Tutur
Barong Swari – Terjemahan
Semoga
tidak ada halangan !
Ini
adalah kisah kuno, ketika pertemuan Ida Sang Hyang Guru dengan Dewi Uma. Entah
berapa lama kedua dewata itu bertemu ( melakukan hubungan badan ), maka
lahirlah putra Beliau, yakni: Dewa Kumara. Amat bersuka citalah Betara Guru,
akan tetapi Dewi Uma sangat sedih, karena putra Beliau (Dewa Kumara) siang
malam selalu ikut pada Betara Guru, hingga tiada pernah mendapatkan belaian
kasih dari Dewi Uma. Hanya pada waktu menyusu saja.
Setelah
selesai menyusu, kembali sang anak ikut kepada sang ayah Betara Guru.
Oleh
karena demikian prilaku sang anak sehari-hari, amatlah murkanya Dewi Uma,
hingga Dewa Kumara dibanting-banting, sambil disusui. Oleh karena kemurkaan
Dewi Uma sudah kelewatan, hingga sampai terurailah rambut beliau. Akan tetapi sang
Dewa Kumara masih asik menyusu pada sang ibu.
Ketika
itu datanglah Betara Guru, serta merta melihat Sang Dewi bagaikan kemasukan
setan, dan tampaknya sudah tidak sesuai dengan ulah para Dewata, hingga amat
murkanya Sang Hyang Guru dan bersabda, seperti suara Bhuta Kala, “Oh, Dik Dewi,
bila demikian ulahmu, tak ubahnya seperti raksasi, sungguh sangat menyeramkan.
Oleh karena seperti ulah raksasi, maka tak sesuailah dengan prilaku Kadewatan.
Pergilah kamu sekarang juga”. Demikianlah sabda Betara Guru.
Maka
Dewi Uma pun segera pergi meninggalkan Kadewatan, dan sampailah di Mayapada
(dunia = alam manusia), seraya menuju tempat yang sunyi, di tengah-tengah hutan
rimba. Di tempat itu ada sebuah pohon beringin yang besar, cabangnya besar dan
panjang-panjang, daunnya rimbun. Di bawah pohon beringin itulah Dewi Uma
menangis tersedu-sedu, kelelahan pikiran Beliau menerawang, demikian pula air
susu Beliau tak henti-hentinya keluar, menetes hingga ke tanah. Tetesan air
susu Sang Dewi merembes, dan rembesan air susu itu kemudian berubah, yang
kemudian menjadi tumbuhan pisang “gedang
saba“, yang merupakan bahan makanan bayi.
Entah
berapa hari lamanya Dewi Uma dirundung rasa sedih dan duka nestapa, maka pada
suatu ketika timbullah niat Beliau untuk membangun sebuah istana, agar tidak
kalah oleh keindahan di Kadewatan (sorga). Mulai saat itu Dewi Uma bergelar : Dewi Rohini. Beliau
lalu melakukan yoga semadi, dan dari yoga Beliau itu maka timbullah: danuja (daitya), wil (raksasa kerdil), dete (raksasa setengah
manusia), jin, setan, hala-hala (mahluk rupa
jelek), reregek
(kuntilanak = sundel belong ), anja-anja
(?), sungsang hum
(raksasa yang kepalanya menghadap ke bawah), kumangmang
(?), enjek pupu
(setan kaki), tangan-tangan
(setan berupa tangan), togsil
(setan kepala dengan satu gigi), hulu
alit (setan yang berkepala amat kecil), basang gatul (setan perut buncit), pepengkah (?), beserta kuplak-kuplak (setan
berupa kambing), linyik
(setan yang jorok/cemar), juga ada yang disebut sumprang-sampring (setan dengan rambut
terurai). Mahluk-mahluk itulah yang mernpakan penjaga istana Betari Rohini.
