IDA
DANGHYANG SIDDHIMANTRA BERPUTRA IDA BANG MANIK ANGKERAN
Diceriterakan
kembali putra Ida Danghyang Angsokanata atau Danghyang Mpu Tantular yang nomor
dua yakni Ida Mpu Bekung atau Danghyang Siddhimantra Beliau bernama Mpu Bekung
karena beliau tidak bisa mempunyai putra. Kemudian beliau bergelar Danghyang
Siddhimantra disebabkan memang beliau pendeta atau Bhujangga yang sakti serta
bijaksana. Beliau menjadi sesuhunan sakti Bhujangga luwih (Junjungan sakti,
pendeta yang bijaksana) di kawasan Bali ini tatkala itu. Perihal gelar Ida Mpu
Bekung menjadi Danghyang Siddhimantra, akan diceriterakan di bawah ini
Diceriterakan,
Ida Mpu Bekung berkeinginan untuk memiliki putra yang akan menjadi penerusnya
kelak. Karena itu beliau melaksanakan upacara homa, memuja Sanghyang
Brahmakunda Wijaya.
Karena kesaktian beliau, dan karena permohonannya itu,
beliau dianugerahi manik besar yang keluar dari api homa tersebut. Kemudian
nampak keluar bayi dari tengah-tengah api pahoman itu. Anak itu kemudian diberi
nama Ida Bang Manik Angkeran. Artinya: Bang dari merah warna api itu. Manik
dari manik mutu manikam yang menjadi anugerah, dan Angkeran dari keangkeran
pemujaan sang pendeta yang demikian makbulnya. Demikian asal mulanya Ida Mpu
Bekung memiliki putera.
Setelah
beliau memiliki putera, sangat sukacita beliau Mpu Bekung, diperhatikan dan
dimanjakan betul putera beliau. Setiap yang diinginkan putranya dipenuhi.
Setelah
Ida Bang Manik Angkeran menginjak remaja, mungkin diakibatkan oleh kehendak
Yang Maha Kuasa, agar supaya Ida Mpu Bekung menemui ganjalan pikiran atau
kesusahan, ternyata kemudian putra beliau sehari-hari pekerjaannya hanya
berjudi melulu, tidak pernah tinggal diam di rumah, selalu berada di tempat
perjudian semata. Di mana saja ada perjudian, di sana Ida Bang Manik Angkeran
bermalam. Diceriterakan perjalanan beliau berjudi tidak pernah menang. Selalu
kalah saja.
Hingga
habis milik ayahnya dipergunakan untuk berjudi. Yang membuat Mpu Bekung duka
cita tiada lain karena putranya tidak pernah pulang ke Griya. itu menyebabkan
resah gelisah perasaan beliau, seraya pergi mencari putra beliau Ida Bang Manik
Angkeran ke desa-desa. Setiap ada orang yang dijumpai di tengah jalan, ditanyai
oleh beliau apakah ada menemui putra beliau yang bernama Ida Bang Manik Angkeran.
Namun semuanya mengatakan tidak pernah mengetahui dan menemuinya.
Diceriterakan,
konon, sudah lama beliau mengembara mencari putra beliau itu tidak juga
dijumpai, sampai akhirnya tiba di kawasan Tohlangkir pengembaraan beliau
Setibanya di Tohlangkir – Gunung Agung, di sana beliau baru merasa lesu lelah
kemudian duduk seraya bersamadi menyatukan pikiran beliau, memuja Dewa seraya
membunyikan genta beliau yang bernama Ki Brahmara .
Karena
keutamaan puja mantra beliau diiringi dengan suara genta beliau Ki Brahmara
yang demikian menakjubkan, menjadi heboh keluar Ida Sanghyang Basukih, seraya
berkata: “Ah Mpu Bekung yang datang, apa
keinginan Mpu, memuja saya ? Segera katakan. agar saya menjadi tahu !”.
