IDA
BANG MANIK ANGKERAN BERJUMPA DENGAN BIDADARI
Tidak terasa
berapa tahun lamanya beliau bersuami-isteri, tatkala hari Purnama bulan ke
sepuluh, Ida Sang Pendeta keluar dari pasraman, membawa tempat air serta
seperangkat alat untuk mandi. Memang sudah menjadi kebiasaan beliau setiap hari
baik atau pada hari Purnama-Tilem, selalu beliau bepergian ke Tirtha Pingit
untuk mandi. Beliau berjalan naik perlahan sebab merasa senang beliau melihat
segala bunga yang tumbuh di tepi jurang, serta pula di berbagai tempat di
daerah Besakih. Banyak jenis bunganya serta beraneka rupa warnanya. Demikian
senang perasaan Ida Sang Pendeta melihat keadaan seperti itu, sampai beliau
menggumam bagaikan berbincang dengan bunga itu semua.
Setelah
beliau memasuki hutan, terdengar oleh beliau suara burung semakin ramai saling
bersahutan, Iaksana menyambut kedatangan Sang Pendeta. Beraneka macam memang
suara burung itu. Semua itu menambah gembira hati sang pendeta. Tahu-tahu
beliau sudah berada dekat dengan tempat Tirtha Pingit yang akan dituju.
Tiba-tiba
beliau berhenti. Karena terlihat oleh beliau seorang wanita sudah ada lebih
dahulu di tempat air suci itu, kemungkinan juga akan mandi. Beliau Sang Pendeta
lalu memperhatikan wanita itu. Demikian cantiknya serta berwibawa wanita itu.
Kemudian beliau merasa-rasa. Sepertinya beliau sudah pernah bertemu dengan
wanita itu, namun tidak ingat lagi beliau, di mana, siapa gerangan wanita itu.
Ingat lagi, kemudian lupa kembali. Tatkala itu, wanita itu juga diam menunduk,
sepertinya acuh.
Setelah
agak lama mengingat-ingat, juga tidak bisa beliau mengingat, maka didekatinya
wanita itu, seraya menyampaikan pertanyaan: “Inggih,
tuan puteri yang bijak, siapakah gerangan tuan puteri ini, Kok sendiri di
tengah hutan begini. Dari mana tuan puteri, apakah tuan puteri benar manusia,
apa Wong samar orang maya, ataukah Dewa ?”
Menjawab
wanita itu: “Inggih Sang Pendeta, yang
sangat bijaksana, hamba ini bukanlah manusia maya, dan juga bukan manusia”.
“Kalau demikian, sebenarnya tuan puteri Bidadari ?”.
“Ya, benar sekali seperti yang Sang Pendeta katakan,
hamba memang bidadari dari Sorga”.
“Aduh, sudah hamba sangka, tentu tuan puteri adalah
Bidadari, karena kagum benar hamba melihat kecantikan paras tuan puteri”.
“Inggih, memang demikian Sang Pendeta. Kalau wanita,
kecantikannya yang menyebabkan orang itu kagum. Kalau Iaki-laki jelas
kebijaksanaan dan keperwiraannya yang membuat orang kagum serta bertekuk lutut
di kakinya”. Demikian kata Sang Bidadari.
Ketika
mendengar perkataan Sang Bidadari sedemikian itu, seperti terkena sindiran Sang
Pendeta. Seraya menyembunyikan rasa gugupnya, lalu beliau berkata: “Apa yang mungkin tuan puteri cari, datang
ke sini di tengah hutan seorang diri ?” Menjawab Sang Bidadari: “Tidak ada yang hamba cari. Kedatangan hamba
ke sini, hanya bersenang-senang”.
“Apa yang
menyebabkan tuan puteri datang ke sini untuk bersenang-senang. Apakah di Sorga
kurang tempat yang indah untuk bersenang-senang?”
“Ya, memang demikian Sang Pendeta. Di Sorga, memang tidak
kurang tempat yang indah. Tetapi sebenarnya sekali, yang membuat hati ini
senang, tidak tempat yang indah saja, namun senang atau sedih, suka atau duka,
hanya tergantung pada hati perasaan kita masing-masing. Kalau seperti hamba,
sekarang ini, hanya tempat ini yang paling indah, yang bisa memberikan
kesenangan pada perasaan hamba. Sebenarnya Sang Pendeta, bagaikan ditarik hati
hamba, jadi berkeinginan hamba untuk datang ke mari, mungkin ada sesuatu hal
yang sangat indah di sini”.