Itulah
sebabnya, maka hutan itu sangat angker hingga sangat menakutkan, dan tak
seorangpun berani datang ke tempat itu. Terlebih-lebih sekarang wajah Dewi
Rohini tidak seperti dahulu cantik molek, namun sangat menyeramkan dan
menakutkan, hingga dijuluki : Dewi
Durga. Keadaan rambut Beliau semrawut, taring terkait oleh
rambut. Tiada henti-hentinya beliau dirundung oleh rasa kecewa dan sedih, oleh
karena terus-menerus tidak kunjung bertemu dengan Betara Guru. Entah berapa
lama waktu silih berganti, nah demikian selanjutnya. Inilah asal mula timbulnya
kemurkaan kedua Dewata tersebut (Betara Guru beserta Dewi Rohini). Hentikan
sejenak kisah ini.
Selanjunya
dikisahkan, akan prihalnya Betara Guru, yang senantiasa mengasuh putra beliau,
yakni: Dewa Kumara, setiap hari meminta air susu, dan dicarilah Sang Dewi,
sampai ke segenap penjuru sorga, akan tetapi tiada ketemu. Oleh karena itu
semakin murkalah Betara Guru. Sang Dewa Kumara diletakkan di sebuah
pelangkiran, di atas peraduan (di atas tempat tidur ).
Serta
merta Betara Guru ingat kepada Dewi Uma, bahwa tempo lalu Beliau pernah
memberikan kutukan kepada sang Betari, dan segera turun ke Mayapada. Betara
Guru lalu merubah wujud Beliau menjadi Rudramurti
(Dewa pencabut nyawa yang menyeramkan).
Setelah
tiba di mayapada, maka ketemulah beliau dengan Betari Uma, yang sudah berganti
nama menjadi Dewi Rohini, yang sedang dihadap mahluk-mahluk ciptaan beliau
dahulu. Maka kedua Dewata itupun saling berucap, yakni Betara Guru dengan
Betari Rohini, yang sama-sama berwujud menyeramkan, yang sama-sama disusupi
oleh jiwa kedurgaan (ganas dan sadis). Kedua Dewata itu sama saktinya,
sehari-hari bercumbu rayu, berciuman, serta saling gigit bibir, hingga nafas
kedua Dewata itu ngos-ngosan.
Apabila
tatkala Beliau keduanya bersenang-senang bercumbu rayu menghadap ke timur,
penduduk (orang-orang) di arah timur pada menderita penyakit muntah-muntah, di
sebelah selatan wabah merajalela, apabila Beliau bermesraan menghadap ke
selatan.
Apabila
Beliau bersenang-senang menghadap ke arah barat, orang-orang di arah sebelah
barat pada terkena wabah kolera. Apabila Betara Guru bersama Dewi Rohini
bermesraan menghadap ke sebelah utara, maka orang-orang di arah sebelah utara
pada menderita sakit perut yang sangat keras, dan juga terkena penyakit kuning.
Oleh
karena demikian, maka sedih bercampur ketakutan segenap manusia di dunia ini,
oleh karena setiap hari ada saja yang meninggal dunia. Pagi hari terkena
penyakit, sore harinya meninggal. Sore hari mulai sakit, keesokan hari paginya
meninggal.
Oleh
karena dunia ini terkena musibah sedemikian rupa, maka Betara Tiga (Dewa
Brahma, Wisnu, dan Iswara), mengetahui hal itu. Iba hati ketiga Dewata itu
melihat orang-orang meninggal, demikian pula terhadap orang-orang yang terkena
wabah penyakit itu, maka Beliaupun sama-sama memikirkan serta mencari upaya
untuk mengatasi hal itu. Maka Beliaupun menciptakan yang disebut: BARONG SWARI. Betara
tiga berbuat sedemikian, ialah untuk membuat agar Betara Guru dengan Dewa Uma
berbaikan kembali.
Maka
Betara Brahma menjadi: TOPENG
MERAH, Betara Wisnu menjadi: PENARI TELEK, dan Sang Hyang Iswara
menjadi: BARONG,
dari sinilah asal mula nama: Barong
Swari. Para Dewata itu pada menari di perempatan desa, dan juga
pada setiap pertigaan, ketiga Dewata itu pada menari-nari, yang bertujuan
membuat kesejahteraan dunia.
