Bidadari bersuamikan Sang Pendeta. Kemudian beliau menghadap dan
menghaturkan sembah: “Inggih kakandaku,
Sang Pandita, rupanya sampai di sini dinda mengabdikan diri – bersuamikan
kanda. Sudah usai rupanya perjanjian kita. Dinda sekarang, akan memohon diri ke
hadapan palungguh kanda, untuk pulang kembali ke Sorgaloka”.
Sang
Pandita kemudian berkata halus: “Nah,
kalau begitu Silakan adinda pulang lebih dahulu, kanda akan mengikuti
perjalanan dinda”. Sang Bidadari lalu kembali ke Indraloka.
Sejak saat
itu Ida Sang Pendeta Danghyang Bang Manik Angkeran selalu melaksanakan Yoga
Panglepasan untuk pulang ke alam baka. Dan lagi, beliau menyadari akan segera
kembali pulang ke Sunyaloka, lalu beliau memanggil putranya bertiga,
memberitahukan bahwa putranya bertiga memiliki kakek di Jawa, yang bernama Ida
Danghyang Siddhimantra. Bersama isterinya yang dua orang itu, beliau memberikan
petuah yang sangat bermakna: ” l Dewa,
Bang Banyak Wide, l Dewa, Bang Tulusdewa, l Dewa Bang Wayabiya, anakku bertiga yang sangat ayahanda
cintai dan kasihi, ayahanda sekarang bersama ibu-ibumu berdua, akan
meninggalkan ananda. Ayahanda akan pulang ke Sorgaloka. Satukan diri ananda
dalam bersaudara. Ala Ayu tunggal ! Duka maupun suka hendaknya tetap satu!
Kemudian juga agar selalu ingat kepada Bhatara Kawitan, serta senantiasa bhakti
menyembah Ida Bhatara semua di sini di Besakih serta Ida Bhatara Basukih. Tidak
boleh ananda lalai serta ingkar dengan petuah ayahandamu ini”.
Demikian nasehat Ida Sang Pendeta, dicamkan betul oleh para putranya bertiga.
Pada hari
yang baik, beliau kemudian berpulang ke Nirwana, moksa dengan Adhi Moksa-moksa
yang utama, diiringkan oleh isterinya berdua, karena keduanya memang setia dan
bhakti kepada beliau.
Diceriterakan,
beliau-beliau itu sudah menyatu dengan Tuhan. Tinggallah para putranya bertiga,
ditinggal oleh ayah serta bundanya. Namun demikian masyarakat se wilayah desa
Bukcabe, masih tulus bhaktinya, karena ingat kepada petuah Ki Dukuh Sakti
Belatung dahulu. Pada saat itu, putera Ida Bang Manik Angkeran yang nomor empat
dari Ni Luh Canting yakni Sira Agra Manik, belum ada dan belum berdiam di
Besakih.
Tidak
terhitung berapa tahun ketiga putera itu ditinggal oleh ayah ibunya semua, lalu
ada keinginan Ida Sang Bang Banyak Wide akan berbincang dengan kedua adiknya.
Setelah semuanya duduk, maka berkatalah Ida Bang Banyak Wide “Inggih, adikku berdua, yang kanda kasihi
dan cintai. Teringat kanda dengan petuah Ida l Aji, kata beliau Kakek kita yang
bernama, mohon maaf, Ida Danghyang Siddhimantra, bertempat tinggal di Pulau
Jawa, tepatnya di daerah Daha. Kalau sekiranya dinda berdua menyetujui, marilah
kita pergi ke sana, bersembah sujud menghadap kepada Ida l Kakiyang -
kakek kita, agar kita mengetahui keberadaan beliau, agar jangan seperti
ungkapan yang mengatakan, tahu akan nama namun tidak tahu akibat rupa. Lagi
pula kalau Kanda pikir, mungkin sekali Ida l Kakiyang – kakek kita tidak tahu
sama sekali akan keberadaan kanda dinda, karena tidak ada yang menceriterakan
perihal keberadaan ayahanda kita serta kita bertiga”.
Baru
didengar perkataan kakaknya demikian, maka menjawablah Ida Sang Bang Tulusdewa
dengan sangat sopan: “Inggih palungguh
kanda, mengenai perihal itu, perkenankanlah dinda menyampaikan pendapat, namun
mohon dimaklumi, bila mana ada yang tidak berkenan di hati kanda. Perihal
keinginan kanda, disebabkan niat bhakti kehadapan Ida l Kakiyang, memang wajar
sekali. Dinda sangat berbesar hati. Namun bila mana kanda akan pergi ke Jawa,
untuk menghadap kepada Ida Kakiyang kakek kita, apalagi berkeinginan untuk
bertempat tinggal di sana, mohon maaf dan mohon perkenan kakanda, bahwa dinda
tidak bisa mengikuti kehendak kanda itu. Biarkanlah hamba di sini di Bali, agar
ada yang melanjutkan yadnya dari ayahanda Ida Sang Pendeta, sebagai tukang sapu
di sini di Besakih, seperti menjadi petuah dari ayahanda”.!
