IDA
BANG MANIK ANGKERAN BERJUMPA DUKUH SAKTI BELATUNG
Kembali
diceriterakan keberadaan Ida Bang Manik Angkeran di Besakih. Beliau membuat
pasraman di sebelah Utara gua, sekitar 300 depa jaraknya dari Gua itu.
pekerjaan beliau sehari-hari melaksanakan tapa brata yoga samadhi, serta
menjaga kebersihan dan kesucian kawasan Pura Besakih. Tak sekalipun beliau
lalai. Perilaku beliau berbeda benar jika dibandingkan dengan sebelum beliau
wafat dibakar oleh Ida Bhatara Nagaraja. Beliau melaksanakan Kadharmaan,
mengikuti ajaran dan perilaku seorang pendeta pura yang suci. Setiap hari
beliau menggelar Surya Sewana, memuja Sanghyang Parama Wisesa.
Suatu
ketika tatkala hari sukla paksa pananggalan menjelang purnama, beliau bermaksud
untuk membersihkan diri dengan mandi di Toya Sah, Besakih. Setelah membersihkan
diri, berkeinginan beliau berjalan-jalan meninjau kawasan Besakih. Lalu
terlihat oleh beliau seorang Iaki-laki tua sedang bekerja di ladang,
membersihkan padi gaga, membersihkan rumput dan menyiangi. Orang tua itu
bernama Ki Dukuh Belatung yang demikian saktinya, namun tindak-tanduknya
bagaikan anak kecil senang dipuji serta senang pamer. Baru dilihat seseorang
datang ke tempat beliau dan menyaksikan beliau bekerja, keluarlah keisengannya
untuk pamer, sengaja berhenti bekerja kemudian menaruh alat siangnya dan
melompat duduk di atas alat itu seraya mengambil sirih dan melumatkan sirih itu
di atas alat siang tadi.
Pikir Ki
Dukuh ingin supaya yang baru datang menjadi kagum. Namun Sang Bang Manik
Angkeran malahan menjadi sangat jengkel melihat aksi pamer Ki Dukuh, karena
jelas maksudnya untuk mencoba diri beliau. Lalu, dihampirinya Ki Dukuh seraya
berkata: “lh Bapak, kalau begini cara Bapak bekerja, sepertinya bermain-main,
sebanyak apa yang bisa Bapak hasilkan?”.
Lalu
berkata Ki Dukuh sedikit gugup: “Siapa
pula anda yang bertanya? Kok rasanya Bapak tidak jelas tahu?”.
Berkata
Ida Bang Manik Angkeran: “Ah saya ini
Sang Bang Manik Angkeran, putra beliau Mpu Bekung dari tanah Jawa. Namun saya
ini sekarang menghamba kepada Ida Bhatara di Besakih, menjadi tukang sapu”.
Berkata
lagi Ki Dukuh: “Tidak mengerti saya,
kalau demikian halnya. Sebab janggal keberadaan sang brahmana seperti itu. Baru
sekarang saya mendengar orang bekung (tak punya anak) memiliki putera. Dan lagi
ada brahmana menjadi tukang sapu, kalau tidak anda ini brahmana hina”.
Sedikit
marah Sang Bang berkata: “lh Bapak,
jangan berbicara sembarangan! Ayah saya memang bekung, namun karena kesaktian
beliau, berhasil beliau mengadakan putera. Saya ini memang benar putra seorang
Mpu, bukan brahmana hina.
Serta
saya berhak diperintah oleh Ida Bhatara, walaupun pekerjaan yang diperintahkan
itu menyapu, itu juga pekerjaan utama, kalau sudah Ida Bhatara yang
memerintahkan. Sekarang saya balik bertanya. Kakek ini siapa, serta dari
golongan apa ?”
Ki Dukuh
kemudian berkata: “Saya ini bernama Ki
Dukuh Belatung, sebagai penua di desa Bukcabe, namun saya membuat tempat
tinggal di sini”.