Oleh
karena demikian, maka ketakutanlah para bebutan itu, yakni yang senantiasa
menjaga Betari Rohini dahulu, mereka lalu bersembunyi ke tempat-tempat yang
menyulitkan.
Itulah
yang menjadi asal mula adanya tempat keramat serta angker, oleh karena dihuni
oleh para bebutan. Sebab demikian karena pada ketakutan melihat Betara Brahma
menjadi tapel (topeng) merah,
Sang Hyang Wisnu menjadi telek
(penari telek) dan Betara Iswara menjadi Barong Swari.
Tarian
ketiga Dewata itu pada pantas (serasi), melenggak-lenggok. Setelah demikian
maka maklumlah Betara Rudramuri (Betara Guru). Beliaupun ikut dengan senangnya
menari-nari bersama Hyang Brahma. Maka serta merta bergoyanglah seantero bumi
ini, demikian pula disertai gelombang pasang di samudra. Oleh keadaan yang
sedemikian itu, maka tak sedikit penderitaan serta wabah penyakit yang menimpa
umat manusia dan terus merajalela.
Situasi
dunia itu segera diketahui oleh Sang Hyang Brahma, terutama yang menimpa umat
manusianya, yang disembabkan oleh belum puasnya Betara Guru bertemu asmara
dengan Dewi Uma, di mana kedua Dewata-Dewati itu sama-sama menyeramkan, baik
perilaku serta wujud Beliau berdua. Maka Betara Brahma ingin menghentikan
perilaku yang sedemikian itu, Beliau ingin agar wujud Betara Guru serta Dewi
Uma berubah, tanpa lagi berwujud menyeramkan.
Segeralah
Beliau (Sang Hyang Brahma) mengambil kulit hewan (sapi atau kerbau), seraya
dibentuk lalu diukir. Sangat sigap serta cekatannya Betara Brahma, membuat
ukiran kulit (wayang), dan selanjutnya diciptakannya manusia utama, yang
merupakan ciptaan Sang Hyang Brahma, yang disebut: KI DALANG KAKUNG.
Itulah yang beliau perintahkan untuk mementaskan tarian.
Sekarang
Ki Dalang Kakung mementaskan pewayangan (mendalang), dan dilakukan di sebuah
bale panggung, yang disinari oleh pelita berkedap-kedip, yan terlebih dahulu
diciptakan oleh Hyang Brahma bersama Hyang Agni, sedangkan Hyang Wisnu berperan
sebagai penari, ucapan-ucapannya diberikan oleh Hyang Iswara serta
diperintahkan oleh Sang Hyang Samirana.
Amat
serasilah tampaknya, galak kadang-kadang manis, prilaku Sang Dalang melakukan
pementasan.
Inilah
arti dari : Dalang
Kakung, antara lain: dalang,
artinya/disebut : ngawijilang
(melahirkan), dalang
– lahir, da
artinya dadi
(lahir), juga berarti hidup, di berarti utama (luar biasa). Dalang juga disebut
dasar atau juga tempat (wadah). Wadah berarti rumah yang juga disebut:
kedewatan atau kedaton. Maka lahirlah yang disebut dengan: DALANG KEDATON.
Arti
dari semuanya itu adalah: lang,
berarti langkung
(lebih) atau liwat
di dalam bahasa Bali, atau juga disebut luar biasa. Dia (Sang Dalang), mampu
melewati atau melebihi hal-hal yang bersifat baik atau buruk, demikian pula isi
atau makna: kakung.
Ka berarti : asal mula
(kawiatan), kung
berarti: kaguru
(kasemaran). Demikian pula arti dari pada wayang, antara lain: wayang bermakna: lemah (tanah =
pertiwi).
Wayahang
berarti camkan
(suksemayang = suksma), suksma
berarti keramat
(pingit), akan tetapi harus sama-sama dipelajari, segala sesuatu yang bersifat
keterampilan (gegunan) harus dipelajari. Setelah segala sesuatunya berjalan
dengan semestinya, maka senanglah hati kedua dewata-dewati itu (betara –
betari), menonton tata cara mementaskan wayang (mendalang). Serta merta
lenyaplah sifat kekerasan Beliau keduanya, bagaikan tersapu jernih tak ada
cacat celanya, tidak ada lagi kemurkaan Betara Guru dan Betari Uma. Hal ini
disebabkan oleh kepintaran/kelihaian Ki Dalang Kakung, maka sewajarnya
mengharapkan yang namanya taksu
(keistimewaan secara gaib). Betara Siwa yang kuasa (berhak) menganugrahi yang
bergelar Mangku Dalang.