Berkatalah Ida Mpu Bekung: “Singgih paduka Sanghyang, hamba memiliki anak seorang tidak pernah
sama sekali pulang, sejak lama hamba mencarinya, namun belum juga ketemu.
Maksud hamba agar dengan senang hati pukulun Sanghyang memberitahu keadaan
sebenarnya, apakah dia masih hidup, atau apakah dia sudah .mati. Kalau misalnya
dia masih hidup agar supaya pukulun Sanghyang sudi memberi tahu, di mana dia
berada”.
Dengan sukacita Ida Bhatara Basukih berkata: “Ah Mpu, hendaknya Mpu jangan bersedih hati,
sebenarnya putra Mpu masih hidup berada di desa-desa, bermalam di sana.
Sekarang saya yang akan mengarad (menarik) Jiwa – putra Mpu, agar segera pulang
kembali. Namun, Mpu saya minta sarinya susu lembu, sebagai imbalan saya
mengarad putra sang Mpu”. Demikian wacana Ida Bhatara Nagaraja, seraya
meminta Ida Mpu Bekung agar pulang ke rumahnya .
Singkat ceritera. pulanglah Ida Mpu memohon diri dari
Tohlangkir. Tidak diceriterakan perjalanan beliau, maka sampailah beliau
kembali di rumahnya di Griya Daha, dan dilihatnya sang putera telah berada di
rumah. ltu sebabnya sangat sukacita beliau Mpu Bekung, seraya berkata: “Duh, putraku Sang Bang, dengarkanlah apa
yang ayah katakan sekarang. Jangan lagi ananda mengulangi perbuatan yang sudah–sudah.
Ayah tidak sama sekali melarang ananda untuk bermain judi, namun agar ananda
ingat juga dengan rumah Ananda. Payah Ayah mencari ananda keluar masuk
desa-desa”.
Kemudian
berkatalah putranya: “Singgih palungguh
Mpu, ayahandaku, janganlah sekali-kali palungguh Mpu marah serta duka ananda
sudah menginjak dewasa sejak dahulu, ananda tidak pernah sama sekali berani
ingkar, karena ananda ingin sekali dengan keberadaan diri sebagai seorang putra
Brahmana”. Demikian kata putranya Sang Bang Manik Angkeran.
Setelah
usai Ida Mpu Bekung memberikan nasihat kepada putranya, ingat beliau kepada
permintaan Ida Bhatara Naga Basukih yang menginginkan susu lembu.
Pada hari
yang baik. lengkap dengan gentanya, beliau melakukan perjalanan menuju
Tohlangkir. Sesampainya di Tohlangkir, kemudian beliau mempersiapkan diri dan
melakukan yoga semadi memuja Ida Sanghyang Nagaraja seraya membunyikan genta
beliau. Karena kemakbulan weda mantra beliau memuja Ida Sanghyang Naga raja,
segera Ida Bhatara keluar seraya bersabda: “Ah,
Mpu Bekung yang datang, Apa keinginan sang Mpu datang lagi?”.
Kemudian
berkatalah Ida Mpu Bekung: “Singgih
pukulun Sanghyang, hamba menghadap pada paduka Bhatara, bermaksud menghaturkan
sarinya susu, sesuai dengan keinginan Sanghyang. Anak hamba sudah ketemu, ada
di rumah”. Tatkala didengarnya kata-kata Mpu Bekung seperti itu, sangat
sukacita perasaan Ida Bhatara Basukih seraya berganti rupa menjadi Nagaraja
Agung, kemudian meminum sarinya susu, sampai beliau kenyang.
Setelah
beliau kenyang meminum susu lembu itu, seraya berbalik, beliau mengeluarkan
emas, saat itu diminta Ida Mpu Bekung agar mengambil emas itu.
