Brahmana Keling
Pada jaman dahulu di suatu
daerah yang bernama Keling ada seorang pendeta yang sangat termashyur karena
pandangannya tentang kebenaran yang utama yang mempunyai “Ilmu Kelepasan
Jiwa”. Ia disebut sebagai Brahmana Keling karena beliau berasal dari
sebuah daerah yang bernama Keling di Jawa Timur. Beliau juga mendirikan
pesraman atau pertapaan di lereng Gunung Bromo.
Brahmana Keling adalah
putra dari Danghyang Kayumanis, cucu dari Empu Candra, kumpi dari Mpu Bahula
dan cicit dari Mpu Beradah. Tetapi sampai saat ini belum ada yang tahu nama
Beliau yang sebenarnya, karena beliau berasal dari daerah Keling maka beliau
dipanggil dengan sebutan Brahmana Keling.
Perjalanan-Perjalanan Brahmana Keling
Dalam buku Babad Sidakarya
karangan I Nyoman Kantun, S.H. MM dan Drs. I Ketut Yadnya terbitan PT Upada
Sastra pada tahun 2003, diceritakan bahwa Brahmana Keling melakukan perjalanan
ke Madura, Bali, dan terakhir menuju Badanda Negara atau Sidakarya sekarang.
Berikut ini adalah riwayat
perjalanan beliau.
a.
Perjalanan Brahmana Keling
ke Madura
Konon kerajaan Madura pernah lalai untuk menunaikan Saji
Pepajegan yang merupakan upacara tarian persembahan kepada para
Leluhur. Karena raja pada waktu itu kurang yakin terhadap akibat yang
ditimbulkan apabila upacara tidak dilaksanakan, dan juga rakyat Madura kurang
memperhatikan serta melupakan tradisi warisan dari generasi sebelumnya,
akhirnya terjadi kekacauan di Kerajaan Madura. Mendengar peristiwa itu,
Brahmana Keling lalu pergi ke Madura. Sesampainya beliau di Madura, Raja
menjamunya selayaknya menjamu seorang Brahmana. Saat itu, beliau banyak
memberikan nasihat-nasihat terutama untuk Sang Raja agar upacara yang Saji
Pepajegan dilaksanakan dengan baik demi kesejahteraan rakyat. Awalnya
Raja tidak percaya terhadap nasihat-nasihat yang diberikan oleh Brahmana Keling
kepadanya, tetapi Brahmana Keling tidak putus asa begitu saja karena Beliau
tahu bahwa Sang Raja selalu dihantui oleh rasa bimbang.
Supaya Sang Raja merasa yakin, Akhirnya Brahmana Keling
memperlihatkan dan menunjukkan kekuatan batinnya dengan cara Pohon pisang yang
sudah layu dan kering Beliau hidupkan lagi sehingga menjadi hijau dan subur
kembali, Benang yang semula berwarna hitam dalam sekejap beliau rubah menjadi
berwarna putih, dan hal-hal aneh lainnya yang Brahmana Keling tunjukkan pada
Raja agar Sang Raja percaya padanya.
Akhirnya Sang Raja terperangah dan terpesona melihat keajaiban
yang Brahmana Keling tunjukkan. Sejak saat itu, Sang Raja sangat taat
menjalankan petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Brahmana Keling, beliau juga
ditunjuk untuk memimpin upacara di Madura. Setelah itu, upacara-upacara seperti
tari saji pajegan berlangsung dengan lancar dan sukses. Keadaan kerajaan
kembali aman dan tenteram. Oleh karena itu di Madura beliau dijuluki sebagai Brahmana
Wasaka yang kira-kira berasal dari kata Wacika yang
berarti ucapan atau perkataan dan Satya yang berarti kesatria
atau kebenaran. Secara umum Brahmana Wasaka berarti apa yang beliau ucapkan
selalu dapat dibuktikan kebenarannya (sidhi ngucap sidhi mandi). Beliau
selanjutnya kembali ke Jawa Timur.
b.