Berkata
lagi Sang Bang, masih perasaannya jengkel: “lh
Bapak Dukuh, saya bertanya lagi Itu ada sampah bertimbun akan Bapak
bagaimanakan ? Tidak akan Bapak bersihkan ? “
“Akan
saya bersihkan !”.
“Bagaimana cara Bapak membersihkan ?”
“Akan saya bakar !”
“Apa yang akan Bapak pakai membakar ?”
“Bagaimana cara Bapak membersihkan ?”
“Akan saya bakar !”
“Apa yang akan Bapak pakai membakar ?”
“Wah, ini benar-benar brahmana aneh”.
Ki Dukuh menjawab agak marah, “apa lagi dipakai membakar, kalau bukan api. Lalu kalau
Ida Bagus apa yang dipakai membakar ?”.
“Wah” demikian Sang Bang menjawab seperti mencibir, “kalau Bapak Dukuh masih membakar sampah
dengan memakai prakpak daun kelapa kering jelas tidak benar Bapak Dukuh tahu
dengan falsafah Tri Agni, yang berada di dalam diri sebenarnya. Kalau saya,
melalui air kencing saya saja sampah ini akan terbakar tidak bersisa”
Tatkala
didengarnya kata Ida Sang Bang demikian itu, menjadi terhenyak Dukuh, berdiam
diri, seraya lama termenung, kemudian menghaturkan sembah “Singgih, Ratu Sang Bang, kalau benar seperti perkataan l Ratu, bisa
membakar sampah ini dengan air kencing l Ratu, hamba akan menghaturkan diri,
serta semua milik hamba beserta rakyat, serta pula anak hamba akan hamba
serahkan semuanya kepada Cokor I Ratu”
Usai Sang
Bang mendengar hatur Ki Dukuh, menjadi pulih kembali perasaan beliau. Lalu
beliau berkata perlahan: “Nah, kalau
benar seperti perkataan Bapak saya akan memperlihatkan bukti. Namun agar
semuanya sanggup datang dan hadir serta disaksikan oleh Ida Sanghyang Triyodasa
Saksi”.
“Jangan sekali-kali l Ratu ragu. Memang dari lubuk hati
hamba yang ikhlas tidak akan ingkar dengan janji”. Demikian
hatur Ki Dukuh.
“Nah,
kalau begitu, ke sana Bapak pulang, beritahu sanak keluarga serta rakyat Bapak
agar datang manakala saya memberikan bukti di hadapan Bapak”.
Demikian perjanjian Ida Sang Bang Manik Angkeran.
Setelah
selesai janji itu, Ki Dukuh lalu memberitahukan kepada anak, isteri serta
keluarganya, perihal janjinya kepada Ida Bang Manik Angkeran, serta imbalan
yang dimasukkan ke dalam janji itu sebagai taruhan. Yang mendengar semuanya
sama-sama paham di dalam hatinya menjadi taruhan.
Tersebutlah
pada hari yang telah disepakati, pagi–pagi hari Ida Sang Bang sudah
membersihkan diri dengan mandi di Tirtha Mas, serta kemudian melakukan yoga
samadhi memuja Sanghyang Agni agar memberikan anugrah. Setelah melakukan yoga
dan samadhi, lalu beliau berjalan menuju tempat tinggal Ki Dukuh.
Setelah
dekat dengan tempat Ki Dukuh, nampaknya semuanya lengkap hadir, Ki Dukuh dengan
isterinya, keduanya memakai pakaian putih-putih, ditemani dengan anak dan
kerabatnya, hanya tinggal menunggu kedatangan Ida Sang Bang. Setelah tepat
benar matahari di atas kepala, lalu beliau menuju tempat sampah yang bertimbun,
di sana beliau mengheningkan cipta-mamusti, menyatukan pikirannya, menegakkan
keteguhan batin Iaksana Gunung Mahameru. Tidak berapa lama, matang sudah yoga
beliau, seraya mengeluarkan air kencing di sampah itu. Dan sekejap air kencing
itu menjadi api yang menyala-nyala, berkobar. Terbakar semua sampah kebun di
tempat itu, hampir-hampir terbakar seluruh hutan di sana.