Lagi
seperti dikenai sindiran, sampai Sang Pendeta menjadi makin gugup, lalu
kemudian beliau berkata lagi: “Memang
betul tuan puteri datang dari Sorga, sangat pintar dan bijak tuan puteri
berkata, semakin menjadi kagum hamba kepada tuan puteri”.
“Janganlah berkata demikian Ratu Sang Pendeta. Terlalu
banyak l Ratu memuji diri hamba. Sebenarnya sekali, hamba masih
terlalu muda”. Demikian Sang Bidadari segera menjawab.
Setelah
lama berbincang-bincang serta keduanya merasa di hati masing -masing sudah
akrab serta bersemi lagi rasa cinta, lalu beliau Sang Pendeta memaksakan
dirinya untuk berkata: “Duh Dewa Sang
Bidadari, perkenankanlah hamba memohon maaf, kalau-kalau perkataan hamba tidak
berkenan di hati, karena tidak bisa sama sekali hamba akan menghentikan
perasaan hamba yang mungkin bisa dikatakan kurang baik, namun bisa juga disebut
baik sekali”.
Lalu
menjawab Sang Bidadari: “Silakan Sang
Pendeta, apa yang akan tuan sampaikan. Hamba bersedia untuk mendengarnya.
Jangan lagi Sang Pendeta merasa ragu dan khawatir”.
Berkata
Sang Pendeta: “Duh, Dewa, terlebih dahulu
hamba menghaturkan terimakasih yang sebesar-besarnya atas anugerah Tuan Puteri.
Pendek kata hamba ingin mengatakan, jangan sekali Tuan Puteri marah,
mudah-mudahan Tuan Putri berkenan. Ya, begini …. diri hamba akan hamba serahkan
ke hadapan Tuan Putri Namun karena hamba belum bisa ikut ke Sorga Loka
mengikuti Tuan Puteri, kalau berkenan, Tuan Puteri akan hamba ajak di sini di
dunia, di kawasan Besakih ini, menghamba dan mengabdi kepada Ida Bhatara di
sini”.
Menjawab
Sang Bidadari: “Ya kanda, sebelum hamba
menjawab keinginan kanda tersebut, berikan saya menceriterakan terlebih dahulu
perihal kita berdua kala berada di Kendran. Sebenarnya, dahulu, sebelum kanda
diutus untuk turun ke dunia ini, atas permohonan Ida Danghyang Siddhimantra,
dinda sudah memilih hubungan-bertunangan dengan kanda. Namun setelah kanda
turun ke Marcapada ini dinda masih sendirian berada di Sorga Loka. Lama dinda
menunggu kedatangan kanda, tidak juga ada datang-datang. ltu sebabnya dinda
sekarang turun ke dunia mengikuti jejak kakanda, agar bisa segera bertemu
dengan kakanda, menyatukan tali kasih yang sudah bersemi di Sorga Loka. Karena itu, kalau
memang benar ada maksud kakanda akan bersatu dengan dinda, dinda tidak lagi
berpanjang kata, dinda bersedia mendampingi kanda, walaupun di sini di dunia,
semasih kakanda berada di sini”.
Setelah
mendengar perkataan Sang Bidadari demikian itu, merasa gugup dan terhenyak
perasaan Ida Sang Pendeta. Namun di lain pihak merasa gembira perasaan beliau,
seraya berkata: “Duh, permata hati kanda,
l Dewa, dindaku, barangkali memang betul sekali apa yang dinda katakan baru saja,
kanda juga merasa-rasa dengan perihal itu. Namun terasa sangat samar hal itu.
Sekali lagi kanda ingin menyampaikan terimakasih sebesar-besarnya, karena
demikian besar kesetiaan dinda kepada kanda, sampai-sampai dinda mau turun ke
dunia ini, meninggalkan semua keindahan yang ada di Sorgaloka. Ya, kalau
demikian, kanda sanggup, agar kanda bisa bersama dengan dinda sampai kelak di
kemudian hari, ke mana pergi dinda, kanda akan ikut. Namun demikian ada yang
kanda ragukan dalam hati kanda, perihal keadaan dinda akan menetap di dunia ini
bersama kanda, apakah tidak akan membuat ribut di Sorgaloka, ke sana ke mari
para Dewa mencari dinda. Itu yang sangat kanda khawatirkan di hati, agar tidak
karena kanda yang menyebabkan dinda menemui kesulitan, apalagi dinda sudah
demikian berkenan memberikan anugerah kepada kanda”.