Singkat
ceritera, setelah beliau mengambil emas itu yang kemudian dibungkus sebesar
kelapa besarnya, lalu beliau memohon diri kepada Ida Sanghyang Basukih Tidak
diceriterakan perjalanan Ida Mpu Bekung, akhirnya tiba jugalah beliau di Griya
Daha seraya membawa emas. Diketahui emas itu oleh putranya. Ida Bang Manik
Angkeran yang gencar bertanya, meminta kepada ayahandanya agar diberi tahu di
mana memperoleh emas itu
Ida Mpu
Bekung sangat merahasiakan perihal kepergian beliau mendapat emas itu. Putra
beliau tetap saja gencar mencari tahu. Lalu Ida Mpu berkata kepada putranya. “Aduh ananda, jangan hendaknya ananda gencar
bertanya seperti itu akan perihal ayah mendapat emas ini. Kalau ada keinginan
ananda untuk mengambil, Ayahanda berikan”. Walaupun demikian kasih sayang
beliau kepada putranya, tetap saja Sang Bang memohon kepada ayahandanya untuk
diberi tahu di mana memperoleh emas itu Karena tidak sampai hati dan rasa kasih
sayang yang amat sangat, lalu Ida Mpu memberitahukan perihal beliau mendapatkan
harta itu.
Karena
sekarang sudah memiliki emas, maka pergilah Ida Bang Manik Angkeran bermain
judi. Mungkin memang sudah menjadi kehendak Yang Maha Kuasa, sehari-harinya
beliau selalu kalah berjudi. Akhirnya tidak sampai satu bulan habislah sudah
emas yang diberikan ayahandanya dijual, dipakai modal di tempat perjudian.
Karena
keadaannya demikian, lalu beliau berpikir keras, dan kemudian Ingat beliau pada
perjalanan ayahandanya mendapatkan emas itu, yang merupakan anugerah dari
Bhatara di Tohlangkir. Segera beliau pulang, tetapi secara sembunyi–sembunyi
agar tidak diketahui ayahandanya, beliau bertolak menuju Tohlangkir seraya
membawa susu lembu, serta genta milik ayahandanya, Ki Brahmara.
Tidak
diceriterakan perjalanannya, sampailah beliau di Tohlangkir, di depan gua. Lalu
beliau duduk mengheningkan cipta, memuja Dewa, seraya membunyikan genta.
Rupanya
pemujaan beliau yang khusuk, serta diiringi dengan bunyi genta yang Utama itu,
membuat geger, keluar Bhatara Naga Basukih dari gua itu seraya berkata “Ah siapa anda ini datang, segera katakan
!”.
Segera Ida
Bang Manik Angkeran menyembah: “Singgih
paduka Sanghyang, hamba bernama Sang Bang Manik Angkeran. Hamba mengikuti jalan
Ayahanda hamba, menghaturkan sarinya susu lembu ke hadapan paduka Sanghyang”. Demikian
hatur beliau. Karena demikian, sangat sukacitalah perasaan Ida Bhatara Basukih.
Lalu diminumlah susu itu, setelah berganti rupa menjadi ular naga besar
berwibawa, seraya meminum susu itu. Seusai meminum susu itu, bersabdalah beliau
kepada Ida Bang Manik Angkeran: “lh, Sang
Bang, sekarang apa yang kamu inginkan, apapun yang ananda minta akan kuberikan
.”
Berkatalah
Ida Bang Manik Angkeran: “Singgih paduka
Bhatara, hamba bermaksud untuk memohon modal, nista sekali hamba berjudi,
selalu kalah setiap hari “.
Saat itu
Ida Bhatara Basukih mengambil emas, bagaikan sebutir kelapa besarnya. diberikan
kepada Ida Bang Manik Angkeran, seraya bersabda: “Ambillah emas ini, segera ananda pulang, poma, poma”. Lalu diambil
emas itu, disertai sembah bakti sekaligus memohon pamit ke hadapan Ida Bhatara
Nagaraja.