Perjalanan Brahmana Keling
ke Bali
Sekembalinya beliau ke Jawa, dengan perjalanan yang cukup
panjang dan melelahkan, sampailah beliau di sebuah Desa bernama Desa Muncar. Di
sini beliau beristirahat sejenak sambil menikmati keindahan panorama selat
Bali. Tiba-tiba muncul ayahnya (Dang Hyang Kayumanis) yang bercerita panjang
lebar tentang keberadaannya di Nusa Bali. Ayah beliau juga bercerita tentang
kerajaan Gelgel yang dipimpin oleh Dalem Waturenggong dan didampingi oleh Dang
Hyang Nirartha sebagai penasehat dalam bidang keagamaan (kerohanian) yang akan
melaksanakan upacara Eka Dasa Rudra di Pura Besakih.
Setelah pertemuan Dang Hyang Kayumanis
dan Brahmana Keling, Sang Ayah melanjutkan perjalanan ke Pesraman di Jawa Timur
(Daerah Keling) sedangkan sang Anak melakukan perjalanan ke pulau Bali menuju
Kerajaan Gelgel.
Tak ada yang tahu tentang bagaimana
perjalanan Brahmana Keling ke Bali. Sesampainya beliau di Gelgel, Kerajaan
sedang dalam kondisi sepi dan beliau disapa oleh beberapa pemuka masyarakat
yang ada di Kerajaan. Beliau tiba dalam kondisi lesu, lusuh, dengan pakaian
yang kumal dan kotor. Ketika beliau ditanya tentang tujuan beliau ke Gelgel,
beliau menjawab bahwa beliau ingin menemui saudaranya yaitu Sang Prabu Dalem
Waturenggong dan Dang Hyang Nirartha. Karena orang yang ingin ditemui oleh
Brahmana Keling tidak ada di Kerajaan, maka beliau dipersilahkan oleh pemuka
masyarakat yang menyapa beliau untuk menuju ke pura Besakih sebab mereka sedang
mempersiapkan segala sesuatu untuk melaksanakan upacara Eka Dasa Rudra. Sesampainya
beliau di pelataran Pura Besakih, beliau disapa oleh masyarakat yang sedang
ngayah dan ditanyakan maksud kedatangan beliau. Brahmana Keling menjawab bahwa
beliau ingin bertemu saudara beliau yaitu Dalem Waturenggong dan Dang Hyang
Nirartha. Masyarakat tadi tidak percaya terhadap jawaban Brahmana Keling yang
mengaku-ngaku sebagai saudara dengan Dalem junjungannya, bahkan masyarakat ini
tersinggung karena menurutnya tidak mungkin Dalem junjungannya memiliki saudara
yang penampilannya seperti pengemis. Tetapi Brahmana Keling tetap bersikeras
dan beliau berhasil masuk ke dalam pura. Akhirnya mungkin karena kelelahan,
Brahmana Keling langsung menuju ke pelinggih Surya Chandra dan duduk
beristirahat untuk melepas penatnya.
Tak berselang berapa lama, datanglah Sang Prabu Dalem
Waturenggong, begitu beliau menoleh ke atas pelinggih Surya Chandra alangkah
terkejutnya beliau. Karena murkanya beliau langsung memanggil prajurit untuk
menanyakan siapa gerangan orang yang telah berani duduk di atas pelinggih Surya
Chandra. Prajurit menjawab bahwa orang itu (Brahmana Keling) memang dari tadi
memaksa untuk masuk dan beliau mengaku sebagai saudara Sang Prabu dan Dang
Hyang Nirartha. Tetapi tidak ada yang tahu mengapa tiba-tiba orang itu sudah
ada di atas pelinggih Surya Chandra.
Bertambah murkalah Sang Prabu setelah mendengarkan apa yang
disampaikan oleh prajurit tersebut. Sang Prabu lalu memerintahkan Rakyat dan
semua pengayah untuk mengusir orang yang disangka gila tersebut. Karena saking
mulianya hati sang Brahmana, beliau tidak melawan sedikitpun saat diusir oleh
rakyat dan pengayah karena Sang Prabu sudah tidak mengakui beliau sebagai
saudara lagi. Sebelum Brahmana Keling meninggalkan Besakih, beliau mengucapkan
kutukan yang berbunyi “wastu tata astu karya yang dilaksanakan di pura
Besakih ini tan Sidakarya (tidak sukses), bunga kekeringan, rakyat kegeringan
(diserang wabah penyakit), sarwa gumatat gumitit (binatang kecil/hama) membuat
kehancuran (ngerebeda) di seluruh jagat (bumi) Bali.”