Menjawab
Sang Bidadari dengan senyum manis: “Ya
kanda, memang sepantasnya kanda memikirkan keadaan dinda. Namun jangan kanda
merasa khawatir. Sebab dinda sudah memohon pamit kepada Ida Bhatara serta keluarga
dinda semuanya di Sorga, serta dinda sudah mendapatkan ijin dari Ida Bhatara.
Memang benar dinda sedikit bersikeras memohon diri kepada Ida Bhatara, karena
janji Ida Bhatara dahulu, konon kanda hanya sebentar saja diutus turun ke sini
ke dunia.
Namun, sesudah kanda selesai diruwat Ida Sang Nagaraja,
seyogyanya kanda sudah kembali pulang ke Sorga. Memang kanda sudah dapat pulang
sekejap, namun karena keras permohonan Ida Sang Nagaraja, yang sudah berjanji
kepada Ida Danghyang Siddhimantra, ayah kakanda, lagi pula memang kebetulan ada
lain pekerjaan yang harus kanda selesaikan di sini, jadi hambalah yang
dikalahkan. Kanda dikembalikan lagi ke dunia. Karena dinda tidak mau
ditinggalkan oleh kanda sedemikian lama, jadi dinda menghadap Ida Bhatara, memohon
agar dinda diperkenankan turun ke dunia ini, mengikuti perjalanan kanda.
Mungkin permohonan dinda dianggap pantas, itu sebabnya dinda diberi ijin untuk
mohon pamit serta diberikan wara nugraha untuk bisa turun seperti ini ke dunia,
tidak lagi menjalani hal yang sudah lazim, yakni menjelma sejak bayi seperti
kelahiran kanda dahulu. Sebab bila demikian perihalnya, jelas tidak bisa dinda
bertemu dengan palungguh kanda, seperti sekarang”.
Memang
demikian kagumnya beliau Sang Pendeta pada kadibyacaksuannya
wawasan Sang Bidadari, kemudian beliau bertanya kembali: “Jadi, kalau demikian halnya, semua perbuatan Kanda di dunia ini sudah
dinda ketahui ?”
“Ya, semua dinda ketahui”.
Baru
demikian Sang Bidadari berkata, menjadi merah muka Ida Pendeta akibat malunya.
Hal itu diketahui oleh Sang Bidadari. Lalu, seraya tersenyum, Sang Bidadari
melanjutkan: “Namun semua itu merupakan
titah atau kehendak dari Ida Bhatara di Sorgaloka. Kanda hanya melaksanakan.
Kalau kanda tidak dijadikan anak yang durhaka, tidak bisa kanda akan nyupat-meruwat
Ida Sang Nagaraja, sebab tidak lama kanda memenggal ekor beliau yang menjadi
tempat berkumpulnya angkara. Namun Beliau Sang Nagaraja tidak berhutang supata
kepada kanda, karena beliau sudah pula nyupat-menyucikan diri kanda, beliau
melebur badan jasmani – stula sarira kanda yang banyak berisikan dosa, kemudian
diganti oleh beliau dengan badan jasmani baik seperti sekarang “.
Sang
Bidadari berhenti sebentar, kemudian melanjutkan lagi: “Dinda lanjutkan sedikit lagi. Begini, perihal beliau Ki Dukuh
Belatung. Memang beliau sangat sakti matang sekali dalam hal yoga samadhi.
Namun ada kekurangan beliau sedikit. Yaitu beliau sedikit tinggi hati dan
senang pujian. ltu sebabnya beliau bersedia diruwat pada api yang keluar dari
air kencing kanda. Namun sebenarnya, hal itu merupakan kehendak Ida Bhatara,
sebab kalau Ki Dukuh tidak tinggi hati, dan senang pujian, tidak berhasil kanda
akan memperlihatkan kesaktian membakar sampah di hutan dengan memakai air
kencing, yang menjadi jalan Ki Dukuh untuk moksa. Sebab kalau kanda yang
langsung bertindak lebih dahulu, jadi kanda akan dianggap mendahului dan
berlaku kurang senonoh. Kesaktian yang kemudian memunculkan hal yang tidak baik
jelas akan hilang keutamaannya”. Demikian kata-kata Sang Bidadari.