Keadaan
itu dilihat oleh Ki Dukuh serta semua iringannya, sangat kagum mereka pada
kesaktian Ida Sang Bang. Ki Dukuh merasa kalah, namun sekaligus merasa untung,
karena merasa mendapatkan jalan baik untuk pulang ke Sorga Loka. Tatkala api
itu berkobar. saat itu pula Ida Sang Bang Manik Angkeran membelokkan ujung api
itu ke arah timur laut. Lalu beliau berkata kepada Ki Dukuh: “Bapak Dukuh, saya memberi bekal Bapak
dengan ganten. Turuti asap itu ke arah timur laut”
Saat itu
Ki Dukuh menemukan jalan baik seraya melihat ada Meru bertingkat 11 (sebelas).
Ki Dukuh menuju api itu serta mengheningkan cipta dengan sikap angeranasika
mengheningkan cipta dengan melihat hidung, lalu beliau melompat ke
tengah-tengah api yang sedang memuncak kobarannya itu. Ki Dukuh naik moksa
seiring dengan asap yang mengepul tinggi itu serta kemudian tidak nampak lagi.
Keadaan itu diikuti oleh isteri Ki Dukuh yang memakai kerudung dan berkain
putih, kemudian mamusti, selanjutnya melompat juga ke api, sebagai tanda setia
bhakti kepada suami serta berkeinginan juga menemui jalan terbaik menuju Sorga.
Beliau berdua pulang ke Nirwana, melalui Jalan ke Sorga Loka yang utama, serta
Juga berdasarkan sasupatan – penyucian oleh Ida Bang Manik Angkeran, yang telah
menjadi pendeta yang bijak. Sejak saat itu Ki Dukuh Sakti dikenal dengan gelar
Dukuh Lepas atau Dukuh Sorga. Lama kelamaan tempat Ida Sang Bang Manik Angkeran
bersengketa dengan Ki Dukuh Sakti itu dinamai Gumawang,
Sekarang
diceriterakan yang masih hidup. Sesudah Ki Dukuh Sakti meninggal semua milik Ki
Dukuh serta rakyat se kawasan Desa Bukcabe, diserahkan kepada lda Sang Bang,
termasuk putri beliau yang merupakan seorang dara yang bijak, cantik tiada
bandingnya, bernama Ni Luh Warsiki. Kedua beliau itu sama-sama saling
mencintai, disebabkan yang satunya merupakan seorang jejaka yang tampan
bersanding dengan seorang dara yang jelita. Kemudian diselenggarakan Upacara
Perkawinan.
Setelah
upacara selesai, lalu keduanya kembali ke Pasraman di Besakih. Sesampai di
Tegehing Munduk-tempat ketinggian, Ni Luh Warsiki menoleh ke tempat bekas
sampah dibakar, terhenyak beliau, lalu menangis, teringat akan ayah ibunya yang
sudah berpulang. Beliau tidak mau melanjutkan perjalanan sebelum pulih perasaan
beliau. Rakyat beliau kemudian membuatkan tempat beristirahat di sana. Lama
kelamaan tempat itu dikenal dengan nama Munduk Jengis.
Diceriterakan
kemudian rakyat semuanya sangat gembira pada perasaan mereka, disebabkan
sekarang mereka memiliki pujaan yang tampan serta sakti, pintar, bijaksana
serta dibya caksu, memiliki kesaktian bisa melihat kejadian tanpa hadir
langsung.
Setelah
lama beliau berdua bersuami isteri saling mencintai, saling mengasihi maka
lahirlah seorang putra Iaki-laki, rupanya tampan serta memiliki prabawa yang
agung dinamai Ida Wang Bang Banyak Wide.
Bersambung
………………………….
Sumber : www.alangalangkumitir.wordpress.com