Begitulah ucapan yang keluar dari mulut Brahmana Keling yang
bagaikan suara petir di langit yang cerah. Semua masyarakat menyaksikan dengan
mulut menganga, terpaku tak berkutik sedikitpun. Lalu Brahmana Keling
meninggalkan Besakih menuju Barat Daya.
c.
Perjalanan Brahmana Keling
ke Badanda Negara (Sidakarya sekarang)
Singkat cerita sampailah
Brahmana Keling di Badanda Negara yaitu di Desa Sidakarya sekarang. Badanda
Negara berasal dari kata Badanda yang berarti Padanda atau pandan (pohon
berduri) dan Negara berarti Wilayah, maka Badanda Negara berarti Pandan Negara
atau suatu wilayah dimana banyak tumbuh pohon pandan dan sejenisnya. Di pesisir
selatan kerajaan Badung banyak ditumbuhi dengan pohon pandan, jeruju, serta
bakau, oleh karena itu daerah pesisir ini lumrah disebut dengan Badanda
Negara atau Pandan Negara. Di sana beliau membuat pesanggrahan / pesraman
sebagaimana layaknya seorang Brahmin.
Situasi Kerajaan Gelgel dan
Seluruh Jagat Bali
Sepeninggal Brahmana Keling dari Pura
Besakih, tidak berapa hari suasana jagat Bali terutama kerajaan Gelgel dan
sekitarnya berangsur-angsur menampakkan situasi yang tidak mengenakkan. Seperti
ucapan Sang Brahmana Keling dalam kutukannya, semua pohon-pohonan yang berguna
bagi pelaksanaan karya Eka Dasa Rudra di Besakih seperti kelapa, pisang, padi,
sayuran, dan sebagainya semua layu. Buah-buahan berguguran, wabah dan hama
seperti ulat, tikus, dan lain-lain semakin banyak dan ganas menyerang tanaman-tanaman
petani. Bumi seketika menjadi kering kerontang, wabah penyakit (gerubug)
menyerang penduduk. Terjadi pertengkaran antar pengayah yang disebabkan oleh
hal-hal yang sepele, hingga keadaan menjadi kacau balau.
Oleh karena itu,
pelaksanaan karya urung dilaksanakan, karena sudah tidak memungkinkan untuk
diteruskan. Melihat kenyataan seperti itu, Dang Hyang Nirartha diperintahkan
oleh Dalem Waturenggong melakukan upacara pembasmian, bahkan dengan
dilakukannya tapa semadi oleh Dang Hyang Nirartha seakan-akan tidak mempan,
bahkan terkesan masalah semakin menjadi-jadi. Semua keadaan serba menyedihkan.
Akhirnya Ida Dalem sendiri yang turun tangan. Pada suatu malam Dalem
Waturenggong mengadakan Tapa Semadi di Pura Besakih. Beliau mendapatkan pewisik
dari ida Betara yang berstana di Pura Besakih, bahwa Dalem Waturenggong telah
berdosa karena mengusir saudaranya sendiri secara hina dan hanya Brahmana
Kelinglah yang dapat mengembalikan keadaan seperti sedia kala.
Setelah
mendapatkan petunjuk berupa pawisik, esok harinya Dalem Waturenggong langsung
memanggil perdana menterinya yaitu Arya Kepakisan (Gusti Agung Petandakan)
serta memanggil para patih lainnya seperti Arya Pengalasan, Arya Ularan, dan
lainnya termasuk para punggawa untuk mengadakan siding. Dalam Sidang tanpa
agenda tersebut, diputuskan agar menjemput Brahmana Keling yang pernah diusir
sebelumnya secepatnya karena hanya beliau yang dapat mengembalikan keadaan
seperti sedia kala. Dikatakan juga bahwa beliau (Brahmana Keling) sedang berada
di Badanda Negara yaitu di pesisir selatan Kadipaten Badung. Pada waktu itu
yang menjadi Anglurah (Raja) di Badanda Negara (Badung) adalah I Gusti Tegeh
Kori dari Dinasti Tegeh Kori.
Singkat cerita berangkatlah rombongan yang
ditugaskan untuk menjemput Brahmana Keling ke Badanda Negara. Pertama-tama
mereka menuju Kerajaan Tegeh Kori untuk meminta petunjuk lebih lanjut.