Menjadi
semakin kagum Sang Pendeta. Merah warna paras muka beliau sudah sirna. Beliau
kemudian berkata dengan manis: “Ah,
muda-mudanya mereka yang ada di Sorgaloka, lebih bijaksana jika dibandingkan
dengan yang ada di dunia. Ya, kalau demikian halnya, menjadi tenang dan hening
hati kanda tanpa ganjalan lagi sekarang. Sekarang, kanda temani dinda menuju
Pasraman. Namun jangan sekali disamakan keadaan di sini dengan di Sorga”.
Cepat
berkata Sang Bidadari: “Janganlah itu
lagi disinggung. Bisa bertemu dengan kanda seperti ini saja, dinda sudah sangat
dan lebih bahagia dibandingkan dengan di Sorgaloka”.
Singkat
ceritera, pada akhirnya bersuami-istrilah Ida Sang Pendeta dengan Sang
Bidadari, kemudian mengadakan putera Iaki seorang, tampan, berprabawa cerdas,
mengagumkan sekali walaupun masih bayi, dinamai Ida Wang Bang Tulusdewa.
Semakin
lama, kawasan Bukcabe, Besakih, Tegenan serta Batusesa, semakin subur makmur,
tiada kurang makan dan minum. Itu sebabnya semakin bhakti rakyat di sana kepada
Sang Pendeta. Diceriterakan di kawasan Besakih, ada pendamping Ida Sang
Pendeta, sebagai pemuka warga Pasek di sana yang bernama Ki Pasek Wayabiya.
Beliau sangat bhakti kepada Sang Pendeta, Danghyang Bang Manik Angkeran, karena
anugerah beliau memberikan pelajaran tatwa, pengetahuan serta
kaparamarthan-kebathinan kepada Ki Pasek. Itu sebabnya Ki Pasek menghaturkan
puterinya yang bernama Ni Luh Murdani, seorang wanita yang cantik jelita,
sebagai tanda pengikat bhakti beliau kepada Ki Pasek sekeluarga sampai kelak di
kemudian hari. Beliau Sang Pendeta tidak menolak keinginan Ki Pasek Wayabiya.
Dengan
demikian sudah tiga orang Sang Pendeta memiliki isteri, semuanya menjadi wikuni
– pendeta wanita yang sangat fasih dengan weda mantra serta pula melaksanakan
tapa brata yoga samadhi. Dari isterinya – Ni Luh Murdani, lahir seorang putera
Iaki-laki, yang juga berprabawa agung, tampan, dinamai Ida Wang Bang Wayabiya
atau Ida Wang Bang Kajakauh.
Bagaikan
Brahma, Wisnu, Iswara rupa putra beliau bertiga: Ida Bang Banyak Wide, Ida Bang
Tulusdewa miwah Ida Bang Wayabiya. Singkat ceritera, semua putranya itu
meningkat dewasa. Karena memang putera orang yang bijak, maka ketiga putranya
itu sangat setia dan akrab bersaudara, serta sangat berbakti kepada ayah
bundanya. Semuanya pandai, karena segala yang dikatakan oleh ayah-bundanya
berisikan Kadharman serta Kawicaksanaan. Isi dari Sanghyang Kamahayanikan,
Sanghyang Sarasamuscaya dan Manawa Dharmasastra, sudah ditekuni dan
dilaksanakan. Serta tidak ingkar kepada isi dari Tri Ratna dan Asta Marga
Utama. Serta oleh Sang Pandita, putranya diberikan nasehat mengenai Putra
Sasana dan Tri Guna serta Tri Rna. Pendeknya segala ilmu filsafat yang baik-baik
ditekuni oleh Sang Tiga.
Selain
dengan memberikan nasehat kepandaian, kebijaksanaan kepada para putera itu,
Sang Pendeta juga sering melakukan perjalanan ke desa-desa memberikan nasehat
dan petuah keagamaan serta ilmu kebathinan kepada masyarakat banyak ltu
sebabnya, kelak di kemudian hari beliau dibuatkan sthana-pelinggih di pura-pura
sebagai bukti sujud bhakti masyarakat kepada beliau.
Bersambung
………………………….