Singkat
ceritera. tibalah Ida Bang Manik Angkeran kembali di rumah di Griya Daha,
menyimpan genta saja, lalu beliau pergi lagi untuk bermain judi. Atas kehendak
Hyang Widhi, tidak sampai satu bulan, habis juga modalnya, itu sebabnya kembali
beliau mengelana, berhutang di perjudian tidak dapat, meminjam tidak diberi.
Karena itu, lalu beliau mengambil lagi genta milik ayahandanya, seraya mencari
sarinya Susu lembu, dan menyengkelit pedang yang bernama Ki Gepang, lalu segera
menuju Tohlangkir.
Setibanya
beliau di Tohlangkir, lalu beliau duduk seperti yang dilakukan sebelumnya,
mengheningkan cipta, memuja Dewa, serta membunyikan gentanya. Karena genta itu
betul-betul genta utama, gegerlah Ida Sanghyang Basukih ke luar guanya seraya
bersabda: “Ah Sang Bang Manik Angkeran
kiranya yang datang. Datang lagi ananda membawa susu. Apa lagi permintaanmu,
katakan, semaumu akan kuberikan”.
Karena
kewibawaan Ida Bhatara Basukih demikian mempesona dan menggetarkan perasaan,
menjadi tak enak perasaan Ida Sang Bang, lalu mengatakan tidak memohon apa-apa.
Karena demikian kata Ida Sang Bang, lalu Ida Bhatara berganti rupa kembali
menjadi ular naga yang besar, seraya meminum susu lembu tersebut Setelah
menyantap susu lembu itu, Ida Bhatara kembali ke gua . Karena beliau berbadan
panjang, ketika bagian kepala beliau sudah tiba di tempat peraduan, maka bagian
ekor beliau masih berada di luar gua. Dilihat oleh Ida Bang Manik Angkeran ekor
Ida Bhatara menyala karena di tempat itu terdapat intan besar bagai ratna mutu
manikam beralaskan emas dan mirah yang menyala gemerlapan.
Ketika
itulah muncul rasa angkara loba Ida Bang Manik Angkeran, disusupi oleh niat
tamak untuk memiliki permata itu. Lalu beliau menghunus pedang Ki Gepang yang
dibawanya segera memenggal ekor Ida Sanghyang Nagaraja, sehingga terputus mata
intan yang ada di bagian ekor yang segera diambil dan dilarikan oleh Ida Manik
Angkeran.
Karena
demikian tingkah Sang Bang Manik Angkeran, tak terkira murka Ida Bhatara
Nagaraja, sebab merasa ekor beliau terluka, lalu beliau kembali bergerak ke
luar gua. Dilihat oleh beliau busana beliau dilarikan oleh Ida Bang Manik
Angkeran.
Segera
beliau menyemburkan api, yang mengikuti arah perjalanan Ida Bang Manik Angkeran
yang kemudian terbakar habis menjadi abu. Tempat itu belakangan bernama Cemara
Geseng dan menjadi lokasi Pura Manik Mas Besakih. Sementara itu permata milik
Ida Bang Manik Angkeran ditempatkan sebagai pusaka junjungan di Pura Dalem
Lagaan, Bebalang, Bangli.
Diceriterakan
Ida Mpu Bekung gundah perasaan beliau, karena putranya tidak pernah pulang ke
rumah. Desa-desa diselusuri mencari putranya, namun tiada juga ditemukan.
Segera beliau mengheningkan cipta. Karena kesaktian beliau, terlihat oleh
beliau putranya sudah menjadi abu. Segera beliau pergi menuju Bali, Besakih
yang ditujunya, berkehendak mengikuti perjalanan putranya. Tidak diceriterakan
di jalan tibalah beliau di Besakih. Di sana beliau melihat onggokan abu,
sementara buah genta berada di sebelah abu itu. Segera diketahui dengan jelas,
bahwa genta itu adalah milik beliau yang bernama Ki Brahmara. Jelas sudah abu
itu merupakan jasad putranya. Di sana beliau kemudian menumpahkan rasa
duka-citanya, seraya berpikir-pikir, jelas meninggalnya Ida Bang Manik Angkeran
disebabkan perbuatannya yang tak terpuji, disembur api oleh Ida Sanghyang
Nagaraja. Kemudian diambilnya genta Ki Brahmara yang sakti itu.