Akhirnya mereka diarahkan untuk menuju Pandan Negara (Pesisir
Selatan Kerajaan Badung yang menjadi Sidakarya sekarang). Sesampainya rombongan
di Pandan-Negara, bertemulah mereka dengan Brahmana Keling. Mereka langsung
menghaturkan sembah sujud mohon ampun sekaligus menceritakan tentang maksud
kedatangan mereka menghadap beliau. Sesuai dengan perintah Dalem Waturenggong,
Brahmana Keling diminta untuk bersedia datang kehadapan Dalem Waturenggong
sesegera mungkin. Sesudah mereka bercerita, Brahmana Keling mempersilahkan
mereka untuk kembali ke Kerajaan Gelgel lebih dulu, Brahmana Keling akan
menyusul kemudian.
Dalam buku Babad Sidakarya karangan I Nyoman
Kantun, S.H. MM dan Drs. I Ketut Yadnya terbitan PT Upada Sastra pada tahun
2003, diceritakan karena Brahmana Keling tidak dianggap lagi sebagai saudara
oleh Dalem Waturenggong, bahkan Brahmana Keling diusir dengan cara yang hina,
maka dikutuklah Kerajaan Gelgel yang akan melakukan upacara Eka Dasa Rudra di
Besakih. Kutukan itu berbunyi “wastu tata astu karya yang dilaksanakan
di pura Besakih ini tan Sidakarya (tidak sukses), bunga kekeringan, rakyat
kegeringan (diserang wabah penyakit), sarwa gumatat gumitit (binatang
kecil/hama) membuat kehancuran (ngerebeda) di seluruh jagat (bumi) Bali.”
Dan apa yang dikatakan oleh Brahmana Keling menjadi kenyataan hingga dalam
suatu pertapaan yang dilakukan oleh Dalem Waturenggong, beliau mendapat pawisik
yang mengatakan bahwa hanya Brahmana Keling saja yang dapat mengembalikan
keadaan seperti semula, lalu Brahmana Keling dijemput oleh rombongan dari
kerajaan Gelgel dan Brahmana Keling bersedia untuk menghadap Dalem Waturenggong
di kerajaan Gelgel.
Pengembalian kutukan Brahmana Keling
Tidak ada
yang tahu bagaimana cara Brahmana Keling pergi ke Pura Besakih sehingga beliau
sudah sampai sebelum rombongan penjemputnya yang dipersilahkan oleh beliau
untuk berangkat lebih dahulu. Setibanya Brahmana Keling di Pura Besakih, beliau
disambut selayaknya tamu kebesaran dan beliau diperlakukan dengan sangat sopan,
ramah, dan hormat.
Dalam
percakapan Brahmana Keling dengan Dalem Waturenggong, yang juga disaksikan oleh
Dang Hyang Nirartha, dikatakan bahwa apabila Brahmana Keling mampu
mengembalikan keadaan Jagat Bali seperti Sedia Kala, Dalem Waturenggong
berjanji untuk bersedia mengakui memang benar bahwa Brahmana Keling adalah
saudara dari Dalem Waturenggong.
Mendengar perkataan Dalem Waturenggong, dengan
senang hati Brahmana keling menyanggupinya, lalu beliau hening sejenak tanpa
sarana dan sesajen sedikitpun. Beliau mengucapkan mantra-mantra dan dengan
kekuatan batin yang luar biasa terjadi keanehan-keanehan antara lain :
·
ayam yang sebelumnya berwarna selain putih dikatakan berwarna
putih oleh beliau, seketika ayam tersebut berubah warna menjadi putih.
·
Pohon kelapa yang kering, layu tanpa buah seketika berubah menjadi
subur, hijau dan berbuah sangat lebat, begitu juga pohon pisang yang sudah layu
dihidupkan kembali dan berbuah lebat.
·
Hama tikus, wereng, walang sangit, ulat dan sebagainya lenyap
seketika.
·
Masyarakat yang diserang wabah penyakit seketika menjadi sehat.
Apa yang diucapkan oleh Brahmana keling
betul-betul terbukti sehingga Ida Dalem Waturenggong dan Dang Hyang Nirartha
serta hadirin yang menyaksikan terheran-heran dan terpesona karena terjadi hal-hal
aneh yang menakjubkan. Akhirnya sesuai janjinya, Dalem Waturenggong mengakui
Brahmana Keling adalah saudaranya sendiri.