Da
artinya dadi
(menjadi = menjabat = sebagai), di
artinya lewih
(lebih = istimewa). Ki Mangku Dalang boleh melantunkan pujaweda, boleh memakai
prucut (rambut bergelung), boleh meruwat (mensucikan) orang yang kelahirannya
dianggap membawa sial (salah wetu), mengenai wuku beserta dina. Boleh
menggunakan sangku (tempat air suci = tirtan dalang) yang terbuat dari tembaga,
memakai semayut (hiasan silang pada dada) dengan benang tukelan (benang tradisi
= buatan tangan), memakai sesinggel (gelang) uang kepeng belong sejumlah 200
kepeng (satakan = dua ratusan), yang kesemuanya itu mempakan anugrah dari Guru
(nabe) beserta waranugrahan dari Sang Hyang Brahma dan Dewata lainnya.
Sabda
Betara Guru : “Oh, Nanak Hyang Brahma, alangkah sukacita kami para Dewata,
menyaksikan kearifan serta kebijaksanaan anda Nanak Hyang Brahma, yang sudah
berbuat demi kesempurnaan diri kami para Dewata, hingga lenyapnya penyakit
serta kecemaran yang melumuri diri kami, dengan memakai sarana : Ki Dalang
Kakung, dan sekarang ini aku minta ruwatan pada nanak Hyang Brahma, agar kami
berdua segera bisa pulang ke Siwaloka.
Sembah
Sang Hyang Brahma :”Daulat Paduka Betara, Hamba putra paduka mohon ampun, tidak
sanggup melakukan ruwatan Paduka Betara Guru, hamba rasa yang cocok melakukan
ruwatan adalah Beliau : Hyang Tunggal. Maka segeralah Sang Hyang Tunggal
menunggal. Tatkala itulah Hyang Guru melakukan ruwatan. Sang Hyang Tunggal
berkehendak melakukan ruwatan terhadap Hyang Guru yang sudah menunggal bersama
Beliau (Hyang Guru). Dan kini sang Hyang Tunggal bergelar: SANG HYANG GURU TUNGGAL.
Kini
bersabdalah Sang Hyang Guru Tunggal : “Oh, Hyang Siwa Guru, silahkan Anda
menjalankan semadi, berkeliling bumi, yaitu mengetari kaki Gunung Semeru,
selama sebulan tujuh hari”. Betara Gurupun melaksanakan titah Betara Hyang Guru
Tunggal berkeliling mengetari kaki gunung. Serta merta terbanglah Betara Guru
ke timur, dan ketika itu pula Sang Hyang Guru Tunggal sudah lebih dahulu berada
di timur. Beliau bermaksud akan menguji.
Kini
Bhatara Guru menemukan pohon beringin, tinggi dan besar yang tumbuh di
tengah-tengah jalan, serta tiada dapat dihindari, pohon beringin itu lalu
disembah oleh Bhatara Guru Siwa, tiada berapa lama maka lenyaplah pohon
beringin itu.
Kemudian
Bhatara Guru pergi ke selatan, dan Beliau berjumpa dengan seekor rusa
(menjangan), kemudian bercanda ria dengan Bhatara Guru, disembahlah oleh
Bhatara Guru, tiada berapa lama kemudian hilang lenyaplah binatang rusa itu.
Ketika
Beliau berada di barat, di sana Beliau menemukan rambut semrawut yang amat
banyak, dan segera Beliau menyembahnya. Tiada beberapa lama rambut itu lenyap
dari pandangan Betara Guru Siwa. Setelah Betara Guru ada di utara, Beliau
menemukan batu yang amat besar, batu itupun segera Beliau sembah, setelah
Beliau selesai melakukan persembahan lagi-lagi batu itu seperti yang
lain-lainnya hilang dari pandangan.