Karena
sudah jelas diketahui, maka beliau kemudian melanjutkan perjalanan berkehendak
untuk menghadap Ida Sanghyang Basukih. Setibanya di depan gua, seperti
sebelumnya, beliau kemudian duduk melakukan pemujaan utama memohon ke hadapan
Ida Sanghyang Basukih.
Lama sudah
beliau melakukan pemujaan. Lama beliau menunggu, tidak juga keluar Ida
Sanghyang Basukih, disebabkan demikian besar amarahnya, ingat diperdaya oleh
suara genta.
ltu
sebabnya beliau Mpu Bekung melanjutkan lagi pujastutinya dengan mengujarkan
Asta Puja, Basukih Stawa dan Utpeti, Stiti Mantra diiringi dengan suara genta
beliau. Karenanya, barulah Ida Bhatara keluar dan dilihatnya Ida Mpu ada di
sana yang kemudian merangkul, seraya menghaturkan sembah panganjali agar Ida
Bhatara memberikan anugrah dan berkata: “Om paduka Bhatara, ampunilah anak
hamba. Tahu betul hamba akan perbuatan anakku yang demikian tak berbudi dan tak
terpuji. Bila mana berkenan, sudilah Bhatara menceriterakan perbuatan anak
hamba itu.
Lama Ida
Bhatara berdiam diri. Mukanya cemberut, menunjukkan kekesalan perasaannya yang
tak terhingga. Namun, karena Ida Sang Mpu sudah memohon maaf dengan tulus dan
suci, maka Ida Bhatara berkata perlahan. Menceriterakan segala perbuatan yang
dilakukan Ida Sang Bang Manik Angkeran yang mengatakan diutus oleh Sang Mpu
untuk menghaturkan susu lembu, sampai akhirnya dihanguskan menjadi abu oleh
beliau.
Mana kala
Ida Mpu mendengar ceritera Ida Bhatara, meleleh air mata Ida Sang Mpu Bekung,
dan sesudah Ida Bhatara selesai bersabda, beliau kemudian kembali menghaturkan
sembah seraya berkata: “Singgih pukulun
paduka Bhatara, demikian memang dosa anakku itu, namun rupanya dia sudah menjalani
kematian, habis sudah dosanya. Inggih, hamba sekarang memohon anugerah pukulun
Bhatara, sudilah kiranya paduka Bhatara menghidupkan kembali Manik Angkeran,
karena dialah anak hamba satu-satunya, sebagai pewaris keturunan yang akan
melanjutkan keberadaan hamba kelak. Bila mana dia nanti hidup kembali, hamba
akan menyerahkan dirinya kepada paduka Bhatara, agar menghamba di sini sampai
kelak kemudian hari”.
Mendengar
hatur Ida Sang Mpu Bekung sedemikian itu, merasa sedikit malu Ida Bhatara
seraya bersabda: “Ah, Sang Mpu, bila
demikian permintaanmu, aku dengan suka rela menghidupkan anakmu, namun agar
sudi kiranya Sang Mpu menyambung kembali ekorku”.
Lalu
menyembah Mpu Bekung: “Singgih paduka
Sanghyang, bila demikian keinginan paduka hamba bersedia untuk menyambung
kembali ekor paduka Bhatara: Namun, sebelumnya, maafkanlah hamba berani
berhatur sembah bila mana paduka Bhatara berkenan, permata intan yang
sebelumnya berada di ekor paduka, sebaiknya ditempatkan saja di bagian mahkota
paduka Bhatara, karena akan nampak sangat maha utama, dan pula mereka yang
jahat tidak akan tergoda untuk ingin memilikinya Dan juga bila mana masih di
bagian ekor, di samping terlihat nista, juga membuat paduka Bhatara tidak bisa
terbang karena keberatan di bagian ekor”.