Kemudian
Ida Bang Wayabiya menghaturkan sembah: “Inggih
palungguh kanda Sang Bang Banyak Wide yang sangat dinda hormati, dinda juga,
bukan karena kurang bhakti dinda kepada Ida l Kakiyang, walaupun belum dinda
ketahui. Yang nomor dua, tidak kurang bhakti serta kasih dinda bersaudara
dengan kakanda. Namun kalau berpindah tempat meninggalkan Bali ini, berat
rasanya bagi dinda, karenanya, mohon maaf pula, dinda juga tidak ikut
mendampingi kanda, seperti pula pada yang dikatakan kanda Tulusdewa baru. Dinda
tidak sekali akan menghalangi niat luhur kakanda untuk pergi ke Jawa, menghadap
kepada Ida l Kakiyang. Itu juga sangat pantas. Kalau kakanda berkehendak akan
pergi, silakan kakanda pergi sendiri, agar ada yang memberitakan keberadaan di
Bali ke hadapan Ida l Kakiyang. Biarkan dinda berdua di sini di Bali “.
Baru
mendengar hatur adik-adiknya berdua, lama Ida Sang Banyak Wide berdiam,
berpikir-pikir. Karena memang tidak pernah berpisah dan mereka saling mengasihi
satu sama lainnya. Kemudian beliau berkata: “Inggih,
kalau demikian pendapat dinda berdua, patut juga, di Bali agar ada, ke Jawa,
menurut kanda, juga agar ada yang memberitahukan perihal keadaan kita di Bali
ini, seperti yang dikatakan dinda Wayabiya baru. ltu sebabnya perkenankan kanda
akan sendirian pergi ke Jawa, untuk menghadap kepada Ida l Kakiyang. Namun ada
petuah kanda kepada dinda berdua. Walaupun kanda tidak lagi berada di sini
bersama dinda berdua, di mana saja mungkin kanda – dinda berdiam, kalaupun
kanda – dinda menemui kebaikan atau keburukan, agar supaya tidak kita lupa
bersaudara sampai nanti kepada keturunan kita di kelak kemudian hari. Ingat
betul nasehat suci dari Ayahanda kita: Ala Ayu Tunggal! Ayu tunggal, Ayu kabeh.
Ala tunggal, ala kabeh! Duka dan suka tunggal! Kalau satu orang mendapatkan
kegembiraan, agar semuanya bisa ikut menikmatinya.
Demikian juga kalau salah satu mengalami kedukaan agar
semuanya merasakannya. Mudah-mudahan kita semuanya bisa bertemu kembali. Kalau
tidak kanda yang bisa bertemu dengan dinda, semoga anak cucu kita bisa bertemu
serta mengingatkan persaudaraan kita di kelak kemudian hari”.
Inggih, silakan palungguh kanda pergi, dinda menuruti
semua apa yang kanda katakan, Semoga kanda selamat, serta bisa bertemu dengan
Ida l Kakiyang”. Demikian hatur adiknya berdua.
Pada hari
yang baik, Ida Bang Banyak Wide mohon diri kepada saudaranya berdua, seraya
berangkat. Diceriterakan perjalanan Ida Bang Banyak Wide, demikian banyaknya
desa, perumahan serta hutan dilewatinya, lembah dan jurang yang dituruninya,
jarang sekali berjumpa dengan manusia. Banyak sekali kesulitan yang ditemuinya
di jalan tak usah diceriterakan, namun Ida Bang Banyak Wide, walau masih jejaka
muda-belia, demikian teguhnya kepada tekadnya, tidak pernah takut dan khawatir
menghadapi kesulitan dan hambatan di jalan.
Pada siang
hari beliau berjalan, di mana beliau merasa lesu, di sana berharap untuk
beristirahat. Kalau hari sudah menjelang malam, beliau bermalam di mana beliau
mendapatkan tempat. Kalau kemalaman di desa, berupaya beliau menumpang di
tempat orang, namun seringkali beliau berada di tengah hutan, dan paksa tidur
di pohon-pohon kayu. Setiap kali beliau berjumpa dengan orang, tidak lupa
beliau menanyakan di mana negeri Daha itu.