Sekarang
Betara Guru telah selesai berkeliling mengitari Gunung Semeru itu selama satu
bulan tujuh hari, maka tiba-tiba datanglah Sang Hyang Guru Tunggal, serta merta
menyembahlah Betara Guru, sembahnya : “Duh, Pukulun semuanya telah hamba
jumpai, sungguh-sungguh menakjubkan hati hamba. Banyak yang hamba temukan,
antara lain : pohon beringin, rusa, lain lagi rambut ikal dan semraut, dan ada
juga batu yang sangat besar. Kesemuanya itu telah hamba sembah.
Kemudian
Sang Hyang Guru Tunggal bersabda: “Nah sudahlah, Nanak Betara Guru. Kemudian
hari, segala yang nanak temukan itu harus menjadi sesembahan umat manusia di
dunia, sama halnya seperti menyembah Sang Hyang Siwa Guru.
Apabila
orang-orang membangun pura, mendirikan kahyangan, sudah seharusnya mendirikan: Sanggar Agung, patut
dan mesti mendirikan: Stana
Rambut Sedana, juga patut mendirikan: Manjangan Seluwang.
Disamping itu, pada sebuah pura mesti berdampingan dengan : pohon beringin.
Demikian pula istana raja (pejabat pemerintah), seyogianya bersanding dengan
pohon beringin.
Apabila
ada orang menanam pohon beringin, bila tidak diupacarai (disucikan), seperti
halnya kelahiran seorang bocah, itu tidak dibenarkan, pahalanya pendek usia.
Duh, Ah, Um, Nanak Betara Siwa Guru, anda telah diruwat, sekarang sudah saatnya
nanak pulang ke Siwaloka bersama dengan Dewi Uma.
Kemudian
Dewa dan Dewi itu dengan taatnya mengikuti titah Sang Hyang Guru Tunggal.
Betari Uma segera menuju ke Sorgaloka. Selanjutnya Ida Betara Hyang Tunggal ke
Stana Gaib (ring tan hana), dan tak ketinggalan Sang Hyang Brahma menuju ke
dalam pepohonan. Hentikan sejenak kisah ini.
Tersebutlah
Ki Dalang Kakung masih berada di pertiwi (di dunia nyata), maka beginilah asal
mula nama keturunannya Ki Dalang Kedaton. Ketika masih berselubung di bale
panggung, dibentengi oleh Sang Hyang Angin (Bayu = Samirana). Oleh karena itu,
lahirlah yang namanya: DALANG
SAMIRANA. Dalang Samirana yang menurunkannya adalah: DALANG BURICEK, yakni
putra dari Ki Dalang Kedaton, ada lagi yang dinamakan: KI DALANG BANYOL, DALANG KAKUNG TUNGGAL.
Da
berarti lewih
(lebih = berkelebihan), juga berarti kalangkung,
yang berarti kamimitan
(asal mula). Kung,
berarti smara,
yang berarti ngulangunin
(menakjubkan). Wulangun
berarti sakarsa
(takjub).
Setiap
orang yang mendambakan keberhasilan agar berkesinambungan, agar bermodalkan
rasa percaya akan adanya kekuatan gaib (taksu), kakung dasarnya tertarik (demen), itu semuanya
sudah diturunkan di Bali, yang disebut dengan: gunasta kosala (kreativitas ketrampilan),
yang asal mulanya dari: Wilwatikta
(Majapahit), antara lain: tukang bangunan/arsitektur (undagi), tukang bangunan
istana atau rumah, tukang busana agung, atau payas agung, sangging prabangkara
(seniman ukir/lukis), juru igel (penari = seniman tari), tukang (tapini =
tukang benten) beserta Dalang Kedaton.
Itu
semuanya pada menimbulkan taksu-taksu (kekuatan gaib), maka kesimpulannya itu
adalah keterampilan/profesi, bukan wangsa atau kasta.
Selesai.
Semoga
damai di hati, semoga damai di dunia, dan damai selamanya.