Penganugrahan Gelar Dalem Sidakarya
Setelah keadaan dikembalikan seperti
sediakala oleh Brahmana Keling, maka Karya Eka Dasa Rudra yang dilaksanakan
pada Purnamaning Sasih Kedasa ± tahun Saka 1437 atau tahun 1515 masehi yaitu
pada abad ke-16 lancar dan sukses. Pada Pelaksanaan karya Eka Dasa Rudra
tersebut sekaligus dipimpin oleh Dang Hyang Nirartha dan Brahmana Keling,
karena sebelumnya Bali pernah dilanda kegeringan maka dalam
Karya Eka Dasa Rudra tersebut juga dilaksanakan Upacara Nangluk Merana.
Berkat Jasa Brahmana Keling yang mampu
menciptakan kesejahteraan alam lingkungan yang lebih baik dari tahun ke tahun,
hasil alam yang melimpah sebagai sarana dan prasana karya sehingga karya dapat
dilaksanakan dengan sukses atau berhasil (Sidakarya) sesuai dengan
harapan Dalem Waturenggong, maka Brahmana Keling dianugrahi gelar Dalem.
Mulai saat itu Brahmana Keling mabiseka Dalem Sidakarya.
Lalu diadakan upacara pediksan sebagaimana mestinya.
Saking gembiranya Ida Dalem Waturenggong karena upacara Eka Dasa Rudra berjalan lancar dan berhasil (Sidakarya) maka selain dianugrahkan gelar Dalem Sidakarya atas nasihat Dang Hyang Nirartha, Dalem Waturenggong bersabda yang isinya kurang lebih sebagai berikut: Mulai saat ini dan selanjutnya bagi setiap umat Hindu di seluruh jagat yang melaksanakan upacara wajib nunas tirta Penyida Karya yang bertempat di pesraman Dalem Sidakarya supaya upacara yang dilakukan menjadi Sidakarya (Berhasil), yang terletak di pesisir selatan Kerajaan Badung (Sidakarya sekarang). Pada setiap upakara atau sarana upacara disebarkan sarana serba Sidakarya seperti sayut Sidakarya untuk di banten atau sesajen, tipat sidakarya untuk makanan kesejahteraan, Tari Topeng Sidakarya untuk wali (keselarasan). Dan orang yang mengadakan upacara wajib nunas Catur Bija dan Panca Taru Sidakarya.
Saking gembiranya Ida Dalem Waturenggong karena upacara Eka Dasa Rudra berjalan lancar dan berhasil (Sidakarya) maka selain dianugrahkan gelar Dalem Sidakarya atas nasihat Dang Hyang Nirartha, Dalem Waturenggong bersabda yang isinya kurang lebih sebagai berikut: Mulai saat ini dan selanjutnya bagi setiap umat Hindu di seluruh jagat yang melaksanakan upacara wajib nunas tirta Penyida Karya yang bertempat di pesraman Dalem Sidakarya supaya upacara yang dilakukan menjadi Sidakarya (Berhasil), yang terletak di pesisir selatan Kerajaan Badung (Sidakarya sekarang). Pada setiap upakara atau sarana upacara disebarkan sarana serba Sidakarya seperti sayut Sidakarya untuk di banten atau sesajen, tipat sidakarya untuk makanan kesejahteraan, Tari Topeng Sidakarya untuk wali (keselarasan). Dan orang yang mengadakan upacara wajib nunas Catur Bija dan Panca Taru Sidakarya.
Catur Bija yang di maksud
antara lain beras, ketan, beras merah, dan injin (ketan hitam). Kesemuanya itu
secara umum digunakan untuk penginih- inih karya dan pengingsahan karya,
sebagai ajengan catur dalam kegiatan Yadnya. Jatu ini sebelum
dipergunakan ditaruh di penetegan beras.
Panca Taru yang dimaksud adalah Cempaka,
Sandat yang digunakan sebagai simbolis jatu untuk wewangunan
suci. Yang biasa digunakan adalah serpihannya (tampalan) untuk jatu api pasepan. Selain
dua kayu tadi, ada juga Kayu Naga Sari yang digunakan sebagai pelengkap
tetandingan banten, Dadap yang digunakan untuk penuntun tirta, berisi
benang tukel, andel-andel, dan uang kepeng, kelapa
(kloping, danyuh, pang, busung atau janur) yang digunakan untuk memasak
di dapur, pengeseng sekah, dan pengeseng penimpungan.
Janur atau busung digunakan untuk semua jejahitan.