Demikian
sukacita perasaan Ida Sanghyang Nagaraja tatkala mendengar hatur Ida Mpu
Bekung. Setelah usai bertemu wirasa, lalu Sang Mpu melaksanakan yoga samadhi
menghaturkan puja mantra, menyatukan batin beliau memuja Ida Bhagawan
Wiswakarma sebagai Dewanya sangging dan undagi (pekerja khusus bangunan
tradisional) di Surga.
Seusai
sempurna pujastuti serta permohonan beliau, segera beliau membuat gelung
mahkota, dengan hiasan candi kurung, garuda mungkur, dengan anting-anting,
bergundala dan memakai sekar taji. Demikian indahnya memang kalau dilihat.
Singkat
ceritera, selesai sudah gelung agung itu, kemudian dipakai oleh Ida Bhatara.
Memang, demikian menakjubkan. Nampak semakin mempesona prabawa Ida Bhatara, dan
juga beliau sekarang bisa terbang. Demikian sukacita hati Ida Bhatara Nagaraja.
Karena
itu, segera pula Ida Bhatara menghidupkan jasad Sang Bang Manik Angkeran,
didahului dengan pujastuti weda mantra. Perlahan, Ida Sang Bang Manik Angkeran
bangun, seperti baru habis tidur layaknya, hidup seperti semula, dan ketika
sadar, beliau cepat lari. Tempat itu kemudian bernama Pura Bangun Sakti.
Segera Ida
Sang Bang diikuti oleh ayahandanya, kemudian dipegang dan diajak untuk
menghadap Ida Bhatara Hyang Basukih. Sesuai perjanjian, maka Ida Sang Bang
Manik Angkeran dihaturkan kepada Ida Bhatara untuk mengabdi di Basukih sampai
kelak di kemudian hari.
Demikian
suka citanya beliau berdua, karena semuanya sudah berhasil, disebabkan
kesaktian beliau masing-masing. Ida Sang Nagaraja sudah menghidupkan kembali
Ida Sang Bang Manik Angkeran. Juga Ida Mpu Bekung demikian saktinya bisa
menyambung kembali ekor Ida Bhatara Nagaraja. Ida Mpu Bekung kemudian
menghaturkan sembah terimakasih kepada Ida Sanghyang Basukih. Ida Sanghyang
Basukih kemudian bersabda: “Duh, Mpu
Bekung, memang demikian saktinya anda ini. Pantas anda bergelar Siddhimantra.
demikian sakti dan makbulnya japa – mantra anda. Sejak sekarang, tidak lagi Mpu
Bekung nama anda, namun Danghyang Siddhimantra nama anda sang pandita. Silakan,
pulanglah sahabat karibku, semoga Dirgahayu, panjang usia anda !” lalu Ida
Sanghyang Nagaraja terbang menuju Surga Loka. Sejak saat itu Ida Mpu Bekung
bergelar Danghyang Siddhimantra.
Sebelum
Ida Danghyang Siddhimantra kembali ke Griya Daha, tidak lupa beliau memberikan
petuah kepada putranya Ida Sang Bang Manik Angkeran: ” Uduh mas juwita permata hati ayah, engkau anakku Manik Angkeran.