Singkat
ceritera, sampailah beliau di perbatasan negeri Daha. Terkesan beliau akan
keadaan negeri itu yang demikian ramai dan indah. Berbeda sekali kalau
dibandingkan dengan desa Besakih, yang sedikit bangunannya. Bangunan di sana
semua besar-megah serta memakai tembok yang tinggi dari batu bata. Orang di
sana semuanya memakai pakaian yang bagus – bagus. Jalannya juga lebar, setiap
beberapa meter ada lampu yang berderet di sisi jalan.
Setelah
tenggelam sang mentari, kala itu nampak oleh beliau ada sebuah bangunan seperti
Jero, bertembok bata dengan memakai pintu gerbang kori agung Di bagian luar
dari bangunan yang serupa jero itu, ada balai-balai kecil: bale panjang
layaknya seperti tempat orang berteduh dan beristirahat. Di sana lalu beliau
berteduh dan beristirahat. Demikian gembiranya beliau, sebab mendapatkan tempat
beristirahat yang nyaman.
Tidak
lama, karena demikian lesunya, sekejap beliau sudah terlelap. Ternyata itu
ternyata sebuah Griya – tempat seorang pendeta yang bernama Ida Mpu Sedah Di
sana, di bagian luar dari Griya Ida Pandita terdapat sebuah batu ceper yang
berukuran besar, sebagai tempat Pendeta Mpu Sedah duduk-duduk tatkala beliau
beranjangsana. Konon, dahulunya, di tempat batu itu, tak seorangpun berani
bermain atau lewat di sana, apalagi untuk mendudukinya. Walau hanya seekor
capungpun, kalau hinggap di tempat itu,. langsung akan hangus terbakar.
Singkat
ceritera, ketika hari itu Ida Pandita keluar untuk berjalan-jalan, tiba-tiba
beliau berhenti sejenak ketika melihat ada seorang jejaka duduk di batu ceper
itu. Lalu didekatinya seraya berkata: ”
Uduh kaki, ndi sang kayeng tuan, agia tunggal-tunggal, eman-eman warnanta
masmasku. Mwang siapa puspatanira ? Was duga-duga kawongane sira, dadine sira
Kaki pasti maweruha. Nah, anakku, dari megerangan sebenarnya ananda ini datang
sendirian ke mari. Kagum kakek menyatakan prabawamu . Siapa namamu, serta apa
keluarga dan kelahiran ananda? Ayuh jelaskan agar kakek mengetahuinya !”
Kemudian
Ida Sang Bang Banyak Wide berkata, seraya menghaturkan sembah bakti “Singgih pukulun Sang Pendeta, hamba adalah
cucu dari Sang Pendeta Siddhimantra, ayahanda hamba adalah Sang Pendeta
Angkeran. Nama hamba Sang Banyak Wide, maksud tujuan hamba adalah ingin bertemu
dengan kakek Kakiyang hamba di Griya Daha, Ida Sang Pendeta Siddhimantra itu”.
Baru
didengar hatur Ida Sang Banyak Wide demikian, menjadi sangat terharu perasaan
Ida Pandita, seraya berkata: “Aum cucuku tercinta, kalau demikian maksud tujuan
cucunda, ketahuilah bahwa kakek cucunda ini memiliki hubungan saudara dengan
kakekmu itu yang kini sudah tiada. Karena itu sekarang yang paling baik,
dengarkan kakekmu ini, jangan dilanjutkan keinginan cucunda pulang ke Griya
kakekmu. Di sini saja cucunda berdiam, mendampingi kakekmu ini yang sudah tua
renta. Cucuku menjadi pewaris keturunanku, sebab kakekmu ini tidak memiliki
keturunan atau anak. Dulu putera kakek ada Iaki-laki seorang, bernama Sira Bang
Guwi. Sudah dibunuh oleh sang raja, dosanya karena membangkang kepada raja.
Sebab itu sekarang putung – tidak berketurunan kakekmu ini, semoga berkenan
cucunda menjadi sentana-keturunan pewarisku, yang akan memelihara tempat
kediaman ini kelak di kemudian hari. Sekarang cucunda yang memerintah di
kawasan ini. Di samping itu ada petuah Kakek, sebab cucunda memakai pegangan
Ke-Budhaan, sementara kakekmu ini melaksanakan Kesiwaan, karena itu sekarang
cucunda janganlah lagi menggelar Kebudhaan, gelaran Siwa yang cucunda jadikan
pegangan “.Demikian wacana Ida Mpu Sedah kepada Ida Bang Banyak Wide
yang memahami dan menyetujui kehendak Ida Pandita, sehingga akhirnya Ida Bang
Banyak Wide diresmikan sebagai putera angkat – kadharma putera.
Sangatlah
sukacita perasaan Sang Pendeta. sangat dimanja putranya Ida Bang Banyak Wide.
Singkat ceritera, sekarang telah berdiam Ida Sang Bang Banyak Wide di Griya
Daha mendampingi kakeknya Ida Mpu Sedah.