Beberapa kayu sekarang susah didapat,
maka apapun yang diterima dari pura dapat digunakan sebagai jatu Panca
Tarudari Sidakarya.
Penghormatan untuk Dalem
Sidakarya
Sebagai
penghormatan dan kenangan dari peristiwa di atas, selanjutnya dari ketiga tokoh
penting dalam pemerintahan Dalem Waturenggong yaitu Dalem Waturenggong sendiri,
Dang Hyang Nirartha, dan Dalem Sidakarya, akhirnya Dalem Waturenggong
memerintahkan Pasek Akeluddadah untuk pertama kalinya
membuat tapel atau topeng yang menggambarkan Sang Tiga Sakti
atau ketiga tokoh yang berperan penting dalam pemerintahan Dalem Waturenggong.
Menurut orang yang menulis buku ini, Akeluddadah berasal dari dua kata yaitu
Akelud yang berarti penyucian atau pembersihan (pemarisudha) dan Dadah
yang berarti air atau air suci (tirta). Jadi Akeluddadah berarti tirta
pemarisudha atau penyucian segala bentuk mala atau kotoran
yang disimbolkan dengan topeng yang dipentaskan sebagai tarian sacral pada
sebuah pelaksanaan upacara Yadnya. Karena I Pasek ini berjasa dalam membuat
topeng Akeluddadah, maka beliau disebut dengan Pasek Akeluddadah. Namun topeng
yang dibuat oleh Pasek Akeluddadah belum diketahui keberadaannya.
Demi
kesempurnaan upacara Yadnya, sebagai penutup rangkaian upacara dipentaskan Tari
Topeng Sidakarya yang dalam pentasnya dapat dibawakan dengan seorang diri (memajeg)
atau ditarikan oleh lebih dari satu orang tergantung keadaan. Dalam Tari Topeng
Sidakarya, tokoh penting yang ditampilkan adalah Tokoh Dang Hyang Nirartha
sebagai Pendeta, Dalem Waturenggong sebagai Penguasa/Raja dan Dalem Sidakarya
yang disebut sebagai Sang Tiga Sakti.
Adapun cirri-ciri
dari topeng Sidakarya adalah berwarna putih, bermata sipit, giginya agak maju
(jongos), berwajah setengah manusia dan setengah demanik, berambut sebahu,
memakai kerudung yang dirajah, dan penarinya biasanya membawa bokoran berisi
canang sari, dupa, beras kuning, sekar ura, dan sebagainya sebagai symbol
kedarmawanan.
Penari
topeng sidakarya lalu menari dangkrak-dingkrik dan dilanjutkan
dengan menangkap penonton yang masih anak-anak lalu diberikan uang kepeng yang
artinya kurang lebih sebagai perwujudan mengobati orang sakit serta memberikan
kesejahteraan pada orang lain. Ini juga merupakan simbolis siklus kehidupan
yaitu lahir, kecil, muda, tua, mati. Setelah itu penari mengucapkan (ngucarang)
mantra yang isinya :
“Dadia punang ikang kalan nira, mijil Dalem Sidakarya, kadi gelap dumereping randu raja menala, gumeter ikang pretiwi apah teja bayu akasa, lintang tranggana ketekeng surya senjana metu aku saking Mutering Jagat Sudha butha kala liak, desti teluh trangjana pada nembah tanwani teken aku, apan aku mawak pemarisudha jagat. Sakuwehing mala, lara, roga, wigena pada geseng. Ong, Sang, Bang, Tang, Ang, Ing, Nang, Mang, Sing, Wang, Yang.”
Setelah nguncarang mantra tersebut dilanjutkan dengan menaburkan beras kuning yang menyimbulkan pemberian laba kepada para Butha Kala supaya tidak mengganggu ketentraman hidup manusia, serta menebarkan kesejahteraan pada umat manusia sehingga terwujud rahayuning jagat. Serta dibarengi dengan penebaran sekarura yang merupakan symbol medana-dana (bersedekah).
Dengan
selesainya pementasan Topeng Sidakarya maka tuntaslah segala rangkaian pelaksanaan
upacara Yadnya yang disebut “Sidakarya”.
sumber:
Kantun, I Nyoman; Yadnya, I Ketut . 2003. Babad Sidakarya. Denpasar: PT Upada Sastra.
Kantun, I Nyoman; Yadnya, I Ketut . 2003. Babad Sidakarya. Denpasar: PT Upada Sastra.
diambil dari :