Ananda akan ayah tinggal sekarang ini. Sebab Ayahanda akan kembali ke Jawa. l
Dewa akan ayahanda haturkan kepada Ida Sanghyang Basukih, sesuai dengan janji
ayah kepada Ida Bhatara. Mungkin ananda belum jelas tahu perihal keberadaan
ananda sendiri yang sebelumnya dihanguskan oleh Ida Bhatara sampai habis
menjadi abu, disebabkan karena marah beliau tak terhingga, perilaku ananda
sungguh tak terpuji, memenggal ekor Ida Bhatara. Lalu ayahandamu ini memohon
kepada Ida Bhatara, agar beliau dengan senang hati menghidupkan kembali ananda,
dengan janji, kalau ananda bisa hidup kembali, ananda akan ayah haturkan kepada
Ida Bhatara untuk mengabdi di sini di Besakih. Selain itu, kalau ananda kembali
ke Jawa, jelas perilaku ananda akan kembali seperti yang sudah-sudah, sebab
lingkungan ananda di sana sudah demikian rupa. Diamlah dan tinggal ananda di
sini, ayahanda akan kembali ke Jawa. Jangan ananda salah terima dan salah paham,
sebab sebenarnya, perihal perasaan ayahanda dan kasih sayang ayahanda kepada
ananda, tidak pernah kurang sejak dahulu sampai kapanpun. Ada petuah ayahanda
ini yang sangat Penting, agar diteruskan dharma bakti ananda ke hadapan Ida
Bhatara di sini di Tohlangkir, Besakih. Jangan sampai menurun, sebab kalau
demikian, menjadi ingkar ayahanda dengan janji ayahanda, sangat nista disebut
orang. Kemudian ada lagi nasehat ayahanda, sebab ananda sudah pernah pralina
atau wafat menjadi abu kemudian disucikan menjadi hidup kembali, hidup untuk
keduakalinya, berdwijati namanya, sekarang ananda berwenang menjadi pendeta,
agar ananda senantiasa menyelenggarakan, mengatur dan memimpin penyelenggaraan
segenap upakara dan upacara di sini di Besakih. Juga agar ananda mengatur semua
masyarakat umat di seluruh Bali, agar semakin meningkat bhakti dan sradha
imannya, kepada Ida Bhatara serta kepada sthana Ida Bhatara semuanya”.
Ida Sang
Bang Manik Angkeran mengiakan semua yang disampaikan oleh ayahandanya. Di
samping petuah tersebut, Ida Sang Bang juga diberikan pengetahuan suci yang
memberikan wewenang Ida Sang Bang untuk mengucapkan weda mantra, menyelesaikan
upacara, di samping diberikan pengetahuan kerohanian daya kebathinan yang
tinggi.
Seusai Ida
Sang Bang Manik Angkeran mendapat pengetahuan suci dan kerohanian, beliau
ditinggalkan oleh ayahandanya yang kemudian melakukan perjalanan pulang kembali
ke Jawa.
Tidak
diceriterakan perjalanan beliau, tibalah beliau di tanah genting – tempat
perbatasan antara Jawa dan Bali. Di sana beliau termenung-menung. teringat
beliau akan kelakuan putranya yang tak senonoh. ltu sebabnya timbul
kekhawatiran dalam perasaan beliau. seandainya Ida Sang Bang Manik Angkeran
kembali lagi ke Jawa, sehingga beliau berkeinginan mengupayakan bagai mana caranya
agar putranya tidak bisa lagi kembali, sebab janji beliau sudah demikian pasti.
ltu sebabnya kawasan itu akan diubah agar menjadi laut. Di sana kemudian beliau
menggelar yoga semadinya. Menyatukan batinnya, memuja Bhatara di pegunungan
agar berkenan dan tidak beliau menjadi kualat. Sudah bersatu pikiran beliau dan
juga sudah mendapatkan ijin anugrah, lalu tanah genting itu digores dengan
tongkat beliau. Bergetar dengan dahsyat kawasan Bali dan Jawa, lindu dan gempa
terjadi, kilat dan halilintar bertubi–tubi ! Terpisah dan putuslah kawasan Bali
dengan Jawa ! Laut memisahkan keduanya. Lalu laut itu dinamakan dengan Segara
Rupek. Tidak terhingga sukacita Dang Hyang Siddhimantra. karena yakin putranya
tidak akan bisa kembali lagi ke Jawa. Lalu beliau kembali pulang ke Griya Daha
di Jawa.
Bersambung
………………………….
Sumber
: www.alangalangkumitir.wordpress.com